Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Model-model Pengembangan Kurikulum




15 Model-Model Pengembangan Kurikulum Lengkap
Pengertian Model  Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan isu-isu mengenai kurikulum, siapa yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu ditujukan (Kaber, 1988, hal. 75).

Pengembangan kurikulum merupakan alat untuk membantu guru melakukan tugasnya mengajar/menyajikan bahan, menarik minat siswa, dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Beane, Toepfer dan Allesi menyatakan perencanaan atau pengembangan kurikulum adalah suatu proses di mana partisipan pada berbagai level membuat keputusan tentang tujuan, tentang bagaimana tujuan direalisasi melalui belajar mengajar, dan apakah tujuan dan alat itu serasi dan efektif (Beane, Toepfer, & Allesi, 1986, hal. 56). Model pada dasarnya merupakan pola yang memberikan petunjuk untuk bertindak pada hampir setiap bentuk aktifitas pendidikan. Seringkali kita kurang cermat dalam menggunakan istilah model di dalam pendidikan. Sebuah model pada prinsipnya harus mampu menawarkan sebuah solusi untuk masalah pendidikan. Sebuah model juga dapat dicoba untuk memecahkan sebuah permasalahan khusus dunia pendidikan. Selain itu, sebuah model biasanya dibuat atau dikembangkan dengan meniru dan memodifikasi sebuah pola model yang lebih besar.

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan” (Sukmadinata, 1997, hal. 161). Oleh karena itu, para praktisi memiliki tanggung jawab untuk memahami komponen-komponen pokok dalam model-model kurikulum. 

Dari uraian di atas maka model pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai pola yang memberikan petunjuk bagi para praktisi pendidikan untuk membuat keputusan tentang tujuan pendidikan, cara untuk merealisasi tujuan pendidikan, evaluasi ketercapaian tujuan tersebut, serta perbaikannya. Dengan mempelajari dan menguji berbagai model pengembangan kurikulum, kita dapat menganalisa tahap-tahap pada permulaan model-model tersebut yang terkandung sebagai bagian penting untuk kita ketahui. Menggunakan sebuah model dalam aktivitas sebagai pengembangan kurikulum dapat menghasilkan efisiensi dan produktifitas pendidikan yang lebih besar.

Model-model Pengembangan Kurikulum
Suatu model pengembangan kurkulum pada hakikatnya merupakan pola yang dapat membantu berpikir, konseptualisasi suatu proses, menunjukkan prinsip-prinsip, prosedur yang dapat menjadi pedoman bertindak dalam aktifitas pendidikan. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan dengan berbagai sistem dan cara, dan dituangkan dalam berbagai model.

Model Taba
Pendapat Hilda Taba mengenai model pengembangan kurikulum dikenal dengan pendekatan akar rumput. Taba berpendapat bahwa kurikulum seharusnya didesain oleh para guru daripada diterima guru dari pemerintah. Selanjutnya, Taba menyatakan bahwa para guru seharusnya memulai proses pengembangan kurikulum dengan mendesain unit-unit pembelajaran di sekolahnya bukan dari desain umum yang luas. Taba menggunakan pendekatan induktif dalam mengembangkan kurikulum. Dalam pendekatan induktif, pengembang kurikulum memulai dari desain khusus dan membangunnya menuju desain umum. Pendekatan ini sebagai tantangan terhadap pendekatan deduktif yang telah ada sebelumnya, yang memulai dari desain umum dan diturunkan ke yang khusus. Model pengembangan kurikulum Taba memuat lima langkah pengembangan, yaitu :
a. membuat unit-unit eksperimen
b. menguji unit-unit eksperimen
c. mengadakan revisi dan konsolidasi
d. mengembangkan kerangka kurikulum
e. implementasi dan diseminasi unit-unit baru
(Oliva, 1992, hal. 161-162)

Pada langkah pertama, membuat unit-unit eksperimen bersama guru-guru, diadakan studi yang seksama tentang hubungan antara teori dan praktik di dalam unit eksperimen. Taba menentukan delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini :
a. mendiagnosis kebutuhan
b. merumuskan tujuan-tujuan
c. memilih isi
d. mengorganisasi isi
e. memilih pengalaman belajar
f. mengorganisasi aktifitas pembelajaran
g. menentukan apa yang dievaluasi serta cara evaluasinya
h. memeriksa urutan dan keseimbangan

Langkah kedua, menguji unit-unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masi harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk menetapkan validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan.

Langkah ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal lebih yang bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal ini dilakukan sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada suatu sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.

Langkah keempat, mengembangkan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para profesional kurukulum lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan sesuai.

Langkah kelima, implementasi dan diseminasi unit-unit baru, yaitu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan lainnya.

Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum yang dikemukakan Tyler diajukan berdasarkan pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
Tujuan pendidikan apa yang dicapai oleh sekolah?
Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan pendidikan?
Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai?
Berdasar pada empat pertanyaan tersebut, Tyler merumuskan empat tahap yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:

Menentukan Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harsu dicapai dalam program pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku akhir setelah peserta didik mengikuti program pendidikan, sehingga tujuan tersebut harus dirumuskan secara jelas dan terperinci. Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan sebagai sumber dalam penentuan tujuan pendidikan menurut Tyler, yaitu:
hakikat peserta didik,
kehidupan masyakat masa kini, dan
pandangan para ahli bidang studi.
Penentuan tujuan pendidikan dengan berdasar kepada ketiga aspek diatas, selanjutnya difilter oleh nilai-nilai filosofis masyarakat dan filosofis pendidikan serta psikologi belajar. Ada lima faktor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan, yaitu: pengembangan kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan sikap kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap sosial.

Menentukan Proses Pembelajaran
Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang kemampuan peserta didik. Pengalaman peserta didik akan sangat membantu dalam terwujudnya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan pendidikan atau sumber belajar, yang tujuannya untuk membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga muncul perilaku yang utuh.

Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan dan isi atau materi belajar. Tahapan-tahapan belajar yang tersusus dengan rapi akan sangat membantu terwujudnya tujuan pembelajaran. Kejelasan materi dan proses pembelajaran akan memberikan gambaran mengenai jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan.

Menentukan Evaluasi Belajar
Menentukan evaluasi belajar yang cocok merupakan tahap akhir dalam model Tyler. Dalam menentukan evalusi belajar hendaknya mengacu pada tujuan pembelajaran, materi pembelajaran serta proses pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, hendaknya merujuk pula pada prinsip-prinsip evaluasi yang ada.

Model Administratif
Pengembangan kurikulum ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down) atau staff lini (line-staff procedure), artinya dalam pengembangan kurikulum ini terdapat beberapa tahapan secara prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu oleh beberapa tim tertentu.
Langkah pertama adalah pembentukan ide awal yang dilaksanakan oleh para pejabat tingkat atas, yang membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangagn kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.

Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri dari para ahli, yaitu: ahli pendidikan, kurikulum, disiplin imu, tokoh masyarakat, tim pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara opersional berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi pembelajaran, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.

Langkah ketiga, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudian diajukan untuk diperiksa dan diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek kurikulum secara terkoordinasi dan menyiapkan secara sistem dalam rangka uji coba maupun dalam rangka sosialisasi dan penyebarluasan (desiminasi). Setelah perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu diujicobakan secara nyata di beberapa sekolah yang diangga representatif. Pelaksana uji coba adalah tenaga professional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.

Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang efektif maka diperlukan kegiatan monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan pelaksanaan di lapangan. Kelemahan dari model administratif adalah kurikulum ini bentuknya seragam dan bersifat sentralistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia pendidikan yang menganut asas desentralisasi. Selain dari pada itu, kurikulum ini kurang tanggap terhadap perubahan nyata yang dihadapi para pelaksana kurikulum di lapangan.

Model Grass Roots
 Pengembangna kurikulum model ini adalah kebalikan dari model administratif, artinya model ini digunakan dan berkembang dalam sistem pendidikan desentralisasi. Model Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang dimulai dari bawah. Dalam prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan dan ide guru-guru sebagai tim pengajar.

Model ini lebih demokratis karena digagas sendiri oleh pelaksana di lapangan, sehingga perbaikan bisa dimulai dari unit yang paling terkecil dan spesifik hingga ke yang lebih besar. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatian dalam menerapkan model pengembangan grass roots ini, yaitu:
guru harus memiliki kemampuan yang professional,
guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum dan penyelesaian masalah kurikulum,
guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan evalusi,
seringnya pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap pemaham guru dan akan menghasilkan konsesus tujuan, prinsip, maupun rencana-rencana.

Model pengambangan kurikulum ini dapat dikembangakan pada lingkup luas maupun dalam lingkup yang sempit. Dapat berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk beberapa bidang studi maupun pada beberapa sekolah yang lebih luas. dalam prosesnya, guru-guru harus mampu melakukan kerja operasional dalam pengembangan kurikulum secara kooperatif sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang sistemik.

Oleh karena itu pengembangan kurikulum model ini sangat membutuhkan dukungan moril maupun materil yang bersifat kondusif dari pihak pimpinan. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi dalam model ini, di antaranya adalah akan bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat secara demokratis. Sehingga apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu), maka cenderung banyak mengabaikan kebijakan pusat.

Model Demostrasi
Model ini pada dasarnya bersifat grass roots, yang idenya datang dari bawah. Semula merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skal kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk model pengembangan ini.

Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum. Unit-unit ini melakukan suatu proyek melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model kurikulum. Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan pada lingkungan sekolah yang lebih luas. pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.

Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada, kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba dan mengadakan pengembangan secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih baik dari yang ada.

 Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah:
kurikulum ini lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan diteliti secara ilmiah,
perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum yang sangat luas dan kompleks,
hakekat model demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan pelaksanaan di lapangan,
model ini akan menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan sumber-sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan program baru.

Roger’s interpersonal relations model
Carls Rogers adalah pencetus model ini, meskipun bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan, ia mendasarkan pandangannya bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif (penyesuaian) terhadap situasi perubahan. (Hamid Syarif 1997: 106)

Ada empat langkah dalam pengembangan kurikulum model ini:
1.      Memilih sasaran adminstrator (pejabat pendidikan) dalam sistem pendidikan dengan syarat individu yang terlibat hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan intensif kelompok selama satu minggu di suatu tempat khusus yang jauh dari tempat kesibukan.
2.      Mengikutsertakan staf pengajar (guru) dalam pengalaman intensif kelompok. Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok yang diadakan pada pertemuan selama seminggu atau kurang dari satu minggu.
3.      Mengikutsertakan satu kelas atau unit kelas dalam pertemuan lima hari.
4.      Menyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara administrator, pengajar, dan orang tua siswa.

The systematic action-research model
Model pengembangan kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan kurikulum merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal yaitu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional.
Model ini terdiri dari dua langkah:
1.      Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut.
2.      Implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama, kegiatan ini segera diikuti oleh kegiatan pegumpulan data dan fakta-fakta.

Emerging technical model (model teknologi)
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efesiensi efektivitas dalam bisnis, juga mepengaruhi perkebangan model- model kurikulum. Ada kecenderungan-kecenderungan baru yang tumbuh didasarkan atas hal itu, diantaranya adalah: (Nana Syaodih Sukmadinata:2004:170)

The berhavioral analisys model (model analisis prilaku), model ini memulai kegiatan dengan jalan melatih kemampuan anak didik mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks secara bertahap.

The system analisys model (model analisis sistem), model ini memulai kegiatannya dengan jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output), kemudian menyusun alat-alat pengukur untuk menilai keberhasilannya dan mengidentifikasikan sejumlah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya.
The computer-based model (model berdasarkan komputer/ suatu model pengembangan kurikulum dengan memamafaatkan komputer), model ini memulai kegiatan dengan jalan mengidentifikasikan sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan tujuan–tujuan instruksional khususnya.

Model Beauchamp
Model ini dikembangakan oleh George A. Beuchamp, seorang ahli kurikulum. Menurut Beauchamp, proses pengembangan kurikulum meliputi lima tahap yaitu :
1.      Menentukan area atau wilayah akan dicakup oleh kurikulum
2.     Penentuan tahap ini ditentukan pemegang wewenang yang dimiliki pengambil kebijakan dibidang kurikulum.
3.      Menetapkan personalia

Tahap ini menentukan siapa saja orang yang akan terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang sebaiknya dilibatkan, yaitu: para ahli pendidikan atau kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan ahli bidang studi; para ahli pendididkan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih; para professional dalam bidang pendidikan; professional lain dan tokoh masyarakat.

Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum
Langkah ini berkenaan dengan prosedur dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, juga dalam menentukan desain kurikulum secara keseluruhan. Keseluruhan prosedur tersebut dibagi ke dalam lima langkah, yaitu :
1.      Membentuk tim pengembang kurikulum.
2.      Mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada dan yang sedang digunakan.
3.      Studi tentang alternatif isi kurikulum baru.
4.      Merumuskan kreteris-kreteria bagi penetuan kuirkulum baru.
5.      Penyusunan dan penulisan kurikulum baru.

Implementasi kurikulum
Tahap ini yaitu pelaksanaan kurikulum yang telah dikembangkan oleh tim pengembang. Dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas, biaya, manajerial dan kepemimpinan sekolah.

Evaluasi kurikulum
Hal-hal penting yang dievaluasi yaitu: pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, desain kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan dari sistem kurikulum.

Model Miller-Seller
Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya. model pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari model transmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan pengembangan sebagai berikut :

Klarifikasi Orientasi Kurikulum
Orientasi ini merefleksikan pandangan filosofis, psikologos, dan sosiologis terhadap kurikulum yang seharusnya dikembangkan. Menurut Miller dan Seller, ada tiga jenis orientasi kurikulum yaitu transmisi, transaksi, dan transformasi.

Pengembangan Tujuan
Langkah selanjutnya adalah mengembangkan tujaun umum dan tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang (image person) dan pandangan (image) kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relatif umum. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada tujuan instruksional.

Identifikasi Model Mengajar
Pada tahap ini pelaksana kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar yang akan digunakan yang disesuaikan dengan tujuan dan orientasi kurikulum. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu:
1.      Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan khusus.
2.      Strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
3.      Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah dilatih, dan mendukung model.
4.      Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.

Implementasi
Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponen-komponen program studi, identifikasi sumber, peranan, pengembangan professional, penetapan waktu, komunikasi, dan sistem monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir dalam pengembangan kurikulum. Prosedur orientasi yang dibakukan pada umumnya tidak sesuai dengan kurikulum transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi pada umumnya menggunakan teknik-teknik evaluasi berstruktur dalam menilai kesesuaian antara pengelaman-pengalaman, strategi be;ajar dan tujuan pendidikan.

Model Wheeler
Menurut Wheeler, pengembangan kerikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Menurut wheeler proses pengembangan kurikulum merupakan proses yang terjadi secara terus menerus dan saling berkaitan. Wheeler berpendapat bahawa proses pengembangan kurikulum terjadi dari lima fase atau tahap. Setiap tahap dalam proses ini merupakan suatu pekerjaan yang harus berlangsung secara berurut atau sistematis. Maksudnya disini adalah kita tidak mungkin dapat menjalankan atau menyelesaikan tahap kedua kalau tahap pertama belum terselesaikan atau dikerjakan. Namun demikian manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita akan kembali lagi ke tahap awal. Demikian seterusnya sehingga proses pengembangan daripada sebuah kurikulum berlangsung secara terus menerus tanpa ada ujungnya.

Tahap-tahap pengembangan kurikulum menurut Wheeler teridri dari 5 tahap yaitu:
Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus.
Dalam hal ini tujuan umum dapat berupa tujuan yang bersifat normative yang mengandung tujuan filisofis (aim) atau tujuan pembelajaran yang bersifat praktis (goals). Sedangkan yang menjadi tujuan khusus yaitu tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yaitu suatu tujuan pembelajaran yang mudah diukur ketercapaiannya.

Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam langkah pertama. Yang dimaksud dengan pengalaman belajar disini adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menentukan pengalaman belajar merupakan hal yang penting untuk materi-materi yang sesuai dalam proses pembelajaran.

Menentukan isi dan materi pelajaran sesuai dengan pengalaman belajar. Penentuan isi dan materi pelajaran ini di dasarkan atas pengalaman belajar yang di alami oleh peserta didik, pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik dijadikan suatu acuan dalam penyusunan materi ajar.

Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi pelajaran. Setelah materi ajar disusun maka dilakukan penyatuan antara pengalaman belajar dengan materi ajar yang telah disusun, hal ini bertujuan agar terjadi hubungan atau kesinambungan antara pengalaman belajar dengan materi ajar. Sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil belajar yang maksimal.

Melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan. Dalam proses pengembangan kurikulum ini tahap evaluasi merupakan tahap yang sangat penting, hal itu karena proses penilaian atau evaluasi dapat memberikan informasi tentang ketercapaian daripada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini maka akan dapat diketahui apakah kurikulum yang diterapkan itu berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut. Secara rinci dapat dikatakan bahwa evaluasi bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum, apakan kurikulum itu masih bisa berlaku atau harus diperbaharui atau diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan kemajuan teknologi.

Dari langkah-langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan Wheller, maka tampak bahwa pengembangan kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada hakikatnya setiap tahapan pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen pengembangan yang saling bergantung satu sama lainya.

Model Nicholls
Dalam bukunya, Developing curriculum: A Participial Guide (1978), Audrey dan Howard Nicholls mengembangkan suatu pendekatan yang cukup tegas mencakup elemen-elemen kurikulum dengan jelas dan ringkas. Buku tersebut sangat popular di kalangan pendidik, khususnya di Inggirs, di mana pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah sudah lama ada.

Nicholas menitikberatkan pada pendekatan pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk kurikulum yag munculnya dari adanya perubahan situasi. Mereka berpendapat bahwa :” …change should be planed and introduced on a rational and valid this according to logical process, and this has not been the case in the vast majority of changes that have already taken place”

Audrey dan Nichllos mendifisikan kembali metodenya Tyler, Taba, Wheeller dengan menekan pada kurikulum proses yang bersiklus atau bentuk lingkaran, dan ini dilakuakan demi langkah awal, yaitu analisis situasi (situasional analysis). Kedua penulis ini mengukapkan bahwa sebelum elemen-elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas, konteks dan situasi di mana keputusan kurikulum itu harus dibuat harus dipertimbangkan dengan secara mendetail dan serius. Dengan demikian, analisis situasi menjadi langkah pertama (preliminary stage) yang membuat para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan.

Terdapat lima langkah atau tahap (stage) yang diperlukan dalam proses pengembangan secara kontinu (continue curriculum process). Langkah-langkah terbut menurut Nicholls adalah;
1.      Situsional analysis (analisis situasional)
2.      Selection of objectives (seleksi tujuan/menentukan tujuan)
3.      Selection and organization of content (menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran)
4.      Selction and organization of methods (menentukan dan mengorganisasi metode)
5.      Evaluation (evaluasi)

Model Dinamic Skilbeck
Menurut Skilbeck, model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah model pngembangan kurikulum pada level sekolah (School Nased Curriculum Development).
Skilbeck menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan berjalan dengan baik, maka setiap pengembang termasuk guru perlu memahami lima elemen pokok yang dimulai dari mennganalisis situasi sampai pada melakukan penilaian.
Skilbeck menganjurkan model pengembangan kurikulum yang ia susun dapat dijadikan alternatif dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah. Menurut Skilbeck langkah-langakah pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut 
1.      Menganalisis sesuatu
2.      Memformulasikan tujuan
3.      Menyususn program
4.      Interpretasi dan implementasi
5.      Monitoring, feedback, penilaian, dan rekonstruksi

Model Oliva
Model pengembangan kurilum Oliva merupakan model pengembangan kurikulum deduktif yang menawarkan sebuah proses pengembangan kurikulum sekolah secara lengkap. Oliva menyusun suatu kurikulum yang memenuhi tiga kriteria : sederhana, komprehensif, dam sistematik. Secara siklus garis besar dan berurutan terdiri atas uraian filosofis, uraian tujuan pembelajaran umum (goals), tujuan pembelajaran khusus (objectives), desain perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Model pengembangan kurikulum Oliva merupakan kombinasi dari dua submodel, yaitu submodel pengembangan kurikulum dan sub model pengajaran. Langkah-langkah model kurikulum ini dikenal sebagai The Twelve-Components, tetapi dapat diuraikan menjadi 17 (tujuh belas) langkah, yaitu:
1.      Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik secara umum
2.      Merinci kebutuhan-kebutuhan masyarakat
3.      Menuliskan pernyataan filosofis dan tujuan pendidikannya.
4.      Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah masing-masing.
5.      Merinci kebutuhan-kebutuhan komunitas tertentu
6.      Merinci kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan mata pelajaran
7.      Merinci Tujuan Institusional
8.      Merinci Tujuan Kurikuler
9.      Mengorganisasi dan mengimplementasikan kurikulum
10.  Merinci Tujuan Pembelajaran Umum
11.  Merinci Tujuan Pembelajaran Khusus
12.  Memilih strategi-strategi pembelajaran
13.  Memulai menyeleksi strategi-strategi evaluasi
14.  Melaksanakan strategi-strategi pembelajaran
15.  Melakukan seleksi terakhir atas strategi-strategi evaluasi
16.  Mengevaluasi dan memodifikasi komponen-komponen pembelajaran
17.  Mengevaluasi dan memodifikasi komponen-komponen kurikulum
Langkah 1-9 dan 17 merupakan submodel pengembangan kurikulumm sedangkan langkah 10-16 merupakan submodel pengajaran.

Model Saylor, Alexander, dan Lewis
Saylor, Alexander, dan Lewis merumuskan proses perencanaan kurikulum seperti ditunjukkan dalam Gambar berikut :
Model ini membentuk curriculum planning process (proses perencanaan kurikulum). Untuk memahami model ini, kita harus menganalisa konsep kurikulum dan konsep rencana kurikulum model tersebut. Kurikulum menurut model ini adalah “a plan for providing sets of learning opportunities for person to be educated”, yaitu sebuah rencana yang menyediakan perangkat kesempatan pembelajaran bagi seseorang untuk dididik. Tetapi, rencana kurikulum tidak dipahami sebagai sebuah dokumen semata tetapi lebih sebagai beberapa rencana yang lebih kecil untuk bagian utama dari kurikulum tertentu.

Tujuan Sasaran, dan Bidang Kegiatan
Model ini menunjukkan bahwa perencana kurikulum mulai dengan menentukan tujuan utama dan tujuan khusus pendidikan yang akan dicapai. Saylor, Alexander, dan Lewis mengklasifikasikan serangkaian tujuan ke dalam empat bidang kegiatan di mana terjadi pengalaman belajar, yaitu : perkembangan pribadi, kompetensi sosial, keterampilan belajar yang berkelanjutan, dan spesialisasi.
Setelah tujuan, sasaran, dan bidang kegiatan telah ditetapkan maka perencana kurikulum memulai proses perancangan kurikulum. Pada proses perancangan kurikulum para pengembang kurikulum menentukan kesempatan belajar yang tepat untuk tiap bidang kegiatan serta bagaimana dan kapan kesempatan akan disediakan.

Cara Pengajaran
Setelah rancangan kurikulum disusun maka para guru yang menjadi bagian dari rencana kurikulum harus menyusun rencana pengajaran. Para guru memilih metode yang menghubungkan antara kurikulum dengan siswa. Guru pada tahap ini perlu diperkenalkan istilah “tujuan pengajaran”. Selanjutnya para guru menentukan tujuan khusus pengajaran sebelum memilih strategi atau model penyajian.

Evaluasi
Setelah implementasi maka langkah selanjutnya adalah evaluasi. Pada tahap ini perencana kurikulum dan guru terlibat secara bersama-sama dalam memilih teknik evaluasi yang akan digunakan. Saylor, alexander, dan Lewis mengajukan suatu rancangan yaitu : (1) evaluasi dari keseluruhan program pendidikan di sekolah, termasuk tujuan, sub tujuan, sasaran, efektifitas pengajaran, dan pencapaian siswa dalam bagian tertentu dari program tersebut, (2) evaluasi dari program evaluasi itu sendiri. Proses evaluasi memungkinkan perencana kurikulum untuk menentukan apakah tujuan dan sasaran telah tercapai.