Ulumul Hadits Lengkap

Ulumul Hadis Lengkap (pengertian, Unsur-unsur Hadis, Pembagian hadis,
Kualitas dan Kuantitas)
HADITS DAN
BEBERAPA ISTILAH YANG
TERKAIT
DENGANNYA
A. Pengertian Hadits
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah
sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber
ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Hadist atau Al hadits menurut bahasa
(etimology) al jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan
dari Al- qadim (lama) artinya yang menunjukan kepada waktu dekat atau waktu
yang singkat. atau al qarib, (yang dekat atau yang belum lama terjadi).
Ada
pula Istilah hadits menurut bahasa Khabar (warta). Hadits yang
bermakna khabar diistiqaqkan dari tahdist yang bermakna
riwayat atau ikhbar = mengabarkan. Apabila dikatakan hadatsana
bi haditsin, maka makna akhbarana bihi haditsun = dia
mengabarkan sesuatu kabar kepada kami.
Sedangkan pengertian hadits menurut istilah (terminology) ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis. Perbedaan pendapat itu antara lain :
1. Pandangan ulama hadits mengenai
pengertian hadits berbeda dengan ulama fiqhi (fuqaha). Ulama hadits umumnya
menta’rifkan al hadits yang meliputi empat unsur yaitu, perkataan, perbuatan,
taqrir (pengakuan ketetapan) dan segala keadan Nabi sebelum dan
sesudah diangkat menjadi rasul, baik yang bersangkutan dengan hukum ataupun
tidak.
2. Ulama ushul mengatakan bahwa al
hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi yang bersangkut paut
dengan hukum.
Dari pendapat tersebut terlihat bahwa ulama hadits dan ulama ushul memiliki
perbedaan dalam mendefinisikan hadits. Hal ini dikarenakan oleh pandangan
mereka berbeda dalam meninjau pengertian tersebut. Pengertian di atas
mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa yang termasuk hadis adalah yang
memenuhi indicator sebagai berikut:
1. Perkataan Nabi SAW. yang keluar dari
lisan beliau apakah disampaikan secara langsung ataukah melalui surat yang
dikirimkan kepada para sahabat atau kepada penguasa di luar islam.
2. Perbuatan, prilaku Nabi SAW. yang
disampaikan oleh sahabat. Seperti cara-cara mendirika shalat, rakaatnya, cara
mengerjakan amalan haji, adab berpuasa dan lain-lain.
3. Taqrir ialah membenarkan atau tidak
mengingkari sesuatu yang diperbuat oleh para sahabat atau memberitakan kepada
beliau lalu beliau tidak menyangga. Taqrir atau perbuatan nabi yang mendiamkan
atau tidak memberikan komentar terhadap perbuatan sahabatnya.,[3]
b. Perkembangan Istilah Hadits
Hadits pada hakekatnya adalah khabar dan kisah, baik yang baru ataupun yang
lama. Abu Hurairah pernah menyatakan kepada kaum Ansar “ Apakah kamu
berkehendak supaya aku ceritakan kepada kamu suatu hadis (khabar) atau
berita-berita kejadian di masa jahiliyah” kemudian pemaknaan lafadz ini
berkembang, maka dipakailah untuk semacam khabar saja yaitu khabar-khabar yang
berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan lafadz itu
dari maknanya yang umum.
Menurut Ibnu Hajar didalam kitab “Nushatun Nadlar Fitaudlihi Nukhbatin
Fiki” bahwa ulama yang pertama kali menyusun ilmu mushalah hadis ialah Al-Qadli
Abu Muhamadd Hasan.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis namun hadis belum
dibukukan sebagaimana Al-qur’an. Keadaan yang demikian ini sampai akhir abad 1
H setelah agama islam tersiar didaerah-daerah yang makin luas dan para sahabat
terpencar didaerah-daerah berjauhan bahkan banyak diantara mereka yang wafat,
maka mendorong umat islam untuk membukukan hadis. Sejalan dengan perkembangan
penulisan dan pembukuan hadis ini maka berkembanglah ilmu-ilmu hadis belum
dikenal pada abad 1,2 dan 3 H pada masa itu para ulama hadis
baru membahas secara terpisah-pisah dari bagian- bagian ilmu
mushthal hadis.
c. Khabar dan pengertianya
Khabar menurut bahasa ialah berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang sedangkan jamaknya akhbar, muradinya, naba yang jamaknya anba orang
yang banyak menyampaikan khabar dinamai khabir.
Khabar menurut lughat (bahasa) serupa dengan makna hadis, ialah berita yang
disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut
istilah sumber ahli hadis, baik warta dari Nabi maupun dari sahabat, ataupun
warta dari tabi’in.
Ada
yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari
yang selain Nabi SAW. Ada pula yang mengatakan bahwa khabar lebih umum daripada
hadis, karena masuk ke dalam perkataan khabar. Segala yang diriwayatkan baik
dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadis khusus adalah yang diriwatkan
dari Nabi saja. Ada juga yang mengatakan khabar dan hadis diithlaqkan kepada
yang sampai dari Nabi SAW. Saja. Ada juga yang mengatakan, khabar dan hadis,
diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari
sahabat dinamai atsar.
Ada pula yang menyatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis karena
masuk masuk kedalam perkataan khabar. Segala yang diriwatkan baik dari Nabi
maupun dari selainya.
d. Atsar dan Pengertianya
Atsar menurut bahasa ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu. Dan berarti nukilan
(yang dinukilkan). Sedangkan menurut istilah yaitu segala sesuatu yang
diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW.[4]
Sebagian
ulama menyamakan istilah Hadis dan Atsar seperti Al Thabary memakai kata atsar
untuk sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan Al Thabawy juga memasukkan
apa yang berasal dari sahabat. Sebahagian yang lain mengatakan bahwa Atsar tidak
sama dengan Hadis.
Atsar pada lughat ialah bekasan sesuatu, sisa sesuatu dan berarti nukilan
(yang dinuklikan) sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari nabi dinamai do’a
matsu.
Para fukoha memakai perkataan atsad untuk perkataan-perkataan ulama
salaf,sahabat tabi’in dan lain-lain.
Ada yang mengatakan bahwa atsar lebih (umum) dari pada khabar atsar
dihubungkan kepada yang datang dari nabi dan yang selainnya sedangkan khabar
dihubungkan kepada yang datang dari nabi saja.
Al. Imam An Nawawy menerangkan bahwa fuqaha khurasan menamai
perkataan-perkataan sahabat (hadis mauqu) dengan atsat dan menamai hadis nabi
dengan khabar. Tetapi para muhadditsin umumnya menamai hadis Nabi dan perkataan
sahabat dengan atsar juga dan setengah ulama memakai pula kata atsar untuk
perkataan-perkataan tabi’in saja.
II. SUNNAH
A. Arti dan definisi sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan yang terpuji".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa
(lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak[6].
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Menurut bahasa sunnah bermaknah jalan yang dijalani terpuji atau
tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah walaupun tidak
baik. Menurut etimology (istilah), Mustafa Azami menegaskan bahwa sunah
bermakna teladan kehidupan beliau. Ulama hadis al
sunah adalah apa saja yang pernah dilakukan oleh rasul baik ketika
sebelum ditus maupun sesudahnya, baik dalam kapasitasnya sebagai rasul maupun
tidak. Sedangkan menurut Ulama Fiqhi as sunah adalah perilaku
yang berdimensi hokum, dengan demikian dalam kapasitasnya sebagai rasul saja.
b. Perkerkembangan Istilah Sunnah
Pada hakekatnya lafad sunnah berbeda dari pada hadis walaupun kebanyakan
ulama hadis berusaha mengindentifikasikannya. Dan apabila kita menyelidiki
makna-makna kulli bagi masing-masing nyatakan bahwa kedua-duanya tidak sama
maknahnya dari segala segi.
Hadis adalah segala yang diceritakan atau diberikan dari Rasululah. Sunnah
baik dia diceritakan ataupun tidak adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan
oleh para muslimin sejak dahulu dan tidaklah selalu sunnah itu sesuai dengan
hadis. Adapun sunnah sebenarnya adalah sebutan bagi amaliyah yang mutawir,
yakni cara rosul melaksanakan sesuatu ibadah yang dinukilkan kepada kita
dengaan amaliyah yang mutahir pula.
c. Perbedaan dan Persamaan Hadis dan Sunnah
Pada hakekatnya lafads hadis berbeda dengan sunnah, walaupun kebanyakan
ulama hadis berusaha mengidentifikasinya.
Hadis:
§ Hadis merupakan berita yang merupakan pengetahuan umum yang
merupakan kunci.
§ Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan
Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur'an.
§ Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi
SAW.
Sunnah:
§ Perbuatan yang sudah berlaku di daerah masyarakat walaupun
untuk mengetahuinya memerlukan riwayat.
§ Sunnah segala yang bersumber dari
Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau
perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Persamaan antara hadis dan sunah, ke duanya sama-sama bersumber dari nabi
Muhammad SAW, yang apabila ditinjau dari fungsinya keduanya dijadikan sebagai
pedoman hidup, teladan bagi umat manusia.
III.
UNSUR-UNSUR YANG HARUS ADA DIDALAM HADIS
a. Sanad Makna dan Pengertiannya
Kata sanad menurud bahasa yaitu sandaran, tempat kita
bersandar, maka surat hutang juga alam dinamai sanad dan berarti yang dapat
dipegang, dipercayai kaki bukit atau gunung juga disebut sannad oleh karena itu
sanad jamaknya asnad dan sanadat.
Menurut istilah ahli hadis. Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis
didalam menentukan status hadis melalui pendekatan sanad al hakim menentukan
kaidah-kaidahnya secara rinci sesuai dengan pendekatan yang digunakan oleh
sebagian besar ahli hadis. Kaidah tersebut muncul dalam istilah tehniks yang
menyenjelaskan keragaman dan keberadan sanad atau matan.
Sanad merupakan suku guru dalam menentukan status hadis. Atas dasar itulah
ulama hadis menaruh perhatian yang sangat khusus dalam berbagai ragam sanad
menjadi thanmisi. Hadis kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanat sangat
beragam.
b. Matan Makna dan Pengertian
Hadis tidak hanya berpegang teguh pada riwayat. Tetapi juga pada matan
(materi) sedangkan matan menurud bahasa punggung jalan (muka jalan) tanah yang
keras dan tinggi, matan kitab ialah yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan
penjelasan. Yang dimaksud dengan kata mataan dalam ilmu hadis ialah pengunjung
sanad.
Matan menurut bahasa yaitu punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras
dan tinggi. Yang dimaksud dengan kata matan dalam ilmu hadis ialah pengunjung
sanad. Yakni sabda Nabi SAW. Disebut sesudah habis disebutkan sanad.
Matan
ialah materi berita yang berupa pembicaraan, perbuatan, dan taqrir yang
disampaikan / dilakukan oleh Rasulullah yang terletak setelah sanad terakhir.[7]
c. Periwayat, Makna dan Pengertianya
Kata
rawi atau al rawi berarti orang yang meriwayatkan
atau memberitakan hadis. Kata sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan.sanad hadis pada tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Akan
tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau
pentadwinan hadis. Periwayat adalah perbuatan menyampaikan hadis dan kemudian
membukukannya.
Rawi
ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
perna di dengar dan diterimanya dari seseorang.
FUNGSI
SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan
manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi
maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan
bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan
bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya
persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam
perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu
tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas
dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang
diturunkan oleh Allah SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu
pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia
dan akhirat. Rasululloh lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam,
petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan
Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti
Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni
tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir
As sunah merupakan penafsiran Al qur’an dalam praktek ataub penerapan
ajaran islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa perilaku
Rasulullah SAW, merupakan perwujudan dari Al qur’an yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna
seperti itulah yang dipahami oleh ummul mukminin Aisyah r.a dengan
pengetahuanya yang mendalamm dan perasaannya yang tajam serta pengalaman
hidupnya bersama rasulullah SAW. Pemahamannya itu dituangkan dalam susunan
kalimat yang singkat, padat, dan cemerlang, sebagai jawaban atas pertanyaan
yang diajukan kepadanya tentang akhlak Nabi SAW : “Akhlak beliau adalah Al
qur’an”.[8]
Para sahabat dimasa rasulullah masih hidup mengambil hukum-hukum islam dari
al qur’an al karim yang mereka terima dari rasul. Dalam masa itu, kerap kali al
qur’an membawa keterangan-keterangan yan bersifat mujmal, tidakmufashshal, kerapkali
membawa keterangan yang bersifat mutlak tidakmuqayyat. Perintah shalat
di dalam al qur’an mujmal sekali. Tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak
menerangkan haiyahny, kadarnya dan syarat-syaratnya. Memang banyak hukum dalam
al qur’an yang tidakk dapat dijalankan bila tidak diperoleh syara yang
berpaitan dengan syarat-syaratnya, rukun-rukun dan perusak-perusaknya dari
hadis. Oleh karena itu, para sahabat perlu kembali kepada Rasul untuk
mengetahui penjelasan-penjelasan yang diperlukan bagi ayat-ayat yang sedemikian
sifatnya. Apa lagi banyak kejadian yang terjadi yang tidak ada yang menashkan
hukumnya dalam al qur’an yang tegas.
Al hadits adalah sumber hukum islam yang kedua. Dialah sumber yang paling
banyak cabangnya, paling lengkap undang-undangnya dan paling lebar lapangannya.
Al qur’an mengandung kaidah-kaidah Amm’ dan hukum-hukumqully. Dengan
memandang posisi al quran yang mengadung kaidah-kaidah yang Amm’ tersebut, maka
hadis memberikan perhatiannyayang penuhh untuk mensyarahkan kandungan al qur,an
mencabangkan hukum-hukum juz’I dari hukum-hukum qully yang
bermateri dalam al qur’an. Seluruh ulama sepakat berpendapat bahwa as sunah
itulah bertindak menerangkan segala yang dikehendaki al qur’an, walaupun ada
perbedan-perbedaan faham antara ulama mujtahidin tentang batas-batas penerangan
as sunah/al hadis.[9]
Seluruh ulama, baik ulama Ahlur ra’yi, maupun ulama
Ahlul atsarsepakat, bahwa hadits (sunnah) itulah yang mensyaratkan dan
menjelaskan Al qur’an. Akan tetapi para ulama Ahlur ra’yi membatasi
penjelasan-penjelasan As sunnah yang diperlukan. Para ahli Atsar melebarkan
lapangan penjelasan itu. Menurut pendapat fuqoha Ahlur ra’yi sesuatu titah Al
qur’an yang khas madlulnya, tidak memerlukan kepada penjelasan As
sunnah. As sunnah yang datang mengenai titah yang khas itu ditolak ; dihukum
menambah, tidak diterima, terkecuali kalau sama kuatnya dengan ayat itu. Sedangkan
fuqoha Ahlul atsar berpendapat bahwa segala hadits yang sahih mengenai masalah
yang telah diterangkan Al qur’an harus dipandang menjelaskan Al qur’an,
mentakhsishkan umum Al qur’an, mengqaidkan muthlaq Al qur’an.
Menurut pendapat ulama Ahlur Ra’yi, penerangan Al hadits terhadap Al qur’an
terbagi tiga, yaitu :
1. Bayan taqrier, yaitu keterangan yang
didatangkan oleh As sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh
Al qur’an.
2. Bayan tafsier, menerangkan apa yang
kira-kira tak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya) seperti ayat-ayat
yang mujmal dan yangmusytarak fihi.
3. Bayan tabdiel, bayan nasakh, yakni
mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya. Menasakhkan Al qur’an dengan Al
quran menurut ulama ahlul ra’yi, boleh. Menasakhan Al qur’an dengan As sunnah,
boleh kalau As sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidl.[10]
Abu Hanifah berpenadapat, bahwa ‘am yang disepakati
menerimanya labih utama kita amalkan daripada khas yang diperselisihkan
menerimanya. Malik berpendirian baha bayan Al hadits itu terbagi kepada :
1. Bayan Taqrir, yaitu
menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum Al qur’an, bukan mentauhidkan, bukan
mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakshishkan ‘am.
2. Bayan Taudhli,(tafsir), yakni
menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yang menerangkan
maksud-maksud ayat yang dipahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang
dimaksudkan oleh ayat sendiri.
3. Bayanut Tafshiel, yakni
menjelaskan Al qur’an mujmal Al qur’an sebagai hadits yang menafsirkan
kemujmalan firman Allah.
4. Bayanul Basthy (tabsieth
bayan takwiel), yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangan
oleh Al qur’an.
5. Bayan Tasyrie, yakni
mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam Al qur’an, seperti menghukum
dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila simudda’i tiada
mempunyai dua orang saksi, seperti ridla’ mengharamkan pernikahan.[11]
Sebagian ulama berpendapat, bahwa segala hukum yang dilengkapi Sunnah,
kembali kepada Al qur’an, tidak ada yang berdiri sendiri. Asy Syafi’y di antara
ulama ahli atsar menetapkan, bahwa penjelasanAl hadits terhadap Al qur’an
terbagi lima, yaitu :
1. Bayan Tafshiel, menjelaskan
ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya).
2. Bayan Takhsiesh, menentukan
sesuatu dari umum ayat.
3. Bayan
Ta’yien, menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang
mungkin dimaksudkan.
4. Bayan Tasri’, menetapkan
sesuatu hukum yang tiada didapati dalam Al qur’an.
Contohnya, As sunnah mengharamkan keledai kampong (negeri)
5. Bayan Nasakh, menentukan mana
yang dinasikhkan dan mana yang dimasukhkan dari ayat –ayat Al qur’an yang
kelihatan berlawanan.[12]
Ahamad ibn Hambai dalam soal ini sepaham dengan gurunya Asy Syafiy, bahkan
lebih keras lagi pendiriannya dalam garis-garis penerangan As Sunnah. Ibnu
Qayyim telah manerangkan pendapat Ahmad dalam kitabnya I’lamul
Mutwaqqi’ien, sebagai berikut :
Ketarangan As Sunnah terhadap Al qur’an terbagi empat :
1. Bayan Ta’kied (bayan
taqrir), yaitu di kala As Sunnah itu bersesuaian benar petunjuknya dengan
petunjuk Al qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al qur’an.
2. Bayan Tafsier, menjelaskan
sesuatu hukum Al qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al qur’an.
3. Bayan Tasyrie, yakni
mendatangkan sesuatu yang tak ada hukumnya dalam Al qur’an.
4. Bayan Takhshiesh dan Taqyid,
yakni mengkhususkan Al qur’an dan mengqaidkannya.[13]
Apabila didapati hadits yang mengkhususkan Al qur’an, dikhususkanlah umum
itu, baik hadits yang mengkhususkan itu mutawatir, masyhur, mustafidl ahad.
Tegasnya, Sunnah menurut Ahmad, mentakhshiskan Al qur’an, mengqaidkannya dan
mentadshilkannya. Ringkasnya Ahmad berpendapat bahwa hadits ahad itu dapat
mentakhsihskan Al qur’an.
Para ulama’ Ahlur ra’yi mempunyai sandaran dalam pendiriannya. Mereka
berkata, Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak segala
hadits yang berlawanan dengan Al qur’an. Umar r.a. pernah menolak hadits
Fatimah binti Qais yang menerangkan, bahwa isteri yang ditalaq habis, tidak
berhak diberikan nafqah dan tempat tinggal lagi, karena berlawanan dengan
dhahir ayat dalam surat Ath Thalaq. Menurut dhahir ayat, segala wanita yang
dithalaq mendapat nafaqah dan tempat tinggal selama masa iddah.
(Ahmad, mengambil hadits Fathimah). Umar berkata, tidaklah saya mau tinggalkan
Kitabullah lantaran berita seorang wanita yang boleh jadi benar, boleh jadi
salah.
Aisyah menolak hadits yang menerangkan, bahwa orang mati disiksa karena
tangisan keluarganya. Aisyah menolak hadits itu dan menolak hadits yang
menerangkan bahwa Nabi SAW. Ada melihat Tuhan dengan mata kepalanya.
Diberitakan oleh Bukhary, Muslim, At Turmudzy dan Nasa-y, dari Masruq,
ujarnya : “aku berkata ‘Aisyah Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat
Tuhan-Nya ? ‘Aisyah menjawab : bangun bulu romaku mendengar sebutanmu. Di mana
engkau dari tiga perkara, barang siapa mencaritakan yang tiga itu, pasti, pasti
berdusta :
1. barang siapa menceritakan, bahwa
Muhammad melihat Tuhan-Nya berdusta, adalah dusta.
2. barang siapa menerangkan, bahwa dia mengetahui
apa yang terjadi esok hari, berdusta.
3. barang siapa menceritakan, bahwa
Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, ia berdusta.
Ulama Ahlur Ra’yi tiada menerima sesuatu hadits, sebelum mengemukakan
kepada keterangn-ketarangan Al qur’an yang tidak memerlukan penjelasan apa-apa
(yang muhkam). Mereka dalam soal ini bersandar kepada fatwa Abu Bakar, Umar dan
Aisyah.
Sebagian besar ayat-ayat Al qur’an diturunkan dalam garis besarnya saja,
sehinga secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari
sunnah/hadits Rasulullah Saw. Dengan demikian fungsi sunnah/hadits yang utama
adalah unyuk menjelaskan Al qur’an, hal ini sesuai dengan penjelasan Allah
dalam surat An-Nahl : 64 yang artinya “dan kami tidak menurunkan kepadamu al
kitab (Al qur’an) ini melainkan agar kamu dapat menjelasakn kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu.”
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber pertama bagi hukum
islam, maka hadits berfungsi sebagai bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an.
Penjelasan hadits/sunnah itu dapat berupa :
1. Menguatkan dan menegakkan hukum-hukum
yang tersebut dalam Al qur’an (fungsi tak’kid dan taqrir), dalam bentuk ini
hadits hanya seperti mengulangi hal yang telah disebutkan dalam Al qur’an.
Contohnya firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 110, yang artinya “dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”ayat tersebut dikuatkan/dita’kid
oleh sabda Nabi yang artinya “islam itu didirikan dengan lima pondasi;
kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa di bulan ramadhan (riwayat
Bukhari).
2. Memberikan penjelasan terhadap apa
yang dimaksud oleh Al qur’an dalam hal :
a. Menjelaskan arti yang masih
samar dalam Al qur’an:
Contoh menjalaskan sesuatu yang masih samar sererti kata “shalat” yang
masih samar artinya karena bias saja difahami secara bahasa yang berarti “do’a”
sebagaimana yang difahami secara umum pada waktu itu, kemudian nabi melakukan
serangkaian perbuatan yang dinilai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam. Sesudah itu nabi bersabda bahwa inilah shalat itu : “ shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat akushalat (riwayat Bukhari muslimdan lain-lain)
b. Memberikan rincian dari penjelasan Al qur’an yang masih bersifat garis
besar.
Contohnya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar
disebutkan dalam surat Annisa’ ayat 103 “sesungguhnya shalat fardu yang
telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Ayat tersebut
diberikan rincian dalam hadits rasulullah yyyang disampaikan oleh Abdullah bin
Amru menurut riwayat Muslim:“waktu dhuhur adalah apabila matahari telah
condong dan dan baying-bayang orang sama dengan panjangnya sementara waktu
ashar belum tiba, sedang waktu ashar adalah selama matahari belum menguning,
wakttu magrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya adalah sampai
pertangahan malam, dan waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar selama
matahari belum terbit. (Riwayat Muslim)
c. Membatasi apa-apa yang dalam Al qur’an disebutkan secara umum.
Contoh hadits yang memberikan batasan ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
yaitu hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surah Annisa’ ayat
11 “Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian pusaka) anak-anakmu
yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan” ayat
tersebut dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang bukan menjadi penyebab
kematian ayahnya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits yang disampaikan oleh
Amru bin Syu’eb menurut riwayat Annasa’I dan Al daruqutni : “ toada
harta warisan untuk si pembunuh (riwayat Annasai dan Daruqutni) contoh
hadits yang memperluas apa yang dimaksud oleh Al Qur’an dalam firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surah
Annisa’ ayat 23 “…. Dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan
yang bersaudara….” Ayat tersebut diperluas maksudnya oleh rasulullah
dalam haditsnya yang disampaikan Abu Hurairah r.a dengan riwayat Mutafaq Alaih
yaitu : “tidak boleh memadu perempuan dengan saudar
ayahnya dan tidak boleh pula antar perempuan dengan saudar ibunya”.
d.
Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al qur’an.
3. Menetapkan sesuatu hukum yang secara
jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Fungsi ini biasa disebut dengan istilah
bayan insya’ atau bayan itsbat, contohnya adalah Firman Allah SWT dalam surat
al maidah ayat 3 “ … diharamkan bagimu (makan) bangkai, darah, daging
babi[14]
Kemudian nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam
hadisnya yang disampaikan oleh abu hurairah dalam riwayat muslim yang artinya “
setiap binatang buas yang bertaring harang dimakan begitu pula hadis nabi
tentang kebolehan memakan bangkai yang secara khusus dijelaskan dalam hadisnya
: artinya “dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah adapun
dua macam bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati
dan limpa.
Fungsi yang ketiga ini oleh sebagian ulama masih dipertentangkan, ada yang
menganggap bahwa hal tersebut bukan hukum baru tetapi sesungguhnya sudah ada
dalam al qur’an, misalnya tentang larangan nabi untuk tidak memakan binatang
buas, bila dipahami dan dianalisa hal tersebut hanyalah penjelasn
terhadap larangan memakan sesuatu yang kotor sebagaimana terdapat dalam surat
al a’raf ayat 33 yang artinya: katakanlah “tuhanmu hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baim yang nampak ataupun yang
tersembun
KLASIFIKASI
HADITS BERDASARKAN
JUMLAH
PERIWAYATNYA
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini
kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits
yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
Rasulullah SAW ketika menyampaikan haditsnya terkadang dihadaapan orang banyak,
terkadang pula dengan beberapa orang saja bahkan terkadang hanya dihadapan satu
orang sahabat saja, begitu pula halnya dengan para sahabat ketika menyampaikan
dan mengajarkan hadits kepada muridnya terkadang banyak jumlahnya dan terkadang
sedikit atau hanya seorang saja. Situasi periwayatan seperti ini berlanjut dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang
menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi
menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits
ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain,
tidak ada jarak.[15]
Sedangkan menurut istilah ialah:
1. Suatu hasil hadits tanggapan
pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat
untuk dusta.
2. Hadits
mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari
permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap
tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan
tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala
berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk
bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat hadits
mutawatir terdiri dari sejumlah orang periwayat,terdapat keseimbangan jumlah
sanad mulai dari tabaqat pertama sampai akhir, berdasarkan panca indra (hasil
dari pengamatan langsung dan pendengaran), dan para periwayatnya mustahil
melakukan kesepakatan untuk berdusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah
diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi
Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang
menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran
hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi
menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula
yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafadz
diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau
sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh
rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir
walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang
diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar
Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah
difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (surat Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan)
pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi
syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan
Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.[16]
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak
benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits,
kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu
banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan
ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir,
seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah,
susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi
al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa
keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi
hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi,
karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin
untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim
menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat
tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan
pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Mutawatir secara lafzy yaitu hadits mutawatir yang periwayatannya pada satu
lafadz, tidak ada perbedaan antara periwayat yang satu dan beberapa periwayat
lainnya dalam lafadznya.
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari
sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40
orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsinmenyatakan
bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Silsilah/urutan
rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
ABDUL
HARIS
|
BUKHARI
|
MUSA
|
MUHAMMAD
BIN UBAID
|
SYUBAH
|
ABU MUAMAR
|
ABDUL WALID
|
HADIS NABI
|
MUSLIM
|
ABU AWARAH
|
ZUBAIR BIN
HARB
|
MUHAMMAD
BIN ABDULLAH
|
JAMI’ BIN
SADAM
|
ABU HUSEIN
|
ISMAIL
|
ABDULLAH
BIN NASIR
|
AMIR BIN ABDULAH BIN ZUBA
|
ABU SALIH
|
ABDUL AZIZ
|
ANAS BIN
MALIK
|
ABDULLAH
BIN ZUBAIR ZZZUBAIRZUBAIBAIR
|
ALI BIN
RABIAH
|
ABU
HURAERAH
|
SAID BIN
UBAID
|
2. Hadits mutawatir
maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari
kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir
yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun
terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya
selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis
yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari
30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan
telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau
memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh : Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah
rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan
yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi
Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga
ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka
memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh
karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir
maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Al-Ahad jama’ dari Ahad,
menurut bahasa berarti Al-Wahid atau satu. Dengan
demikian khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang.[17]
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana
hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu
masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya.
Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam
arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan
sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul
atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah
dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak
dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah
kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan
maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya
supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita
pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah
satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika
tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Alhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata
sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah
jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
c. Pembagian Hadits Ahad
Ulama ahli secara garis besarnya membagi hadits ahad menjadi dua,
yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Ghair
masyhur terbagi menjadi dua, yaitu ‘aziz dan ghair.
a. Hadits masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa al-dzuyu’ :
sesuatu yang sudah tersebar dan popular. Sedangkan menurut istilah adalah :
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai
ukurang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula
setelah mereka.”
Ada juga yang mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas’ yaitu :
“hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan
tidak sampai kepada batas hadits yang mutawatir”
b. Hadits ghairu masyhur
Hadits ghairu masyhur ini oleh ulama’ ahli hadits digolongkan menjadi aziz dan gharib.
Aziz berasal dari ‘azza yaizzu yang berarti sedikit atau
jarang adanya, dan bisa berasal dari azza ya azzu yang berarti
kuat.sedangkan menurut istilah didefinisikan sebagai hadits yang perawinya
tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad. Gharib menurut
bahasa berarti al-munfarid yang berarti menyendiri atau al-baid
an aqaribihi yang berarti jauh dari kerabatnya. Ulama’ ahli hadits
mendefinisikan hadits gharib sebagai hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnnya
maupun selainnya.