Teori Pembelajaran Bahasa
1.
Teori
Behaviorisme
Tokoh aliran ini adalah John B.
Watson (1878 – 1958) yang di Amerika dikenal sebagai bapak Behaviorisme.
Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan secara langsung
pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan respons pada dunia
sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk tindak balas (respons)
ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika rangsangan telah diamati
dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan.
Seorang behavioris menganggap bahwa
perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan.
Respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan, baik respons yang berupa
pemahaman atau respons yang berwujud ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran
dengan mereaksi stimulus secara memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi
itu.
Implikasi teori ini ialah bahwa guru
harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus
mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang
tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak.
Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya,
apa yang menurut guru adalah hukuman bagi siswa dianggap sebagai hadiah.
Upaya lain untuk mendukung teori
Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan Osgood (1953). Dia menjelaskan
bahwa proses pemerolehan semantik (makna) didasarkan pada teori mediasi atau
penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil proses pembelajaran dan pengalaman
seseorang dan merupakan mediasi untuk melambangkan sesuatu. Pendapat para ahli
psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah
hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa tapi
ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.
2. Teori Nativisme
Berbeda dengan kaum behavioristik,
kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada
manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan.
Mereka tidak memandang penting pengaruh dari lingkungan sekitar. Selama belajar
bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya
yang secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka
menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis. Menurut mereka bahasa
terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu yang
relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana keyakinan kaum behavioristik.
Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut sistem bahasa menurut keyakinan
mereka pasti sudah ada dalam diri setiap manusia secara alamiah.
Istilah nativisme
dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh
bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh
dan belajar bahasa.
Manusia mempunyai bakat
untuk terus menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus mengadakan
revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang diterima di lingkungannya.
Chomsky dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem
yang sah dari sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses
perkembangan sedikit demi sedikit stuktur yang salah, bukan dari bahasa tahap
pertama yang lebih banyak salahnya ke tahap berikutnya, tetapi bahasa anak pada
setiap tahapan itu sistematik dalam arti anak secara terus menerus membentuk
hipotesis dengan dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam
ujarannya sendiri dan pemahamannya.
3.
Teori Kognitivisme
Pada tahun 60-an golongan
kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam studi pemerolehan
bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan kognitif. Jika pendekatan
kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan yang dianut golongan
kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral dari pendekatan ini
yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh sebagai akibat dari
kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa bahasa itu
distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu perkembangan
pembelajaran bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan
demikian urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan
urutan-urutan perkembangan bahasa dirinya.
Menurut aliran ini kita
belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa atau kejadian yang
terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap
kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam bahasa yang didengar di
sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa pada anak dipandang
sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus berubah dan
berkembang. Bahasa dipandang sebagai manifestasi dari perkembangan aspek
kognitif dan afektif yang menyatakan tentang dunia dan diri manusia itu
sendiri.
4.
Teori Fungsional
Dengan munculnya
kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi
lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan
kognitif dan struktur ingatan. Para peneliti bahasa mulai melihat
bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk
menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan
terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Piaget menggambarkan
penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan interaksi
komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan
pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara
perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan
bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif
dan urutan
5.
Teori Konstruktvisme
Jean Piaget dan Leu
Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan kontruktivisme. Ahli
kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi mereka sendiri terhadap
kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk mengetahui dan menggambarkan
sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa pertama dan kedua.
Pembelajaran harus
dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara
rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan
dari pengalaman. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong
siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai
cara eksplorasi dan pendekatan. Jika siswa telah mencobanya sendiri, maka
pemahaman yang didapat tidak hanya berupa kata-kata saja, namun berupa konsep.
Dalam rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru-guru untuk menciptakan
lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan
dan mengoreksi pembelajaran.
6. Teori Humanisme
Teori ini muncul diilhami
oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi Humanisme. Tujuan utama dari
teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa berkembang di tengah
masyarakat (McNeil,1977). Sementara tujuan teori humanisme menurut Coombs
(1981) yaitu pengajaran disusun berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan
siswa. program pengajaran diarahkan agar siswa mampu menciptakan pengalaman
sendiri berdasarkan kebutuhannya. hal ini dilakukan untuk mengembangkan potensi
yang mereka miliki.
Para ahli psikologi
menciptakan sebuah teori dimana pendidikan berpusat pada siswa (learner
centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia pendidikan yaitu dengan
menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam teori humanisme,
setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka
masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan
aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai
kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai
fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
7.
Teori Sibernetik
Istilah sibernetika
berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah Cybernetics
yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika, pertama kali
digunakan th.1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul Cybernetics.
Sibernetika adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian
informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback)
dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
Seiring perkembangan
teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari Amerika sejak tahun
1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan informasi berkembang
pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan terutama guru untuk
berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi ajar), menerangkan
materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi hasil belajar siswa.
Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya 'perbedaan', bahwa suatu
hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau bahwa sesuatu akan
berubah seiring perkembangan waktu. Pembelajaran digambarkan sebagai : INPUT
=> PROSES => OUTPUT
Teori sibernetik
diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching approach) dan
metode pembelajaran, yang sudah banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya
virtual learning, e-learning, dll. Beberapa kelebihan teori sibernetik:
a.
Setiap orang bisa memilih
model pembelajaran yang paling sesuai dengan untuk dirinya, dengan mengakses
melalui internet pembelajaran serta modulnya dari berbagai penjuru dunia.
b.
Pembelajaran bisa
disajikan dengan menarik, interaktif dan komunikatif. Dengan animasi-animasi
multimedia dan interferensi audio, siswa tidak akan bosan duduk berjam-jam
mempelajari modul yang disajikan.
c.
Menganggap dunia sebagai
sebuah 'global village', dimana masyarakatnya bisa saling mengenal satu sama
lain, bisa saling berkomunikai dengan mudah, dan pembelajaran bisa dilakukan
dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu, sepanjang sarana pembelajaran
mendukung.
d.
Ketika bertanya atau
merespon pertanyaan guru atau instruktur, secara psikologis siswa akan lebih berani
mengungkapkanya, karena siswa tidak akan merasa takut salah dan menanggung
akibat dari kesalahannya secara langsung.