Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Literasi Penuh: Menemukan Makna dari Setiap Peristiwa

Oleh
Zulfikri Annas
Perintah bahwa kita harus memiliki kemampuan literasi penuh turun sebelum manusia mengenal huruf/abjat. Literasi bukan sekedar terbiasa cinta membaca, lebih dari itu, literasi adalah kemampuan menangkap makna dari suatu peristiwa, kemudian makna tersebut dijadikan sebagai dasar keyakinan dalam berbuat, atas keyakinan itu kita tidak berpikir panjang lagi untuk menerapkannya secara konsisten dalam kehidupan. Selaras atau sejalan antara apa yang dipkirkan, diucapkan, dan dilakukan adalah salah satu wujud dari kemampuan literasi yang disebut dengan literasi penuh.

Merujuk pada hasil kajian kelompok Paedia di Amerika Serikat yang terkenal dengan Silabus Pendidikan Humanistiknya. Mereka mengembangkan kurikulum berorientasi pada pembentukan sifat-sifat kemanusiaan. Kurikulum yang demikian akan abadi sepanjang masa. Dasar pemikiran dalam pengembangan kurikulumnya adalah pandangan bahwa semua mata pelajaran penyumbang pembentukan sifat-sifat kemanusiaan. Sebagai contoh, mata pelajaran Matematika memberikan nutrisi pada pemikiran manusia terkait dengan keteraturan, ketegasan, perkembangan logika dari sederhana hingga kompleks, kepastian, universalitas, abstraksi, ekonomis, dan keanggunan (kesejajaran, keragaman, ritme, dan kesinambungan). Perangkat-perangkat pemikiran lain yang disumbangkan oleh matematika, antara lain: ide-ide simbol, fungsi, transformasi, dan pembuktian. Matematika memberi kepuasan estetik atas keberhasilan penggunaan pikiran untuk menyingkirkan ketidakjelasan, ketidakpastian, subjektifitas, dan emosi. 

Di balik ide pembuktian matematis terdapat aksioma yang diturunkan dari premis-premis yang tidak terbantahkan. Ilmu ini sangat bermanfaat dalam penyelesaian berbagai persoalan kehidupan sehari-hari, termasuk untuk mengungkap kebenaran dalam kasus-kasus pelik sehingga sangat membantu kita untuk menemukan kebenaran dan keadilan sejati (Adler, 2009:61-131). Pelajaran bahasa melatih dan mengkondisikan agar kita benar-benar literat terhadap berbagai hal penting dalam kehidupan. Bahasa menjadi alat yang tidak tergantikan untuk mencapai kehidupan yang seutuhnya, kehidupan yang tidak berhenti belajar. Lewat pembelajaran bahasa kita melatih kepekaan dalam mendengar, berbicara, membaca, dan menulis untuk mencapai literasi penuh. 

Bahasa merupakan alat untuk membentuk, menyusun, mengevaluasi, dan mengapresiasi pemikiran serta perasaan kita. Kemampuan bahasa juga bisa menata, menjernihkan, menghubungkan, memilah hubungan, serta menghubungkan kembali pemikiran dan perasaan. Membaca dengan literasi penuh akan menggiring kita untuk memahami pesan-pesan moral dari apa yang kita baca. Sebagai guru dan orang tua, kita harus jeli membaca ketika murid berbicara. Sebelum kita merespon ucapan dan perilaku mereka, kita harus membaca dengan cermat apa yang mereka ungkapkan atau lakukan.

Ilmu Alam atau IPA membantu kita untuk melakukan penjelajahan mencari penjelasan rasional atas fenomena alam. Proses ini terus berlangsung di sepanjang kehidupan. Melalui IPA kita kenal dengan istilah ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni menyumbangkan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang struktur dan operasi elemen-elemen alam semesta. Pencarian ini diarahkan untuk memperoleh kebenaran yang bisa dibuktikan kepada semua orang. Ini akan mengukuhkan bahwa ilmu pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu terapan menggunakan ilmu murni dan mengatur pemanfaatanya, menyesuaikannya secara teknis dan ekonomis, dalam situasi ini kita terbantu oleh kehadiran berbagai teknologi sehingga terasa sekali bahwa ilmu pengetahuan yang kita peroleh untuk memudahkan kehidupan. Di awal usia sekolah, terutama di tiga tahun pertama belajar IPA, ceramah harus minimal, sejumlah keajaiban bisa ditampilkan kepada anak agar mereka takjub dan “larut” dalam belajar mengasah dan membesarkan potensi diri.

Ilmu sosial atau IPS berperan dalam mempersiapkan para murid untuk menjadi anggota masyarakat. Setiap kita harus memiliki pemahaman dasar tentang fungsi-fungsi masyarakat, bagaimana menjalin hubungan sosial di antara kita, hubungan negara kita dengan negara lain, dan bagaimana manusia mempengaruhi dunia atau alam yang mereka huni, bagaimana mengelola sumber daya untuk kesejahteraan jangka panjang, bagaimana menciptakan kerukunan hidup dalam keberagaman. Dalam hal ini pembelajaran IPS harus dikaitkan dengan ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Nasr dengan tegas menyatakan bahwa kerusakan ekologis dan tatanan kehidupan berawal dari dikeluarkanya agama dari sains. Realitas kosmik adalah manifestasi dan refleksi keberadaan Illahi. Pada hakikatnya isi jagat raya memuat pesan-pesan genostik Illahi. Pelajaran sains moderen telah mereduksi dan mendesakralisasi alam kosmik. “Alam hanya dihadirkan sebagai objek kajian manusia untuk digunakan, direduksi, dimanipulasi, dan dikuasai demi memenuhi segala ambisi. 

Tidak satupun fenomena atau peristiwa yang luput dari ketentuan Ilahi. "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata. Desakralisasi alam ini dampak dari desakralisasi pengetahuan. Proses itu telah membelokkan orientasi pengetahuan yang seharusnya ditujukan untuk penemuan kebijaksanaan yang memancar dari Illahi. Akibatnya rasa kagum atas realitas alam menjadi hilang” (Sugiantoro, 2015).

Jika diibaratkan ilmu sebagai jasad maka agama adalah ruhnya. Ketika kita pisahkan antara ilmu dan agama, kita telah mencabut ruh dari jasad. Di situlah kehancuran berawal. Kembalikan kurikulum ke hakikatnya, yaitu kurikulum untuk kehidupan yang memanusiakan manusia, agar mereka menjadi manusia yang cerdas, bijak, dan tangguh sampai dewasa nanti. Inilah puncak dari proses literasi.