Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Rakyat Banjar Patroman

 


CERITA RAKYAT BANJAR PATROMAN


Diceritakan, pada zaman dahulu di sebuah daerah yang dipenuhi pepohonan yang hijau dan rindang, hiduplah seorang pemuda pengembara yang berasal dari Mataram bernama Adananya. Singkat cerita, dalam pengembaraannya la bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita di sebuah kampung bernama Pataruman. Ia kemudian terpikat oleh kecantikan yang dimiliki wanita tersebut.


"Luar biasa. Cantik sekali wanita itu. Akan segera kulamar dan kujadikan dia istriku."


Ucap Adananya dalam hati.


Adananya pun berusaha untuk melamarnya melalui ibu dari wanita tersebut. Namun, lamaran dari Adananya ternyata ditolak oleh Sang Ibu, la merasa sungkan dan berkecil hati setelah mengetahui bahwa Adananya merupakan seorang raja dari Mataram, sedangkan dia hanyalah seorang rakyat biasa. Wanita cantik tersebut kemudian melarikan diri dari rumah ibunya ke arah barat.


Singkat cerita dalam pelariannya ke arah Barat, wanita cantik itu harus melewati hutan belantara. Kakinya kemudian terluka karena terjerat oleh tumbuhan yang ada di hutan tersebut. Darah yang keluar dari luka tersebut akhirnya menempel pada tumbuhan yang dilewatinya. Adananya yang terus mengejar kemudian melihat dan mengikuti bercak darah yang menempel pada tanaman. Pada saat itulah, Adananya menjuluki daerah tersebut dengan sebutan "Cibeureum" karena melihat banyaknya bercak darah pada tumbuhan itu, layaknya air yang berwarna merah.


"Ini pasti darah dari wanita itu. Layaknya sebuah air yang berwarna merah, maka kuberi nama daerah ini sebagai Cibeureum." Adananya berseru.


Di tengah pengejaran, datanglah seorang pemuda tampan yang berniat untuk menolong si wanita. Pemuda tampan itu kemudian mencegat Adananya di sebuah bukit. Tempat pertemuan Prabu Adananya dan pemuda itu akhirnya dinamakan sebagai Tembong Kerta.


"Hei, ada urusan apa engkau mencegatku?! Jangan halangi jalanku!" Ucap Adananya kepada pemuda itu.


"Biarkanlah wanita itu pergi. Janganlah engkau terus-terusan mengejarnyal" Balas. pemuda itu.


Tak lama dari situ, mereka kemudian mengadu kesaktian. Melihat kesaktian yang dimiliki oleh pemuda itu, Adananya kemudian berkata,


"Hei, siapakah sebenarnya dirimu?!" Tanya Adananya:


"Aku adalah Dalem Tambakbaya." Jawab pemuda itu.


Dari pertarungan tersebut akhirnya diketahui bahwa pemuda yang ingin menolong sang wanita adalah seorang Raja Galuh Kertabumi yang bernama Dalem Tambakbaya atau Raden Singaperbangsa bergelar Adipati Kertabumi III, sedangkan Prabu Adananya adalah Kanduruan Pandusaka Sarikusumah yang berasal dari Mataram dan sedang menyebarkan agama Islam di daerah itu.


Wanita cantik itu berlari mencari ibunya ke arah Tenggara. Kesaktian Prabu Adananya dan Tambakbaya seimbang. Mereka berdua saling beradu kesaktian dalam berlari. Prabu Adananya dapat dikejar oleh Tambakbaya, hingga akhirnya tempat pengejaran itu disebut dengan "Pangadegan" atau "Pangudagan" yang dalam bahasa Sunda berarti tempat untuk mengejar.


Sementara itu, di tempat yang lain Adananya dan Tambakbaya kembali bertarung. Masing-masing dari mereka saling mengeluarkan kesaktiannya. Hingga akhirnya Tambakbaya mengeluarkan kesaktiannya yaitu menghilang dengan sangat cepat. Tempat menghilangnya Tambakbaya itu kemudian disebut dengan "Jelat", berasal dari kata "sajorelat" yang berarti menghilang dengan sekejap mata.


Wanita yang dikejar oleh Adananya dan Tambakbaya terus berlari. Kini perjalanannya kembali mengarah ke rumah ibunya. Namun, sesampainya di sana, didapati ibunya telah pergi meninggalkan rumah. Ternyata sang ibu turut mengejarnya sejak melarikan diri dari rumah. Dalam perjalanannya, sang ibu sempat bertemu dengan Adananya yang sedang terkejut melihat Tambakbaya menghilang. Saat itu sang ibu langsung bertanya kepada Adananya dalam bahasa Jawa.



"Mana laré?" katanya kepada Adananya. Maksudnya menanyakan ke mana arah lari anaknya.


"Ke sana, ke arah Selatan." Jawab Adananya.


"Kamu harus bertanggung jawab menemukannya. Karena ulahmu anakku melarikan


diri dan berpisah denganku."


Tempat Adananya berbicara dengan sang Ibu tersebut akhirnya dinamakan Mandalare.


Karena sulitnya mengejar wanita itu, akhirnya muncul sebuah anggapan bahwa ia bukanlah seorang wanita sembarangan, melainkan wanita keturunan Galuh yang memiliki kesaktian dan diketahui bernama Ni Nursari.


Terdapat petunjuk bahwa wanita itu ternyata menyeberang ke sebelah Utara Sungai Citanduy, Prabu Adananya dan Tambakbaya terus mengejar. Namun sayang, usaha merekal gagal karena wanita itu tetap tidak bisa ditemukan, hingga Adananya dan Tambakbaya pun bertemu kembali dan berhenti sejenak di suatu tempat. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, kini mereka tidak bertarung karena tenaga keduanya telah terkuras habis. Tempat pemberhentian Adananya dan Tambakbaya ini kemudian disebut dengan Randegan. Setelah berhenti, keduanya melanjutkan perjalanan sambil saling berselisih paham tentang wanita cantik itu.


"Akulah Prabu yang sakti! Kekuatanku tidak tertandingil Siapapun yang menghalangi keinginanku maka akan bertarung denganku!" Ucap Adananya dengan lantang.


"Apa maksudmu wahai Adananya? Apa yang kamu lakukan sudah melanggar hak


orang lain!" Jawab Tambakbaya kepada Adananya.


"Tidakkah kau mengerti Tambakbaya? Tentu saja aku bisa menikahi Ni Nursari karena aku adalah seorang penguasa. Semua harus mengikuti keinginanku!" Adananya menimpal.


"Tapi ibunya tidak mengizinkan Ni Nursari menikah denganmu, jadi kamu tidak boleh memaksanyal" Tambakbaya meneruskan.


"Apa hakmu melarangku?! Kamu bukanlah suaminya!" Jawab Adananya.


"Apapun alasannya, kamu tidak boleh menikah dengannya!" Ucap Tambakbaya.



"Tidak bisa! Aku tetap akan menikahi Ni Nursanil" Adananya bersikeras.


Mereka terus berdebat dan berselisih paham, tidak ada yang mau mengalah dan bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing. Prabu Adananya tetap ingin menjadikan wanita cantik itu sebagai istrinya karena merasa memiliki kekuasaan, sedangkan Tambakbaya ingin menyelematkan wanita itu dari paksaan Prabu Adananya. Tempat berselisih dan adu pendapat itu sekarang disebut Cikadu yang berasal dari bahasa Sunda yaitu "papaduan" atau "cik adu".


Adapun kampung tempat Ni Nursari dan ibu angkatnya tinggal selanjutnya dinamakan kampung Bandar Pataruman. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa di kampung itu banyak ditanami pohon tarum atau sejenis tanaman nila, Sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama pataruman atau tempat tumbuhnya tanaman tarum.


Semakin lama, kampung Bandar Pataruman pun semakin ramai disinggahi para pedagang dari kerajaan Galuh dan Mataram. Di antara para pedagang itu kemudian banyak yang berjodoh dengan penduduk setempat dan banyak pula yang akhirnya memilih untuk bermukim. Nama Bandar Pataruman pun berubah menjadi Banjar Patroman, karena pada waktu itu banyak diucapkan salah oleh para pendatang dari Mataram. Namun, adakalanya kampung Banjar Patroman pun disebut Banjar saja. Kini, kampung Banjar yang letaknya di pinggir sungal Citanduy itu telah berkembang menjadi sebuah kota yang membatasi wilayah Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah,


Hikmah/pesan moral cerita:


Berbakti kepada orang tua dengan kata-kata yang sesuai.


Tidak memaksakan kehendak terhadap orang lain.


Tolong menolong antarsesama,


Tidak menyalahgunakan kekuasaan.


Tidak merampas hak orang lain.