Model-model Pengembangan Kurikulum
15 Model-Model Pengembangan Kurikulum Lengkap
Pengertian Model Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan
kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pendidikan. Sasaran yang ingin
dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak
faktor, mempertimbangkan isu-isu mengenai kurikulum, siapa yang dilibatkan,
bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu ditujukan
(Kaber, 1988, hal. 75).
Pengembangan
kurikulum merupakan alat untuk membantu guru melakukan tugasnya mengajar/menyajikan
bahan, menarik minat siswa, dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Beane, Toepfer
dan Allesi menyatakan perencanaan atau pengembangan kurikulum adalah suatu
proses di mana partisipan pada berbagai level membuat keputusan tentang tujuan,
tentang bagaimana tujuan direalisasi melalui belajar mengajar, dan apakah
tujuan dan alat itu serasi dan efektif (Beane, Toepfer, & Allesi, 1986,
hal. 56). Model pada dasarnya merupakan pola yang memberikan petunjuk untuk
bertindak pada hampir setiap bentuk aktifitas pendidikan. Seringkali kita
kurang cermat dalam menggunakan istilah model di dalam pendidikan. Sebuah model
pada prinsipnya harus mampu menawarkan sebuah solusi untuk masalah pendidikan.
Sebuah model juga dapat dicoba untuk memecahkan sebuah permasalahan khusus
dunia pendidikan. Selain itu, sebuah model biasanya dibuat atau dikembangkan
dengan meniru dan memodifikasi sebuah pola model yang lebih besar.
Menurut Nana
Syaodih Sukmadinata, “banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan
kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan
atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang
optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem
pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang
digunakan” (Sukmadinata, 1997, hal. 161). Oleh karena itu, para praktisi
memiliki tanggung jawab untuk memahami komponen-komponen pokok dalam
model-model kurikulum.
Dari uraian di
atas maka model pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai pola yang
memberikan petunjuk bagi para praktisi pendidikan untuk membuat keputusan
tentang tujuan pendidikan, cara untuk merealisasi tujuan pendidikan, evaluasi
ketercapaian tujuan tersebut, serta perbaikannya. Dengan mempelajari dan menguji
berbagai model pengembangan kurikulum, kita dapat menganalisa tahap-tahap pada
permulaan model-model tersebut yang terkandung sebagai bagian penting untuk
kita ketahui. Menggunakan sebuah model dalam aktivitas sebagai pengembangan
kurikulum dapat menghasilkan efisiensi dan produktifitas pendidikan yang lebih
besar.
Model-model Pengembangan Kurikulum
Suatu model
pengembangan kurkulum pada hakikatnya merupakan pola yang dapat membantu
berpikir, konseptualisasi suatu proses, menunjukkan prinsip-prinsip, prosedur
yang dapat menjadi pedoman bertindak dalam aktifitas pendidikan. Pengembangan
kurikulum dapat dilakukan dengan berbagai sistem dan cara, dan dituangkan dalam
berbagai model.
Model Taba
Pendapat Hilda
Taba mengenai model pengembangan kurikulum dikenal dengan pendekatan akar
rumput. Taba berpendapat bahwa kurikulum seharusnya didesain oleh para guru
daripada diterima guru dari pemerintah. Selanjutnya, Taba menyatakan bahwa para
guru seharusnya memulai proses pengembangan kurikulum dengan mendesain unit-unit
pembelajaran di sekolahnya bukan dari desain umum yang luas. Taba menggunakan
pendekatan induktif dalam mengembangkan kurikulum. Dalam pendekatan induktif,
pengembang kurikulum memulai dari desain khusus dan membangunnya menuju desain
umum. Pendekatan ini sebagai tantangan terhadap pendekatan deduktif yang telah
ada sebelumnya, yang memulai dari desain umum dan diturunkan ke yang khusus.
Model pengembangan kurikulum Taba memuat lima langkah pengembangan, yaitu :
a. membuat
unit-unit eksperimen
b. menguji
unit-unit eksperimen
c. mengadakan
revisi dan konsolidasi
d. mengembangkan
kerangka kurikulum
e. implementasi
dan diseminasi unit-unit baru
(Oliva, 1992,
hal. 161-162)
Pada langkah
pertama, membuat unit-unit eksperimen bersama guru-guru, diadakan studi yang
seksama tentang hubungan antara teori dan praktik di dalam unit eksperimen.
Taba menentukan delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini :
a. mendiagnosis
kebutuhan
b. merumuskan
tujuan-tujuan
c. memilih isi
d. mengorganisasi
isi
e. memilih pengalaman
belajar
f. mengorganisasi
aktifitas pembelajaran
g. menentukan apa
yang dievaluasi serta cara evaluasinya
h. memeriksa
urutan dan keseimbangan
Langkah kedua,
menguji unit-unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam
pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masi harus diuji di kelas-kelas atau
tempat lain untuk menetapkan validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun
data bagi penyempurnaan.
Langkah ketiga,
mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa
data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan.
Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu
penarikan kesimpulan tentang hal-hal lebih yang bersifat umum yang berlaku
dalam lingkungan yang lebih luas. Hal ini dilakukan sebab meskipun suatu unit
eksperimen telah cukup valid dan praktis pada suatu sekolah belum tentu
demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada
daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.
Langkah keempat,
mengembangkan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan
konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih
luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para profesional
kurukulum lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah konsep-konsep
dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan sesuai.
Langkah kelima,
implementasi dan diseminasi unit-unit baru, yaitu menerapkan kurikulum baru ini
pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini masalah
dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan
guru-guru, fasilitas, alat dan bahan lainnya.
Model Ralph Tyler
Model
pengembangan kurikulum yang dikemukakan Tyler diajukan berdasarkan pada
beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan
kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
Tujuan pendidikan
apa yang dicapai oleh sekolah?
Pengalaman-pengalaman
pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai tujuan pendidikan?
Bagaimanakah
pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya diorganisasikan?
Bagaimanakah
menentukan bahwa tujuan telah tercapai?
Berdasar pada
empat pertanyaan tersebut, Tyler merumuskan empat tahap yang harus dilakukan
dalam pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:
Menentukan Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan
merupakan arah atau sasaran akhir yang harsu dicapai dalam program pendidikan
dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku akhir setelah
peserta didik mengikuti program pendidikan, sehingga tujuan tersebut harus
dirumuskan secara jelas dan terperinci. Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan
sebagai sumber dalam penentuan tujuan pendidikan menurut Tyler, yaitu:
hakikat peserta
didik,
kehidupan
masyakat masa kini, dan
pandangan para
ahli bidang studi.
Penentuan tujuan
pendidikan dengan berdasar kepada ketiga aspek diatas, selanjutnya difilter
oleh nilai-nilai filosofis masyarakat dan filosofis pendidikan serta psikologi
belajar. Ada lima faktor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan, yaitu:
pengembangan kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan
sikap kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap
sosial.
Menentukan Proses
Pembelajaran
Salah satu aspek
yang harus diperhatikan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan
latar belakang kemampuan peserta didik. Pengalaman peserta didik akan sangat
membantu dalam terwujudnya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam
proses pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan
lingkungan pendidikan atau sumber belajar, yang tujuannya untuk membentuk
sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga muncul perilaku yang utuh.
Menentukan
Organisasi Pengalaman Belajar
Pengalaman
belajar sangat dipengaruhi oleh tahapan-tahapan dan isi atau materi belajar.
Tahapan-tahapan belajar yang tersusus dengan rapi akan sangat membantu
terwujudnya tujuan pembelajaran. Kejelasan materi dan proses pembelajaran akan
memberikan gambaran mengenai jenis evaluasi yang akhirnya dapat digunakan.
Menentukan
Evaluasi Belajar
Menentukan
evaluasi belajar yang cocok merupakan tahap akhir dalam model Tyler. Dalam
menentukan evalusi belajar hendaknya mengacu pada tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran serta proses pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya. Selain
itu, hendaknya merujuk pula pada prinsip-prinsip evaluasi yang ada.
Model
Administratif
Pengembangan
kurikulum ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down) atau
staff lini (line-staff procedure), artinya dalam pengembangan kurikulum ini
terdapat beberapa tahapan secara prosedural yang harus ditempuh dengan dibantu
oleh beberapa tim tertentu.
Langkah pertama
adalah pembentukan ide awal yang dilaksanakan oleh para pejabat tingkat atas,
yang membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangagn kurikulum.
Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.
Langkah kedua
adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan
kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri dari para ahli,
yaitu: ahli pendidikan, kurikulum, disiplin imu, tokoh masyarakat, tim
pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja. Tim ini bertugas untuk
mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun strategi
pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara opersional
berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun
pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi
pembelajaran, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian
pembelajaran.
Langkah ketiga,
kurikulum yang sudah selesai disusun kemudian diajukan untuk diperiksa dan
diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek
kurikulum secara terkoordinasi dan menyiapkan secara sistem dalam rangka uji
coba maupun dalam rangka sosialisasi dan penyebarluasan (desiminasi). Setelah
perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu diujicobakan secara nyata
di beberapa sekolah yang diangga representatif. Pelaksana uji coba adalah
tenaga professional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Supaya uji coba
tersebut menghasilkan masukan yang efektif maka diperlukan kegiatan monitoring
dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan berdasarkan
pelaksanaan di lapangan. Kelemahan dari model administratif adalah kurikulum
ini bentuknya seragam dan bersifat sentralistik, sehingga kurang sesuai jika
diterapkan dalam dunia pendidikan yang menganut asas desentralisasi. Selain
dari pada itu, kurikulum ini kurang tanggap terhadap perubahan nyata yang
dihadapi para pelaksana kurikulum di lapangan.
Model Grass Roots
Pengembangna
kurikulum model ini adalah kebalikan dari model administratif, artinya model
ini digunakan dan berkembang dalam sistem pendidikan desentralisasi. Model
Grass Roots adalah model pengembangan kurikulum yang dimulai dari bawah. Dalam
prosesnya pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan dan ide
guru-guru sebagai tim pengajar.
Model ini lebih
demokratis karena digagas sendiri oleh pelaksana di lapangan, sehingga
perbaikan bisa dimulai dari unit yang paling terkecil dan spesifik hingga ke
yang lebih besar. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatian dalam
menerapkan model pengembangan grass roots ini, yaitu:
guru harus
memiliki kemampuan yang professional,
guru harus
terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum dan penyelesaian masalah kurikulum,
guru harus
terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan
evalusi,
seringnya
pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan berdampak terhadap
pemaham guru dan akan menghasilkan konsesus tujuan, prinsip, maupun rencana-rencana.
Model
pengambangan kurikulum ini dapat dikembangakan pada lingkup luas maupun dalam
lingkup yang sempit. Dapat berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah
tertentu, tetapi dapat pula digunakan untuk beberapa bidang studi maupun pada
beberapa sekolah yang lebih luas. dalam prosesnya, guru-guru harus mampu
melakukan kerja operasional dalam pengembangan kurikulum secara kooperatif
sehingga dapat menghasilkan suatu kurikulum yang sistemik.
Oleh karena itu
pengembangan kurikulum model ini sangat membutuhkan dukungan moril maupun
materil yang bersifat kondusif dari pihak pimpinan. Ada beberapa hal yang harus
diantisipasi dalam model ini, di antaranya adalah akan bervariasinya sistem
kurikulum di sekolah karena menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat
secara demokratis. Sehingga apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu),
maka cenderung banyak mengabaikan kebijakan pusat.
Model Demostrasi
Model ini pada
dasarnya bersifat grass roots, yang idenya datang dari bawah. Semula merupakan
suatu upaya inovasi kurikulum dalam skal kecil yang selanjutnya digunakan dalam
skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau
ketidaksetujuan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores,
ada dua bentuk model pengembangan ini.
Pertama,
sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan
ditunjuk untuk melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum.
Unit-unit ini melakukan suatu proyek melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan untuk menghasilkan suatu model kurikulum. Hasil dari kegiatan
penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan pada lingkungan
sekolah yang lebih luas. pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh pihak
Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi
dan perbaikan suatu kurikulum.
Kedua, dari
beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada,
kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba dan mengadakan pengembangan
secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum
ada, dan merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan
pengembangan yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum
yang lebih baik dari yang ada.
Ada beberapa
kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah:
kurikulum ini
lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan
diteliti secara ilmiah,
perubahan
kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil
akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum
yang sangat luas dan kompleks,
hakekat model
demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan di lapangan,
model ini akan
menggerakkan inisiatif, kreatifitas guru-guru serta memberdayakan sumber-sumber
administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan
program baru.
Roger’s interpersonal relations model
Carls Rogers
adalah pencetus model ini, meskipun bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli
psikologi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kurikulum. Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan,
ia mendasarkan pandangannya bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka
mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif (penyesuaian) terhadap
situasi perubahan. (Hamid Syarif 1997: 106)
Ada empat langkah
dalam pengembangan kurikulum model ini:
1. Memilih sasaran adminstrator (pejabat
pendidikan) dalam sistem pendidikan dengan syarat individu yang terlibat
hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan intensif kelompok selama
satu minggu di suatu tempat khusus yang jauh dari tempat kesibukan.
2. Mengikutsertakan staf pengajar (guru) dalam
pengalaman intensif kelompok. Sama seperti yang dilakukan para pejabat
pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok yang diadakan pada
pertemuan selama seminggu atau kurang dari satu minggu.
3. Mengikutsertakan satu kelas atau unit kelas
dalam pertemuan lima hari.
4. Menyelenggarakan pertemuan secara
interpersonal antara administrator, pengajar, dan orang tua siswa.
The systematic action-research model
Model pengembangan
kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan kurikulum merupakan
perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga
hal yaitu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa
dari pengetahuan profesional.
Model ini terdiri
dari dua langkah:
1. Mengadakan kajian secara seksama tentang
masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh,
dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi
masalah tersebut.
2. Implementasi dari keputusan yang diambil dalam
tindakan pertama, kegiatan ini segera diikuti oleh kegiatan pegumpulan data dan
fakta-fakta.
Emerging technical model (model teknologi)
Perkembangan
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efesiensi efektivitas
dalam bisnis, juga mepengaruhi perkebangan model- model kurikulum. Ada
kecenderungan-kecenderungan baru yang tumbuh didasarkan atas hal itu,
diantaranya adalah: (Nana Syaodih Sukmadinata:2004:170)
The berhavioral
analisys model (model analisis prilaku), model ini memulai kegiatan dengan
jalan melatih kemampuan anak didik mulai dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks secara bertahap.
The system
analisys model (model analisis sistem), model ini memulai kegiatannya dengan
jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output), kemudian menyusun
alat-alat pengukur untuk menilai keberhasilannya dan mengidentifikasikan
sejumlah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya.
The
computer-based model (model berdasarkan komputer/ suatu model pengembangan
kurikulum dengan memamafaatkan komputer), model ini memulai kegiatan dengan
jalan mengidentifikasikan sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan
tujuan–tujuan instruksional khususnya.
Model Beauchamp
Model ini
dikembangakan oleh George A. Beuchamp, seorang ahli kurikulum. Menurut
Beauchamp, proses pengembangan kurikulum meliputi lima tahap yaitu :
1. Menentukan area atau wilayah akan dicakup oleh
kurikulum
2. Penentuan tahap ini ditentukan pemegang
wewenang yang dimiliki pengambil kebijakan dibidang kurikulum.
3. Menetapkan personalia
Tahap ini
menentukan siapa saja orang yang akan terlibat dalam pengembangan kurikulum.
Ada empat kategori orang yang sebaiknya dilibatkan, yaitu: para ahli pendidikan
atau kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan ahli bidang
studi; para ahli pendididkan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru
terpilih; para professional dalam bidang pendidikan; professional lain dan
tokoh masyarakat.
Organisasi dan
prosedur pengembangan kurikulum
Langkah ini
berkenaan dengan prosedur dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus,
memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, juga dalam
menentukan desain kurikulum secara keseluruhan. Keseluruhan prosedur tersebut
dibagi ke dalam lima langkah, yaitu :
1.
Membentuk tim
pengembang kurikulum.
2.
Mengadakan
penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada dan yang sedang
digunakan.
3.
Studi tentang
alternatif isi kurikulum baru.
4.
Merumuskan
kreteris-kreteria bagi penetuan kuirkulum baru.
5.
Penyusunan dan
penulisan kurikulum baru.
Implementasi
kurikulum
Tahap ini yaitu
pelaksanaan kurikulum yang telah dikembangkan oleh tim pengembang. Dalam
pelaksanaan kurikulum dibutuhkan kesiapan guru, siswa, fasilitas, biaya,
manajerial dan kepemimpinan sekolah.
Evaluasi
kurikulum
Hal-hal penting
yang dievaluasi yaitu: pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, desain
kurikulumnya, hasil belajar siswa, keseluruhan dari sistem kurikulum.
Model Miller-Seller
Pengembangan
kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya. model pengembangan
kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari model
transmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan
pengembangan sebagai berikut :
Klarifikasi
Orientasi Kurikulum
Orientasi ini
merefleksikan pandangan filosofis, psikologos, dan sosiologis terhadap
kurikulum yang seharusnya dikembangkan. Menurut Miller dan Seller, ada tiga
jenis orientasi kurikulum yaitu transmisi, transaksi, dan transformasi.
Pengembangan
Tujuan
Langkah
selanjutnya adalah mengembangkan tujaun umum dan tujuan khusus berdasarkan
orientasi kurikulum yang bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks ini adalah
merefleksikan pandangan orang (image person) dan pandangan (image)
kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan tujuan yang masih relatif umum.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang lebih khusus hingga pada
tujuan instruksional.
Identifikasi
Model Mengajar
Pada tahap ini
pelaksana kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar yang akan
digunakan yang disesuaikan dengan tujuan dan orientasi kurikulum. Ada beberapa
kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan model mengajar yang akan
digunakan, yaitu:
1. Disesuaikan dengan tujuan umum maupun tujuan
khusus.
2. Strukturnya harus sesuai dengan kebutuhan
siswa.
3. Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah
memahami secara utuh, sudah dilatih, dan mendukung model.
4. Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam
pengembangan model.
Implementasi
Implementasi
sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponen-komponen program studi,
identifikasi sumber, peranan, pengembangan professional, penetapan waktu,
komunikasi, dan sistem monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir dalam
pengembangan kurikulum. Prosedur orientasi yang dibakukan pada umumnya tidak
sesuai dengan kurikulum transformasi, sebaliknya kurikulum transmisi pada
umumnya menggunakan teknik-teknik evaluasi berstruktur dalam menilai kesesuaian
antara pengelaman-pengalaman, strategi be;ajar dan tujuan pendidikan.
Model Wheeler
Menurut Wheeler,
pengembangan kerikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Menurut
wheeler proses pengembangan kurikulum merupakan proses yang terjadi secara
terus menerus dan saling berkaitan. Wheeler berpendapat bahawa proses
pengembangan kurikulum terjadi dari lima fase atau tahap. Setiap tahap dalam
proses ini merupakan suatu pekerjaan yang harus berlangsung secara berurut atau
sistematis. Maksudnya disini adalah kita tidak mungkin dapat menjalankan atau
menyelesaikan tahap kedua kalau tahap pertama belum terselesaikan atau
dikerjakan. Namun demikian manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita
akan kembali lagi ke tahap awal. Demikian seterusnya sehingga proses
pengembangan daripada sebuah kurikulum berlangsung secara terus menerus tanpa
ada ujungnya.
Tahap-tahap
pengembangan kurikulum menurut Wheeler teridri dari 5 tahap yaitu:
Menentukan tujuan
umum dan tujuan khusus.
Dalam hal ini
tujuan umum dapat berupa tujuan yang bersifat normative yang mengandung tujuan
filisofis (aim) atau tujuan pembelajaran yang bersifat praktis (goals).
Sedangkan yang menjadi tujuan khusus yaitu tujuan yang bersifat spesifik dan
observable (objective) yaitu suatu tujuan pembelajaran yang mudah diukur
ketercapaiannya.
Menentukan
pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai
tujuan yang telah dirumuskan dalam langkah pertama. Yang dimaksud dengan
pengalaman belajar disini adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Menentukan pengalaman belajar merupakan hal yang penting
untuk materi-materi yang sesuai dalam proses pembelajaran.
Menentukan isi
dan materi pelajaran sesuai dengan pengalaman belajar. Penentuan isi dan materi
pelajaran ini di dasarkan atas pengalaman belajar yang di alami oleh peserta
didik, pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik dijadikan suatu acuan
dalam penyusunan materi ajar.
Mengorganisasi
atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi pelajaran. Setelah
materi ajar disusun maka dilakukan penyatuan antara pengalaman belajar dengan
materi ajar yang telah disusun, hal ini bertujuan agar terjadi hubungan atau
kesinambungan antara pengalaman belajar dengan materi ajar. Sehingga proses
belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil belajar yang
maksimal.
Melakukan
evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan. Dalam proses
pengembangan kurikulum ini tahap evaluasi merupakan tahap yang sangat penting,
hal itu karena proses penilaian atau evaluasi dapat memberikan informasi
tentang ketercapaian daripada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan
evaluasi ini maka akan dapat diketahui apakah kurikulum yang diterapkan itu
berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah
tersebut. Secara rinci dapat dikatakan bahwa evaluasi bertujuan untuk
menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan
mengenai kurikulum, apakan kurikulum itu masih bisa berlaku atau harus
diperbaharui atau diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga
penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan kemajuan teknologi.
Dari
langkah-langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan Wheller, maka tampak
bahwa pengembangan kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada
hakikatnya setiap tahapan pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari
komponen-komponen pengembangan yang saling bergantung satu sama lainya.
Model Nicholls
Dalam bukunya, Developing
curriculum: A Participial Guide (1978), Audrey dan Howard Nicholls
mengembangkan suatu pendekatan yang cukup tegas mencakup elemen-elemen
kurikulum dengan jelas dan ringkas. Buku tersebut sangat popular di kalangan
pendidik, khususnya di Inggirs, di mana pengembangan kurikulum pada tingkat
sekolah sudah lama ada.
Nicholas
menitikberatkan pada pendekatan pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya
kebutuhan untuk kurikulum yag munculnya dari adanya perubahan situasi. Mereka
berpendapat bahwa :” …change should be planed and introduced on a rational and
valid this according to logical process, and this has not been the case in the
vast majority of changes that have already taken place”
Audrey dan
Nichllos mendifisikan kembali metodenya Tyler, Taba, Wheeller dengan menekan
pada kurikulum proses yang bersiklus atau bentuk lingkaran, dan ini dilakuakan
demi langkah awal, yaitu analisis situasi (situasional analysis). Kedua penulis
ini mengukapkan bahwa sebelum elemen-elemen tersebut diambil atau dilakukan
dengan lebih jelas, konteks dan situasi di mana keputusan kurikulum itu harus
dibuat harus dipertimbangkan dengan secara mendetail dan serius. Dengan demikian,
analisis situasi menjadi langkah pertama (preliminary stage) yang membuat para
pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan.
Terdapat lima
langkah atau tahap (stage) yang diperlukan dalam proses pengembangan secara
kontinu (continue curriculum process). Langkah-langkah terbut menurut Nicholls
adalah;
1. Situsional analysis (analisis situasional)
2. Selection of objectives (seleksi
tujuan/menentukan tujuan)
3. Selection and organization of content
(menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran)
4. Selction and organization of methods
(menentukan dan mengorganisasi metode)
5. Evaluation (evaluasi)
Model Dinamic Skilbeck
Menurut Skilbeck,
model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah model
pngembangan kurikulum pada level sekolah (School Nased Curriculum Development).
Skilbeck
menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan
berjalan dengan baik, maka setiap pengembang termasuk guru perlu memahami lima
elemen pokok yang dimulai dari mennganalisis situasi sampai pada melakukan
penilaian.
Skilbeck
menganjurkan model pengembangan kurikulum yang ia susun dapat dijadikan
alternatif dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah. Menurut Skilbeck
langkah-langakah pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut
1. Menganalisis sesuatu
2. Memformulasikan tujuan
3. Menyususn program
4. Interpretasi dan implementasi
5. Monitoring, feedback, penilaian, dan
rekonstruksi
Model Oliva
Model
pengembangan kurilum Oliva merupakan model pengembangan kurikulum deduktif yang
menawarkan sebuah proses pengembangan kurikulum sekolah secara lengkap. Oliva
menyusun suatu kurikulum yang memenuhi tiga kriteria : sederhana, komprehensif,
dam sistematik. Secara siklus garis besar dan berurutan terdiri atas uraian filosofis,
uraian tujuan pembelajaran umum (goals), tujuan pembelajaran khusus
(objectives), desain perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Model
pengembangan kurikulum Oliva merupakan kombinasi dari dua submodel, yaitu
submodel pengembangan kurikulum dan sub model pengajaran. Langkah-langkah
model kurikulum ini dikenal sebagai The Twelve-Components, tetapi dapat
diuraikan menjadi 17 (tujuh belas) langkah, yaitu:
1. Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik
secara umum
2. Merinci kebutuhan-kebutuhan masyarakat
3. Menuliskan pernyataan filosofis dan tujuan
pendidikannya.
4. Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik di
sekolah masing-masing.
5. Merinci kebutuhan-kebutuhan komunitas tertentu
6. Merinci kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan mata pelajaran
7. Merinci Tujuan Institusional
8. Merinci Tujuan Kurikuler
9. Mengorganisasi dan mengimplementasikan
kurikulum
10. Merinci Tujuan Pembelajaran Umum
11. Merinci Tujuan Pembelajaran Khusus
12. Memilih strategi-strategi pembelajaran
13. Memulai menyeleksi strategi-strategi evaluasi
14. Melaksanakan strategi-strategi pembelajaran
15. Melakukan seleksi terakhir atas
strategi-strategi evaluasi
16. Mengevaluasi dan memodifikasi
komponen-komponen pembelajaran
17. Mengevaluasi dan memodifikasi komponen-komponen
kurikulum
Langkah 1-9 dan
17 merupakan submodel pengembangan kurikulumm sedangkan langkah 10-16 merupakan
submodel pengajaran.
Model Saylor, Alexander, dan Lewis
Saylor,
Alexander, dan Lewis merumuskan proses perencanaan kurikulum seperti
ditunjukkan dalam Gambar berikut :
Model ini
membentuk curriculum planning process (proses perencanaan kurikulum). Untuk memahami model ini, kita harus menganalisa
konsep kurikulum dan konsep rencana kurikulum model tersebut. Kurikulum menurut
model ini adalah “a plan for providing sets of learning opportunities for
person to be educated”, yaitu sebuah rencana yang menyediakan perangkat
kesempatan pembelajaran bagi seseorang untuk dididik. Tetapi, rencana kurikulum
tidak dipahami sebagai sebuah dokumen semata tetapi lebih sebagai beberapa
rencana yang lebih kecil untuk bagian utama dari kurikulum tertentu.
Tujuan Sasaran,
dan Bidang Kegiatan
Model ini
menunjukkan bahwa perencana kurikulum mulai dengan menentukan tujuan utama dan
tujuan khusus pendidikan yang akan dicapai. Saylor, Alexander, dan Lewis
mengklasifikasikan serangkaian tujuan ke dalam empat bidang kegiatan di mana
terjadi pengalaman belajar, yaitu : perkembangan pribadi, kompetensi sosial,
keterampilan belajar yang berkelanjutan, dan spesialisasi.
Setelah tujuan,
sasaran, dan bidang kegiatan telah ditetapkan maka perencana kurikulum memulai
proses perancangan kurikulum. Pada proses perancangan kurikulum para pengembang
kurikulum menentukan kesempatan belajar yang tepat untuk tiap bidang kegiatan
serta bagaimana dan kapan kesempatan akan disediakan.
Cara Pengajaran
Setelah rancangan
kurikulum disusun maka para guru yang menjadi bagian dari rencana kurikulum
harus menyusun rencana pengajaran. Para guru memilih metode yang menghubungkan
antara kurikulum dengan siswa. Guru pada tahap ini perlu diperkenalkan istilah
“tujuan pengajaran”. Selanjutnya para guru menentukan tujuan khusus pengajaran
sebelum memilih strategi atau model penyajian.
Evaluasi
Setelah
implementasi maka langkah selanjutnya adalah evaluasi. Pada tahap ini perencana
kurikulum dan guru terlibat secara bersama-sama dalam memilih teknik evaluasi
yang akan digunakan. Saylor, alexander, dan Lewis mengajukan suatu rancangan
yaitu : (1) evaluasi dari keseluruhan program pendidikan di sekolah, termasuk
tujuan, sub tujuan, sasaran, efektifitas pengajaran, dan pencapaian siswa dalam
bagian tertentu dari program tersebut, (2) evaluasi dari program evaluasi itu
sendiri. Proses evaluasi memungkinkan perencana kurikulum untuk menentukan
apakah tujuan dan sasaran telah tercapai.