Manusia dan Pendidikan (Landasan Antropo-Filosofis Pendidikan)
MANUSIA DAN PENDIDIKAN (LANDASAN
ANTROPO-FILOSOFIS PENDIDIKAN)
A. Hakikat Manusia
1. Manusia adalah Makhluk Tuhan YME
Dalam perjalanan hidupnya manusia
mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya
sendiri. Dua aliran filsafat yang memberikanmjawaban atas pertanyaan tersebut,
yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968). Menurut
Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi
dialam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya berkembang
dari alam itu sendiri, tanpa Penciptaa. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme menyatakan
bahwa asal usul mausia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu
Crative Cause atau Perconality, yaitu Tuhan YME.
Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya
proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita
menolak pandangan yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata
sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini
terutama didasarkan atas keimanan kita kepada Tuhan YME sebagai Maha Pencipta.
Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat
argument berikut:
a. Argument ontologis, yakni semua manusia
memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas (kenyataan) lebih
sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitasnya
ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
b. Argument kosmologis, yakni segala sesuatu
yang ada semestinya mempunyai suatu sebab. Adanya alam semesta termasuk manusia
adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapar rangkaian sebab-akibat, namun
tentunya mesti ada sebab pertama yang tidak disebabkan orang yang lainnya.
Sebab pertama adalah sumber bagi sebabsebab yang lainnya, tidak berada sebagai
materi, melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.
c. Argument Teleologis, yakni segala sesuatu
memiliki tujuan (contoh; mata untuk melihat, kaki untuk berjalan). Sebab itu,
segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan idciptakan
oleh Pengatur tujuan tersebut, yakni Tuhan.
d. Argumen Moral, yakni manusia bermoral ia
dapat membedakan perbuatan baik dan yang jahat. Ini menunjukan adanya dasar,
sumber dan tujuan moraliras. Dasar, sumber dan tujuan moralitas itu adalah
Tuhan.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badani-Rohani
Menurut Julien de La Mettrie dan Feuerbach dua
orang penganut Materialisme, bahwa esensi manusia semata-mata bersifat badani
(tubuh/fisik). Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan/spiritual dipandang
hanya sebagai resonasi dari berfungsinya badan/organ tubuh. Tubuhlah yang
mempengaruhi jiwa. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal
sebagai Epiphonemenalisme (J.D. Butler, 1968).
Sebaliknya, menurut Plato salah, seorang
penganut idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan/spiritual/rohaniah.
Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut dia jiwa
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada badan. Jiwa berperan sebagai
pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai
ketergantungan kepada jiwa. Pandangan tentang hubungan badan dan jiwa seperti
itu dikenal sebagai Spiritualisme )J.D. Butler, 1968).
Rene Descartes mengemukakan pandangan lain
yang secara tegas bersifat dualistic. Menurut Descartes esensi manusia terdiri
atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Karena manusia terdiri atas dua
substansi yang berbeda (badan dan jiwa), maka dalam gagasan filsafatnya
Descartes berpendapat bahwa antara keduanya tidak terdapat hubunngan saling mempengaruhi
(S.E. Frost Jr., 1957). Namun demikian dalam pemikiran commonsensenya Descartes
mengemukakan bahwa setiap peristiwa kejiwaan selalu parallel dengan peristiwa
badaniah, atau sebaliknya. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968).
Semua pandangan diatas dibantah oleh E.F.
Schumacher (1980). Menurut Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang
bersifat badani dan rohani yang secara principal berbeda daripada benda,
tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan dengan ini Abdurahman Sholih Abdullah
(1991) menegaskan; “meski manusia merupakan perpaduan dua unsur yang berbeda,
ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang intergral”.
Sebagai kesatuan badani-rohani manusia hidup
dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri
)self-awareness), mempunyai berbagai kebutuhan insting, nafsu, serta mempunyai
tujuan. Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME
dan potensi untuk berbuat baik, namun disamping itu karena hawa nafsu ia pun
memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi
untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak
(karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksitensinya manusia
berdimensi individualitas/personalitas, moralitas, keberbudayaan dan
keberagamaan. Implikasi dari semua itu, manusia memiliki historitas, berinteraksi/berkomunikasi
dan memiliki dinamika.
3. Individualitas/Personalitas
Manusia hanya sebagai suatu anggota di dalam
lingkungannya, tetapi juga bersifat individual. Karena itu, ia adalah kesatuan
yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga setiap
manusia bersifat unik. Perbedaan ini berkenaan dengan postur tubuh, kemampuan
berpikirnya, minat, hobi, cita-cita dan sebagainya. Selain itu, arena setiap
manusia memiliki subjektivitas (kedirinya sendiri), maka ia hakikatnya adalah
pribadi, ia adalah subjek. Adapun sebagai pribadi/subjek, setiap manusia bebas
mengambil Tindakan atas pilihan serta tanggung jawabnya sendiri (otonom) untuk
menandaskan keberadaannya di dalam lingkungan. Dengan demikian dapat anda
simpulkan bahwa manusia adalah individu/pribadi, artinya manusia adalah satu
kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga
bersifat unnik, dan merupakan subjek otonom.
4. Sosialitas
Sekalipun setiap manusia adalan
individual/personal, tetapi ia tidak hidup sendirian, tak mungkin hidup
sendirian dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan ia
juga hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan
sesamanya (bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status)
tertentu, mempunyai dunia dan tujuan hidupnya bersama dengan sesamanya. Melalui
hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan
dengan ini Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk
bermasyarakat (Ernst Cassirer, 1987).
Terdapat hubungan pengaruh timbal balik anatra
individu dengan masyarakat. Ernest Cassirer menyatakan; “manusia takkan
menemukan diri, manusia takkan menyadari individualitasnya kecuali melalui
perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers mengemukakan bahwa “dunia
hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga demikian mendapat
arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu” (Serjanto P. dan K. Bertens,
1983). Sebaliknya terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya.
Masyarakat terbentuk dari individu-inndividu, maju suatu masyarakat akan
tertentukan oleh individu-individu yang membangunnya (Iqbal, 1978).
Karena setiap manusia adalah pribadi/individu
dan karena terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan
sesamanya, maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu
tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan
subjek yang oleh Martin Buber disebut hubungan IThou/Aku Engkau (Maurice S.
Friedman, 1954). Selain itu, hendaknya terdapat keseimbangan antara
individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
5. Kebudayaan
Kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan,
Tindakan dan hasil karyamanusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga
wujud kebudayaan, yaitu
a. Sebagai kompleks dari ide-ide, ilmu
pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya.
b. Sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
c. Sebagai benda-beda hasil karya manusia.
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam
menciptakan kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Manusia menggunakan
kebudayaan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan atau untuk mencapai
berbagai tujuannya. Disamping itu kebudayaan menjadi milik manusia, menyatu
dengan dirinya, ia hidup sesuai dengan kebudayaan. Karena itu, kebudayaan bukan
sesuatu yang ada diluar manusia, melainkan meliputi perbuatan manusia itu
sendiri. Bahkan manusia itu baru menjadi manusia karena dan bersama
kebudayaannya. Didalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu manusia menemukan
dan mewujudkan diri. Berkenan dengan ini Ernst Cassirer menegaskan “Manusia
tidak menjadi manusia karena sebuah factor didalam dirinya, misalnya naluri atau
akal budi, melainkan funsi kehidupannya, yaitu pekerjaan, kebudayaannya.
Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat
manusia” (C.A. Van Peursen, 1988). Uraian diatas menunjukan bahwa kebudayaan
memiliki fungsi positif bagi kemungkinan ekstensi manusia, namun demikian perlu
dipahami pula bahwa apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkan dan
menggunakannya, maka kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang
mengancam eksistensi manusia. Dalam perkembangannya yang begitu cepat, sejak
abad yang lalu kebudayaan disinyakir telag menimbulkan krisis antropologis.
Berkenaan dengan ini Martin Buber mengemukakan contoh keterhukuman manusia oleh
karyanya sendiri. Manusia menciptakan mesin untuk melayani dirinya, tetapi
akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Deimikian pula dalam bidang ekonomi,
semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi kahirnya manusia
tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).
Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan
dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan
dan pembaruan kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung oleh pengaruh kebudayaan
masyarakat/bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat tertentu, serta
dirangsang pula oleh tantangan yang dating dari lingkungannya. Selain itu,
mengingat adanya dampak positif dan negative dari kebudayaan terhadap manusia,
masyarakat kadang-kadang terombang-ambing diantara dua relasi kecenderungan.
Disatu pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (konservatif), sedang
yang lain terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovatif). Ada pergolakan
yang tak kunjung reda antara tradisi daninvasi. Hal ini meliputi semua kehidupan
budaya (Ernst Cassirer, 1987).
6. Moralitas
Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas,
karena manusia memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat.
Menurut Immanuel Kant (dalam Sumantri & MSM, 2015) manusia memiliki aspek
kesusilaan atau berdimensi moralitas karena pada manusia terdapat rasio praktis
yang memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Misal: jika meminjam
buku milik teman, rasio praktis atau kata hati manusia menyatakan bahwa buku
itu wajib dikembalikan. Berdasarkan hal tersebut, dapatlah dipahami jika
Henderson (1959) menyatakan: "Man is creature who makes moral distinctions.
Only human beings question whether an act is morally right or wrong".
Sebagai subjek yang otonom (memiliki
kebebasan) manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan/perbuatan
yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan untuk bertindak/berbuat itu selalu
berhubungan dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus
dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih untuk bertindak/berbuat,
maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggungjawaban atas setiap
perbuatannya
7. Keberagamaan
“Keberagamaan merupakan salah satu
karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan
atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya” (Rasyidin dkk, 2017). Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik
dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang), maupun dalam rentang geografis
dimana manusia berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan
pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama. Adapun yang dimaksud dengan agama
ialah "satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu
yang mutlak di luar manusia; satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia
kepada6 yang dianggapnya mutlak itu; dan satu sistem norma (tata kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan
sejalan dengan tatakeimanan dan tata peribadatan termaksud di atas (Endang,
dalam Sumantri & MSM, 2015).
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu
melalui Utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk
dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertaqwa kepadaNya.
Dalam keberagamaan ini manusia dapat merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia
memperoleh kejelasan tentang asalusulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya,
dan menjadi jelas pula ke mana arah tujuan hidupnya.
8. Historisitas
Eksistensi manusia memiliki dimensi
historisitas, artinya bahwa keberadaan manusia pada saat ini terpaut kepada
masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia, ia mengarah
ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Historisitas memiliki fungsi
dalam eksistensi manusia. Historisitas turut membangun eksistensi manusia.
Sehubungan dengan ini Karl Jaspers menyatakan: “Manusia harus tahu siapa dia
tadinya, untuk menjadi sadar kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa lampaunya
yang historis adalah faktor dasar yang tidak dapat dihindarkan bagi masa depannya”
(Hasan, 1973). Manusia telah melampaui masa lalunya, adapun keberadaannya pada
saat ini adalah sedang dalam perjalanan hidup, perkembangan dan pengembangan diri.
Sejak kelahirannya, manusia memang adalah manusia, tetapi ia juga harus terus berjuang
untuk hidup sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, ia “belum selesai”
menjadi manusia, “belum selesai” mengaktualisasikan diri demi mencapai tujuan hidupnya.
Tujuan hidup manusia mencakup tiga dimensi, yaitu (1) dimensi ruang (di sini -
di sana, dunia - akhirat); (2) dimensi waktu (masa sekarang - masa datang); (3)
dimensi nilai (baik - tidak baik) sesuai dengan agama dan budaya yang diakuinya
(M.I. Soelaeman, 1988). Adapun esensi tujuan hidup manusia tiada lain untuk
mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau untuk
mendapatkan ridlo Tuhan YME.
9. Komunikasi/Interaksi
Manusia berkomunikasi dan berinteraksi untuk
mencapai tujuan hidupnya. Komunikasi/interaksi tersebut dilakukannya baik secara
vertikal, yaitu dengan Tuhannya; secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama
manusia serta budayanya; dan bahkan dengan “dirinya sendiri”. Demikianlah
interaksi/komunikasi tersebut bersifat multi dimensi (Rasyidin dkk, 2017).
10. Dinamika
N. Drijarkara S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horizontal (ke arah sesama dan dunia) maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika itu adalah untuk penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Manusia adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah kesatuan jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dsb., maka dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya.
Terkadang muncul dorongan-dorongan negatif
yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh negatif
dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul kesombongan
yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu dominan atas
sosialitasnya, dsb. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara
sengaja dan secara prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul
sesuai dengan arah yang seharusnya.
11. Eksistensi Manusia adalah untuk Menjadi
Manusia
Manusia memiliki dimensi dinamika, sebab itu
eksistensi manusia bersifat dinamis. Bagi manusia bereksistensi berarti
meng-ada-kan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat
dan menjadi. Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi manusia. Inilah
tugas yang diembannya. Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal (manusia yang
diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Idealitas
(keharusan, cita-cita/harapan) ini bersumber dari Tuhan melalui ajaran agama yang
diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya, bahkan dari diri manusia
itu sendiri. Manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai
potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya;
mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa
nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
B. Pengertian Landasan
Antropo-Filosofis Pendidikan
Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ”antrophos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu antropologi fisik/biologi dan antropologi budaya. Tetapi dalam pecahan antropologi budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak sehingga menjadi spesialisasi – spesialisasi, termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya kajian antropologi pada umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan. Manfaat Landasan AntropoFilosofis Pendidikan:
1. Mengetahui pola serta perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat secara Universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat (suku bangsa).
2. Dapat mengetahui kedudukan serta peran yang harus kita lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang kita sandang.
3. Dengan mempelajari antropologi akan
memperluas wawasan kita terhadap tata pergaulan umat manusia diseluruh dunia,
khususnya Indonesia yang mempunyai kekhususankekhususan yang sesuai dengan
karakteristik daerahnya sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi.
4. Dapat mengetahui berbagai macam Problema
dalam masyarakat serta memiliki kepekaan
terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat baik
yang menyenangkan serta mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan
permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya.
C. Kemungkinan Pendidikan: Manusia
sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
Berikut ini prinsip-prinsip antropologi yang
dikemukakan oleh Tatang Syaripudin (dalam Suyitno, 2008):
1. Prinsip Potensialitas
Pendidikan bertujuan agar seseorang menjadi
manusia ideal. Sosok manusia ideal tersebut antara lain adalah manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak mulia, cerdas,
berperasaan, berkemauan, mampu berkarya, dst. Di pihak lain manusia memiliki
berbagai potensi, yaitu: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
potensi untuk mampu berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dan
potensi karya. Sebab itu, manusia akan dapat
dididik karena ia memiliki potensi untuk menjadi manusia ideal.
2. Prinsip Dinamika.
Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan
diupayakan dalam rangkanmembantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia
ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri (peserta didik) memiliki dinamika
untuk menjadi manusia ideal. Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik
maupun spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal yang lebih
dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk mengaktualisasikan
diri agar menjadi manusia ideal, baik dalam rangka interaksi/komunikasinya
secara horisontal maupun vertikal. Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan
bahwa ia akan dapat didik.
3. Prinsip Individualitas
Praktek pendidikan merupakan upaya membantu
manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia mampu menjadi
dirinya sendiri. Dipihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang
memiliki ke-diri-sendirian (subyektivitas), bebas dan aktif berupaya untuk
menjadi dirinya sendiri. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa
manusia akan dapat dididik.
4. Prinsip Sosialitas
Pendidikan berlangsung dalam pergaulan
(interaksi/komunikasi) antar sesama manusia (pendidik dan peserta didik).
Melalui pergaulan tersebut pengaruh pendidikan disampaikan pendidik dan
diterima peserta dididik. Telah Anda pahami, hakikatnya manusia adalah makhluk
sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam kehidupan bersama dengan
sesamanya ini akan terjadi huhungan pengaruh timbal balik di mana setiap
individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu,
sosialitasmengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
5. Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan
berdasarkan sistem norma dan nilai tertentu. Di samping itu, pendidikan
bertujuan agar manusia berakhlak mulia; agar manusia berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai dan normanorma yang bersumber dari9 agama, masyarakat dan
budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu
membedakan yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan
bahwa manusia akan dapat dididik.
6. Prinsip Keberagamaan/religiusitas
Bagi umat beragama meyakini bahwa semua yang
ada di alam semesta ini adalahmdiciptakan Tuhan Yang Maha Esa, ini berbeda
denga aliran evolusionistik yangmberargumen bahwa segala yang ada di dunia ini
terjadi dengan sendirinya melalui prosesmpanjang dengan hukum alam.
Realitas social, apakah mereka yang ada di pedalaman
atau yang tinggal dipinggiran kota, atau di metropolitan, manusia selalu akan
terikat denganmyang dianggap menguasai alam atau lingkungannya, atau bahkan
benda yangmdianggap keramat karena dianggap ada hubungan antara dia dengan
bendamtersebut. Persoalan ini dapat dipahami dari sisi religiusitas seseorang,
padamtataran mana seseorang memiliki keyakinan tersebut, apakah dasarnya
logika, perasaan, intuisi, atau keyakinan dari hati sanubari. Permasalahannya
adalah sampai sejauhmana peranan religi dapat menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang diyakini
seseorang, akan menjadi suatu paradigma berfikir dan berbuat yang selaras
dengan hukum-hukum agama, dan ini menuntun dan mengembangkan seluruh proses
kehidupan manusia baik aspek internal maupun eksternal diri dan aspek social
dan moral berkehidupan di masyarakatnya.
Atas dasar berbagai asumsi di atas, jelas
kiranya bahwa manusia akan dapat dididik, sehubungan dengan ini M.J. Langeveld
(1980) memberikan identitas kepada manusia sebagai “Animal Educabile”. Dengan
mengacu pada asumsi ini diharapkan kita tetap sabar dan tabah dalam
melaksanakan pendidikan. Andaikan saja Anda telah melaksanakan upaya
pendidikan, sementara peserta didik belum dapat mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan, Anda seyogyanya tetap sabar dan tabah untuk tetap mendidiknya.
Dalam konteks ini, Anda justru perlu introspeksi diri, barangkali saja terjadi
kesalahan-kesalahan yang Anda lakukan dalam upaya pendidikan tersebut, sehingga
peserta didik terhambat dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
D. Pendidikan Sebagai Humanisasi
Definisi pendidikan. Telah kita pahami bahwa manusia adalah makhluk yang perlu dididik dan dapat dididik. Dan telah kita pahami juga bahwa eksistensi manusia tidak lain adalah untuk menjadi manusia dan begitulah keharusannya sebagaimana dinyatakan Karl Japers bahwa: “to be a man is to become a man” atau ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Adapun manusia akan dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Maka dari itu, pendidikan tidak lain ialah humanisasi atau upaya memanusiakan manusia.
Sasaran pendidikan. Konsep hakikat manusia sebagai kesatuan yang serba dimensi dan terintegrasi sebagaimana telah kita pahami melalui uraian sebelumnya bahwa sasaran pendidikan bukan aspek badaniahnya saja, bukan aspek kejiwaannya saja, bukan pula aspek kemampuan berpikirnya saja, dst. Sasaran pendidikan pada hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang terintegrasi. Jika tidak demikian, pendidikan tidak akan dapat membantu kita demi mewujudkan atau mengembangkan manusia seutuhnya. Contoh: pada dasarnya setiap manusia telah menerima atau mengecap pendidikan. Tetapi dalam kehidupan ini kita menemukan fenomena bahwa diantara orang-orang yang memiliki mata dan memiliki telinga yang secara fisik adalah sehat , namun ternyata mereka tak “melihat” dan tak “mendengar”. Ada diantara kalangan orang pintar yang memiliki segudang ilmu pengetahuan dan keterampilan, namun terrnyata mereka hidup tidak/kurang bermoral, tidak berperasaan, dsb. Terdapat orang-orang yang hanya mementingkan dirinya saja tanpa peduli pada sesama, dsb. Berbagai fenomena itu dapat terjadi antara lain karena kesalahan konsep tentang hakikat manusia sehingga sasaran pendidikannya tidak berkenaan dengan manusia secara utuh.
Tujuan dan fungsi pendidikan. Pendidikan
diupayakan dengan berawal dari manusia apa adanya (aktualitas) dengan
mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada padanya (potensialitas), dan
diarahkan menuju terwujudnya manusia yang seharusnya atau dicitacitakan
(idealitas). Mengacu kepada konsep hakikat manusia sebagaimana telah kita
pahami melalui uraian dimuka, maka manusia yang dicita-citakan atau yang
menjadi tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan
YME, berakhlak mulia, cerdas, berperasaan, berkemauan dan mampu berkarya; mampu
memenuhi berbagai kebutuhannya
secara wajar, mampu mengendalikan nafsunya;
bekepribadian, bermasyarakat dan berbudaya. Dengan demikian, pendidikan harus
berfungsi guna mewujudkan atau mengembangkan berbagai potensi yang ada pada
manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, individualitas,
sosialitas, dan berkebudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi.
Sifat atau karakteristik pendidikan. Pendidikan diarahkan menuju terwujudnya manusia ideal. Oleh karena itu, sesuatu tindakan dapat digolongkan kedalam upaya pendidikan apabila tindakan tersebut diarahkan menuju terwujudnya manusia ideal. Selain itu materi dan cara cara pendidikannya pun perludipilih atas dasar asumsi tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan yang diturunkan daripadanya. Jika sebaliknya, maka tindakan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai upaya pendidikan. Sebagai humanisasi pendidikan seyogyanya meliputi berbagai bentuk kegiatan dalam upaya mengembangkan berbagai potensi manusia dalam konteks dimensi keberagaman, moralitas, individualitas, sosialitas, dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi. Sebab itu pula, pendidikan adalah bagi siapa pun, berlangsung di mana pun, melalui berbagai bentuk kegiatan (informal, formal, maupun nonformal), dan kapan pun (sepanjang hayat). Ini berarti pula bahwa pendidikan perlu dilaksanakan pada setiap tahap perkembangan manusia sebab pentingnya pendidikan bukan hanya pada masa kanak-kanak saja melainkan sepanjang hayat.
Prinsip sosialitas mengimplikasikan bahwa pendidik mempunyai kemungkinan untuk dapat mempengaruhi peserta didik. Namun demikian, humanisasi bukanlah pembentukan peserta didik atas dasar kehendak sepihak dari pendidik sebab peserta didik bukanlah objek yang harus dibentuk oleh pendidik. Alasannya, bahwa peserta didik hakikatnya adalah subjek yang otonom. Sesuai dengan prinsip individualitas bahwa yang berupaya mewujudkan potensi kemanusiaan dan yang berupaya mengaktualisasikan diri itu hakikatnya adalah peserta didik sendiri. Sekuat apapun upaya yang dilakukan pendidik jika dilakukan dengan melanggar prinsip individualitas dari peserta didik, maka upaya itu sulit untuk dapat diterima oleh peserta didik. Oleh karena itu, pendidik bukanlah membentuk peserta didik melainkan membantu atau memfasilitasi peserta didik untuk mewujudkan dirinya dengan mengacu kepada semboyan ingarso sung tulodo (memberikan teladan), ing madya mangun karso (membangkitkan semangat, kemauan), dan tut wuri handayani (membimbing/memimpin).
Sifat pendidikan yang normatif dan dimensi
moralitas mengimplikasikan bahwa pendidikan hanyalah bagi manusia, tidak ada
pendidikan bagi hewan. Manusia dididik untuk menjadi manusia yang baik,
berperilaku baik atau berakhlak mulia. Dipihak lain, manusia memiliki potensi
untuk mampu berbuat baik, ia dibekali kata hati untuk dapat membedakan perbuatan
baik dan jahat. Sementara hewan tidak memiliki kemampuan untuk membedakan baik/tidak
baiknya suatu perbuatan dan tingkah laku hewan tidak dapat dinilai baik ataupun
jahat. Oleh karena itu, istilah dan makna pendidikan tidak berlaku untuk manusia.