Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Riset Otak dan Nilai

Penelitian pada perkembangan dan fungsi otak sekarang ini mulai mengarah pada perkembangan baru yang beda dengan sebelumnya, yaitu bagaimana otak diorganisir, bagaimana cara otak menggerakan kognisi dan akhimya bagaimana otak mempengaruhi sistem kepercayaan, sistem sikap dan sistem nilai kita. Ketika riset otak pertama kali dilakukan, nampak adanya logika dalam sistem organisasi otak manusia yang secara langsung berhubungan dengan pembentukan dan perubahan kepercayaan.
Hasil penelaahan medis dan psikologis di awal tahun 1950an memberikan pemahaman kepada kita apa yang disebut dengan “spirit brain research” yaitu suatu proses meninjau otak sebagai dua bagian yang terpisah, antara otak kiri dan otak kanan, yaitu :
Bagian otak kiri dan otak kanari adalah terpisah dan keduanya berbeda
Masing-masing memiliki spesialisasi ketrampilan yang berbeda
Masing-masing memiliki style kognitif dan afektif yang berbeda
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, hasil utama penemuan riset otak ini membawa kita pada serangkaian kepercayaan yang diyakini secara populer pada tahap awal yaitu memperlihatkan bahwa otak sebelah kiri dihubungkan dengan ketrampilan logika dan linguistik, sedangkan otak bagian kanan berhubungan dengan fungsi-fungsi artistik, kreatif dan emotif. Keyakinan ini berpengaruh pada teori dan praktek pendidikan serta teori sosio kultural.
Dalam bidang pendidikan, banyak praktisi yang menyarankan bahwa pada suatu sekolah dibutuhkan dua kurikulum yang berbeda, yakni kurikulum untuk memenuhi kepentingan otak kiri (yaitu ranah kognitif) dan kurikulum untuk kepentingan otak kanan (yaitu ranah kreatif dan afektif). Demikian pula pada bidang Antropologi budaya, ciri-ciri masyarakat yang berbeda dijelaskan berdasarkan pengertian dominasi otak kiri (yaitu masyarakat yang kelihatannya lebih terorganisir dengan logika, berorientasi pada tugas, dan memandang dunia mereka secara objektif), dan masyarakat yang didominasi oleh otak kanan (yaitu masyarakat yang nampaknya lebih menghargai perasaan, aestetika, dan kreatifitasnya melebihi berfikir logis dan nalarnya, serta menghargai suatu pandangan emotif tentang dunia)
Berdasarkan karya Gazzaniga, Sperry, Le Doux, Premach, Festinger serta yang lain menunjukkan hasil rangkuman penelitian otak tentang pendidikan nilai yaitu :
Otak di bagi ke dalam dua bidang utama yaitu otak kiri kawan-kawan tersebut, 
Kedua bagian ini saling berhubungan (interkoneksi) dan sama-sama memiliki jalur yang dapat menggerakkan respon prilaku.
Bila kedua sisi dipisahkan dengan operasi bedah, masing-masing sisi mampu mengambil alih beberapa fungsi utama yang secara khas diasosiasikan pada sisi lain.
Tidak semua otak diorganisir dengan cara yang sama, maksudnya ada beberapa orang yang menggunakan otak kanannya untuk fungsi tertentu, sementara pada orang yang lain fungsi tersebut dilakukan oleh otak kirinya.
Bagi kebanyakan orang, otak bagian kiri lebilh berhubungan dan melaksanakan fungsi logika, linguistik, inferensi. Sedangkan otak bagian kanan lebih dapat digunakan untuk memanipulasi objek, dipakai untuk mengorganisir gerak mata dan tangan, serta digunakan untuk fungsi peraba yang non-verbal, dan menggerakkan reaksi yang lebih emotif (seperti afektif dan perasaan).
Walaupun otak kiri dan otak kanan memiliki spesialisasi masing-masing, akan tetapi kapabilitasnya jauh lebih besar dari hasil pemikiran penelitian sebelumnya.
Fungsi-Fungsi

Otak Kanan:
Manipulasi Objek
Respon-respon emosi
Peraba
Estetis
Kreativitas
Otak Kiri:
Berfikir Logis
Verbal
Inferensi
Membentuk Hubungan
Sistem 'Mistis"

Masing-masing bagian otak merupakan sistem modular pemrosesan mental yang merdeka dan terpisah yang masing-masing dapat mereaksi stimulus secara emosional. (yaitu memberikan valensi atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu stimulus). Kita tidak selalu dapat menentukan stimulus mana yang dapat menggerakkan reaksi tertentu. Sistem-sistem modular ini bisa mengingat kejadian-kejadian, menyimpan perasaan-perasaan afektif, serta dapat merespon terhadap stimulus yang dihubungkan dengan ingatan. Hasil dari suatu stimulus non-verbal, atau kejadian reaksi emosional akan dapat menggerakkan respon refleks. Akhirnya, otak akan memproses secara internal serta menganalisa respon-respon emotif tersebut yang akan diwujudkan dalam respon verbal.
Sistem-sistem modular ini menyimpan dasar-dasar kepercayaan dan emosi sehingga dapat mengendalikan sikap dan nilai kita.
Seandainya hubungan antara otak kiri dan otak kanan dipotong melalui bedah, maka otak kanan umumnya kehilangan sebagian besar atau seluruh kemampuannya untuk berbicara. 
Sebagai person, kita membentuk sikap terhadap objek dengan cara sebagai berikut :
Secara mental menggambar atau membatasi objek dalam pengertian memberikan serangkaian ciri atau atribut yang diketahui.(berdasarkan pengalaman masa lalu 
Memberikan valensi (suatu nilai baik positif maupun negatif) terhadap masing-masing atribut berdasarkan kepercayaan yang disimpan dalam sistem modular otak.
Memproses kekuatan valensi (baik yang positif maupun negatif) yang dipandang berasal dari atribut-atribut yang diberikan pada objek.
Mengeluarkan atau menyampaikan suatu perasaan (sikap) terhadap objek.
Setiap objek baik berupa kata, gambar, kejadian atau pribadi akan berhubungan dengan valensi emosional yang berbeda, misalnya; sekolah atau guru akan memiliki valensi yang berbeda bisa positif ataupun bisa negatif, dan bisa memiliki tahap intensitas yang berbeda (bisa kurang intensitasnya atau lebih) terhadap orang yang berbeda hal ini tergantung kepercayaan seseorang sehubungan dengan objek tersebut)
Bila suatu stimulus mengakibatkan konflik diantara dasar-dasar kepercayaan kita, maka kita akan memasuki tahap ketidak seimbangan, yang oleh Leon Festinger. tahap ketidak seimbangan itu disebutnya sebagai "Disonansi Kognitif" Agar diperoleh kembali kesimbangan, kita harus memecahkan konflik-konflik tersebut. Oleh karena itu bila seseorang mengalami hal tersebut maka :
Menyusun kembali sistem kepercayaan kita informasi baru, dan konsekwensinya
kita akan merubah prilaku dan konsisten dengan kepercayaan baru kita, atau
Secara total menolak informasi baru dengan cara mempertahankan kepercayaan serta memelihara prilaku lama kita.
Bagian otak kiri manusia nampaknya berisi sistem modular "mistis" yang menyebabkan kita mencari
Penjelasan rasional tentang eksistensi dan aksinya,
Cara-cara yang dapat membedakan diri kita dengan orang lain.
Kedua fungsi ini nampaknya menjadi penyebab "blind spots" (jalan buntu) pada kemampuan manusia untuk bisa bernalar secara logis. Oleh karena itu manusia sering mengembangkan penjelasan yang tidak logis atau ilusi-ilusi yang menghalangi berfikir logis (misalnya kita cenderung untuk menyalahkan orang lain atas sesuatu yang menimpa diri kita, atau kita berdalih untuk mempertahankan diri dari suatu realitas). 
Manusia awalnya tidak memiliki otak seperti otak manusia yang ada sekarang ini
Manusia purba (Homo habilis yang hidup jutaan tahun yang lalu) memiliki suplai darah yang amat terbatas pada otaknya, oleh karena itu memungkinkan untuk memiliki daya nalar yang amat terbatas, sehingga dia tidak mampu untuk membuat inferensi dan dia hanya memikirkan hidupnya untuk masa kini. Dia tidak memiliki
kemampuan untuk menciptakan alat-alat baru, memperbaiki lingkungan secara berarti, tidak mampu memecahkan masalah, serta tidak berkomunikasi lewat bahasa. Sedangkan Homo Erectus (yang hidup kurang lebih 200.000 sampai satu juta tahun yang lalu) memiliki sistem sirkulasi yang memungkinkan bertambahnya aliran darah ke otak, oleh karena itu sudah memiliki sistem inferensi walaupun dalam taraf sederhana, serta mulai memproyeksikan hidupnya karena masa laiu untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang (misalnya, belajar dari kegagalan dan keberhasilan masa lalu serta melihat adanya kebutuhan untuk menyediakan makanan serta perlindungan untuk masa depan). Manusia Neanderthal yang hidup kurang lebih antara 40.000 tahun yang lalu, bahkan telah memiliki aliran yang lebih besar ke otak, oleh karena itu telah memiliki kemampuan, dia sudah bisa mengembangkan komunikasi verbal dan mengembangkan suatu sistem inferensi yang lebih canggih dari manusia sebelumn mulai mampu mengontrol lingkungannya. Diyakini tahap inilah manusia pemetaan mental, seperti memecahkan problem yang kompleks, mengembangkan sistem aestetis, serta sistem keagamaan, yaitu suatu cara yang sistematis untuk memandang dunia berdasarkan serangkaian sikap, nilai dan standar moral.
Interaksi sistem kepercayaan manusia, sistem mistis serta prilakunya (seperti interaksi dengan lingkungan serta evaluasi dan verbalisasi interaksi tersebut) berkembang secara khas pada setiap pribadi dalam memandang dunia sehingga membentuk kepribadiannya. Michael Gazzaniga, seorang peneliti ternama dalam fungsi-fungsi sosial otak manusia mengatakan bahwa manusia memiliki salah satu dari dua pandangan terhadap dunianya, yaitu
Pandangan eksternal, yaitu kita berada dalam kemurahan lingkungan, serta tanggung jawab hidup ada pada tangan orang lain (seperti Tuhan masyarakat, pelindung, dll). Oleh karena itu manusia hanya bisa membuat keputusan yang amat terbatas dan hanya memiliki kemampuan untuk mengontrol kehidupan secara terbatas pula, lebih jauh dari itu manusia menerima sistem kepercayaan eksternal khususnya yang dibuat oleh orang lain. Dengan demikian motivasi pun akan datang secara luas dari sumber-sumber eksternal.
Pandangan internal, yaitu kita bebas untuk mengadaptasi lingkungan. Tanggungjawab hidup dan kehidupan berada pada individu itu sendiri yang dapat membentuk kepercayaannya sendiri secara bebas, yang hasilnya akan dibuat menjadi serangkaian prinsip-prinsip internal untuk dijadikan dasar memperhitungkan informasi baru yang berpengaruh  terhadap kepercayan-Kepercayaan yang telah ada pada dirinya. 
Sistem kepercayaan manusia terbentuk dan berubah ketika dia berinteraksi dengan lingkungannya, serta sistem kepercayaan itu akan memilik informasi tambahan tambahan melalui:
Panca indranya
Inferensi (menggambarkan hubungan komparatif) dan pemetaan mental (yaitu melakukan pemecahan masalah yang kompleks).
Orang lain baik dari penguasa, keluarga, teman dsb.
Norma-norma prilaku kelompok sosial.
Pengalaman langsung dan pengalaman tidak langsung
Perubahan dalam suatu kepercayaan akan didapatkan dari hasil informasi baru (berbeda informasi baru yang dihargai oleh kita dan informasi baru yang dipercaya oleh kita). Perubahan dalam kepercayaan ini akan menghasilkan perubahan lain di bidang sikap, nilai dan akhirnya terjadi perubahan prilaku.
Diterima tidaknya informasi baru tergantung dari faktor-faktor sebagai berikut:
Bagaimana informasi itu diperkenalkan (proses input)
Oleh siapa informasi tersebut disampaikan 
Dalam kondis bagaimana infomasi itu disampaikan dan diterima.
Tingkat disonansi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut (yaitu tingkat dan sifat konflik yang terjadi dengan kepercayaan yang telah ada).
Level permainan individu yaitu menerima informasi baru serta merubah tingkah lakunya.