Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penilaian Autentik

Oleh
Zulfikri Annas
Penilaian dilakukan untuk menelusuri dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam proses pembelajaran. Hasil penilaian memastikan apakah kompetensi peserta didik tercapai secara menyeluruh, mencakup semua aspek kemampuan. Hasil penilaian tersebut berupa data yang akurat yang akan memperjelas tindakan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan keampuhan proses pembelajaran. Dengan demikian, hasil penilaian akan memberikan gambaran utuh dan holistik bahwa setiap peserta didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.

Antara penilaian yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung dan penilaian hasil bukanlah dua hal yang terpisah. Penilaian merupakan rangkaian proses mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan perkembangan peserta didik. Untuk menjamin akurasinya, penilaian memerlukan berbagai instrumen (tes dan non tes) sesuai dengan karakteristik data yang dibutuhkan. Instrumen diperlukan sebagai alat bantu untuk mendapatkan data (kualitatif dan/atau kuantitatif), data tersebut dianalisis, dan hasil analisis dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dan pemberian tindak lanjut. Dengan demikian, syarat utama penilaian harus valid dan reliabel.

Hasil penilaian yang tidak akurat, mengakibatkan ketidakpastian informasi tentang capaian kemampuan anak. Ketidakpastian capaian kemampuan anak akan menyulitkan semua pihak: anak yang bersangkutan, orang tua dan guru. Makna otentik adalah fakta yang dapat dibuktikan kebenaranya, bukan hasil manipulasi, apalagi “mark-up”. Penilaian otentik artinya penilaian yang didasarkan atas fakta yang sebenarnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.

Gambar berikut menunjukkan keterkaitan yang utuh antara pembelajaran dan penilaian:












Hasil penilaian akan memastikan apakah rencana pembelajaran mengarah kepada pencapaian kompetensi, selanjutnya juga akan membuktikan apakah pembelajaran sesuai dengan perecanaan. Hasil penilaian akan mengindikasikan apakah pembelajaran berjalan sesuai dengan harapan, jika hasil penilaian menunjukkan bahwa peserta didik tidak mencapai kompetensi yang diharapkan, maka perlu dirancang tindak lanjut sebagai (umpan balik), kepada peserta didik yang bersangkutan diberikan pembinaan yang tepat. Jika hasil penilaian menunjukkan bahwa peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan, maka tindak lanjutnya adalah melanjutkan pembelajaran ke kompetensi berikut, atau pengayaan. Gambar di atas menunjukkan bahwa penilaian berperan sebagai media untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran.

Apabila indikator semua indikator pencapaian Komepetensi Dasar (KD) telah dibuat dengan benar, tinggal buatkan rubriknya lalu masukkan ke dalam format excel. Guru tinggal memberikan tanda pada setiap indikator yang dicapai oleh siswa. Setelah beberapa waktu akan terlihat jelas perkembangan siswa. Datanya valid dan life time. Data tersebut sangat multi guna. Kegunaan aagi anak sebagai alat untuk belajar agar terus mengembangkan diri, bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran, bagi orang tua sebagai patokan dalam memberikan bimbingan kepada anak.

Bila cara ini dilakukan oleh guru, semua pekerjaan guru akan mudah, guru juga tidak sulit dalam melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) tinggal mengolah datanya karena datanya data hidup. Dan yang lebih penting lagi, guru tidak pusing lagi mengisi rapor, semua data sudah ada, baik data kuantitatif berupa angka atau yang kita kenal dengan nilai maupun datan kualitatif. Data kualitatif akan menjelaskan makna pencaaian angka atau nilai, dan itu sudah tergambar pada indikator. Kalau sudah begini, di akhir semester guru bisa istirahat karena rapor tinggal di cetak (print) saja, data yang keluar sudah lengkap, baik kuantitatif berupa angka (nilai) sekaligus beserta penjelasannya (deskripsi) sesuai dengan indikator yang ada.

Cara ini akan menghindarkan diri kita dari tindakan manipulasi, semuanya jelas dan transpran. Jika hal ini terjadi pada anak sejak Taman Kanak-Kanak (TK), sampai perguruan tinggi maka mereka tidak akan melakukan kecurangan dalam kehidupannya nanti. Penilaian otentik menyelamatkan kita dari perbuatan dosa. Ini akan menyelamatkan semua pihak dari kehancuran. Itulah pendidikan sejati, dan itulah kurikulum sejati! Apabila kita konsisten menerapkan penilaian otentik beracuan kriteria, tentunya kita tidak akan menggunakan rumus untuk mendapatkan angka tunggal dari sederetan angka yang diperoleh anak melalui serangkaian tes, ujian, atau tugas-tugas yang diberikan guru. Angka seharusnya hanya digunakan sebagai simbol yang bermakna presentase pencapaan kompetensi. Angka itu diperoleh dari perbandingan apa yang dikuasai peserta didik dengan standar yang ditetapkan. Posisinya di berapa persen, 50, 60, 75, atau 100 persen.

Untuk itu, agar kita mendapatkan angka yang akurat, dan dapat menggambarkan pencapaian kompetensi yang sesungguhnya, maka yang kita olah bukan nilai atau (angka), melainkan data yang menunjukkan pencapaian kompetensi oleh siswa. Setelah data diolah, kita akan mendapatkan kesimpulan, seberapa persen pencapaian dibandingkan dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki. Angka tersebut juga akan menggambarkan seberapa persen terjadi perubahan dari kondisi awal. Artinya, angka diperoleh setelah diperoleh kesimpulan secara kualitatif dari sejumlah data yang ada. Dengan demikian, angka final itu dengan sendirinya dapat dijelaskan secara kualitatif. Apabila kita melakukan hal ini dalam penilaian, maka kita akan terbebas dari tindakan manipulasi.

Penilaian berfungsi sebagai alat bantu untuk menelusuri hal-hal yang terjadi (perkembangan atau kemunduran) yang dialami oleh setiap peserta didik di sepanjang proses belajar. Penilaian bukan berarti “memberi nilai” atau “memberi angka”, melainkan serangkaian proses untuk mengidentifikasi hal-hal yang telah dicapai dan hal-hal yang belum dicapai oleh siswa, lalu apa langkah selanjutnya demi kemajuan belajar siswa secara berkesinambungan. Makna penilaian yang sesungguhnya adalah untuk memastikan apakah siswa mendaptkan hak-hak pendidikan yang sebenarnya. Jika hasil penilaian menunjukkan anak tidak berkembang sebagaimana mestinya, maka ia berhak untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik lagi. Bukan sebaliknya, bila pencapaiannya rendah, ia justeru tersingkir. Lembaga pendidikan bukan saringan, melainkan proses untuk membesarkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.

Dalam kebiasaan selama ini, penilaian dilakukan hanya untuk mendapatkan angka. Penilaian dianggap selesai ketika angka sudah didapatkan. Angka adalah segala-galanya. Jika ada deskripsinya, itupun hampir tidak memberikan informasi apa-apa tentang perkembangan anak. Oleh karena bersifat justifikasi, maka yang terkena dampak hanya siswa. Jika angkanya bagus, maka ia dilabeli sebagai anak pintar, dan tentunya sebagai anak pintar dia akan mendapatkan penghargaan dan pelayanan yang lebih baik. Sebaliknya, jika nilai (angkanya) rendah, ia disebut sebagai anak yang lemah, tidak pintar, dan bagi anak yang sudah dilabeli sebagai anak “lemah” atau tidak pintar, ia segera diminta untuk belajar sungguh-sungguh, ia diberi kesempatan untuk memperbaiki, jika dalam batas tertentu tidak ada perbaikan, maka ia ditawari untuk pindah. Seolah-olah tanggung jawab sepenuhnya dipikul oleh si anak.

Memang, guru memberikan kesempatan pada anak untuk memperbaiki nilai (bukan bimbingan untuk memperbaiki kompetensi yang bermasalah), setelah berkali-kali di beri kesempatan, namun jika anak tetap gagal, maka kesalahan dan tanggung jawab, serta resiko sepenuhnya ada pada anak. Inilah sumber kekeliruan implementasi pendidikan yang berpotensi untuk meninggalkan generasi yang lemah di kemudian hari. Kondisi ini harus diperbaiki.