Sejarah Perkembangan Pendidikan Nilai Lengkap
A. Latar
Belakang Sejarah Perkembangan Pendidikan Nilai
Pendidikan
nilai dianggap sebagai bidang interdisipliner yang didasarkan pada
pemikiran-pemikiran yang dikembangankan dari; filsafat moral social (Hobbes,Rousseau,
Kant dan Durkheim)psikologi kognitif dari (Piaget, Kohlberg, dan Dewey) dan teori
kepribadian dari (Peck dan havigurst dan Maslow) , sedangkan para cendikiawan
yang ditampilkan di atas hanyalah sebagian kecil cendikiawan yang karyanya
dijadikan dasar Pendidikan Nilai. Mereka benar-benar mewakili pemikiran utama
dari filsafat,psikologi dan perkembangan kepribadian yang mempengaruhi
Pendidikan Nilai seperti yang dikembangan dalam dunia barat.
Seluruh
ilmu yang berbincang tentang manusia setiap saat berpikir dan mencoba memahami
tentang manusia, karenanya pengertian tentang manusia menjadi semakin luas dan
sulit menemukan yang terdalam dari manusia. Namun, justru karena pemahaman
tentang manusia yang terus berkembang makan klaim pendidikan itu sendiri harus
dinamis. Ia bukan merupakan rumusan baku yang takmenerima perubahan. Bukankah
taka da yang abadi di dunia ini , selain perubahan itu sendiri.
B. Pengaruh
Filsafat Sosial terhadap Pendidikan Nilai
Ada
empat garis pemikiran yang muncul di abad 17, 18 dan 19 yang sangat berpengaruh
pada Pendidikan Nilai di dunia barat. Pendekatan-pendekatan ini dikemukakan
oleh beberapa ahli diantaranya ;
1. Thommas
Hobbes
Beliau merupakan
salah satu teoritisi kontrak social dimana manusia menciptakan dan mematuhi
peraturan dalam rangka perlindungan diri, minat
dan kelayakannnya. Berpandangan juga bahwa dunia sebagai tempat
berbahaya, sehingga orang-orang yang ada didalamnya harus mengembangakn
keterampilan dasar untuk tetap hidup.
Teori kontrak
social ini cenderung menekankan pada keadilan dan pertimbangan daripada
menekankan pada aspek pemeliharaan diri dan kelayakan. Sebagai contoh; kita
merasa superios terhadap orang yang menurut kita berda di bawah kekuasaan kita
dan merasa imperior ketika berhadapan dengan orang-orang yang memilikikekuasaan
atas kita.
Disatu sisi banyak filsof moral yang cenderung menolak
teori kontrak social karena dianggap kasar, sementara dipihak lain masih banyak
orang melalui institusi (social,ekonomi, politik, keagamaan dan lain-lain).
2.
J.J Rousseau
Rousseau adalah tokoh naturalisme yang memandang bahwa
terhadap perkembangan manusia tidak perlu melakukan pembatasan dan
tekanan-tekanan yang tidak semestinya atau tidak perlu adanya bimbingan yang
terstruktur. Rousseau cenderung mendefinisikan “baik/good” dalam istilah non
moral. Ana-anak menurut dia secara inherent baik,dan harus dijinkan untuk mengeksplorasi
kehidupan supaya terlibat dengan hal-hal yang terjadi di lingkungan serta
sexara alamiah merespon rasa ingin tahunya untuk mencari/meneliti (inquiry)
3.
Immanuel Kant
Kant adalah tokoh yang mewakili aliran Rasionalisme yang
muncul di Jerman pada abad 18, Kant beragumentasi bahwa manusia melalui
pemikiran rasional dan kesadaran moralserta melalui keyakinan keagamaannya
dapat digunakan sebagai jalan untuk menjelaskan eksistensinya. Dengan moral
rasionalnya, manusia punya hak untuk membuat keputusan-keputusan, tetapi
dibelakang setiap keputusan tersebut terdapat motivasi atau tujuan yang
mengatur keputusan itu untuk dilakukan. Oleh karena itusetiap tindakan bisa
diambil berdasarkan satu atau dua maksud yang mungkin, yaitu;
1.)
Tindakan bisa diambil “demi kewajiban” (merasa berkewajiban karena
sesuatu itu diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi) mencerminkan
pandangan eksternal dunia dimana manusia tergantung dari manusia lainnya untuk
menentukkan bentuk “kewajibannya” Kant menyebut keadaan ini sebagai “Hetermony”
2.)
Tindakan diambil “sesuai dengan kewajiban” yang mencerminkan suatu
pandangan internal terhadap dunia, dimana manusia melalui kebebasan memilihnya
menentukkan bentuk kewajibannya, sehingga tergantung pada dirinya sendiri daripada
tergantung pada orang lain.kan menyebutnya sebagai “Autonomy”
Adapun kan mengatakan
bahwa melalui inquiry rasional dan moral logic ini tujuan pendidikan dapat
diarahkan yakni;
a.
Untuk mengajarkan proses dan keterampilan berfikir rasinal
b.
Untuk mengembangkan individu yang mampu memilih tujuan yang baik secara
bebas dan mampu membuat keputusan yang baik.
4.
Emile Durkheim
Beliau muncul sebagai pemuka teori “Context Sosial” yang
menyatakan bahwa masyarakat dengan keanekaragaman struktur sosialnya
mempengaruhi dan benar-benar mengarahkan perilaku kemanusiaan individu.
Durkheim
memberikan batasan moralitas dengan komponen-komponen sebagai berikut;
1.)
Konsistensi (apa yang menjadi moral sekarang, besokpun harus menjadi
moral)
2.)
Regularitas tingkah laku (bagaimana kita bertindak sekarang, harus
konsisten dengan bagaimana kita akan bertindak besok)
3.)
Autoritas (tindakan-tindakan kita harus dikontrol dan dipaksa untuk
kebaikan social, sehingga mencegah kita bertindak seenaknya)
Pendidikan moral adalah untuk dinilai,
perilaku moral ini tidak berdasarkan diri sendiri atau orang lain, melainkan
berdasarkan keseluruhan unit sosial. Tindakan-tindakan moral adalah suatu
tindakan yang mengembangkan minat kolektif unit sosial yang dengan
tindakan-tindakan moral tersebut seseorang diidentifikasi.
Menurut Durkheim bahwa tanggung jawab yang
dipercayakan pada pendidikan adalah:
1)
Mengidentifikasi sifat-sifat masyarakat, dan
2)
Untuk membangun sistem
Berdasarkan
kutipan Durkheim (yang diterjemahkan oleh Wilson dan Schnurer), akan memberikan
gambaran tentang gagasan Durkheim dalam hal peran disiplin dalam pendidikan
yaitu:
“Kita memiliki prinsip yang dapat dijadikan sandaran
untuk menentukan hukuman macap apa yang harus diambil di sekolah. Karena
hukuman sifatnya mencela, maka sebaiknya hukuman sesuai dengan kesalahannya …,
dengan cara yang paling ekspresif tetapi
kurang mengadung resiko seperti …, kekerasan dalam perlakuan hanya ditolerir
sejauh hal itu perlu untuk membuat pencelaan terhadap tindakan yang diucapkan
secara tegas.”
C.
Pengaruh Psikologi pada Pendidikan Nilai
Bidang
pendidikan nilai bukan saja dipengaruhi oleh disiplin psikologi (studi mengenai
perilaku manusia), akan tetapi lebih jauh lagi telah banyak dikembangkan oleh
para sikolog ke enam sikolog yang akan ditampilkan di bawah ini mewakili
teori-teori belajar yang berbeda.
1.
Sigmund Freud
Menurut Freud
kepribadian itu terdiri dari:
1.)
Ego (diri)
2.)
Super ego (diri ideal atau diri sadar)
3.)
Id (diri tak sadar)
Super ego dipelajari dari orang tua kita
melalui sistem hadiah dan hukuman. Ketika seorang anak menginternalisasi
serangkaian standar yang diberikan orang tua, anak tersebut sedang menyesuaikan
diri dengan prinsip-prinsip kebudayaan yang ada disekitarnya. Konflik di dalam
diri atau kurang seimbangnya moral akan terjadi bila standar-standar ini
terganggu.
Hubungan cinta kasih yang cocok dengan
orang tua membantu perkembangan tingkat kesimbangan yang rasional dalam
mematuhi aturan (Rule Following).
Kepatuhan terhadap aturan yang berlebihan mengakibatkan perasaan tak sadar yang
mendalam dan ketegangan batin yang menghambat perkembangan moral, disisi lain
perilaku agresif menetang “Rulle
Following”, memiliki efek negatif pada perkembangan moral kasih sayang yang
berlebihan yang diberikan pada orang tua atau
benda (Oedipus Conflict).
2.
John Dewey
Dewey meyakini
bahwa anak akan memperoleh hasil belajarnya dengan baik bila melalui cara
“melakukan” dari pada hanya”membaca mengenai sesuatu” atau “mendengarkan
mengani sesuatu”. Dia menganjurkan bahwa kehidupan sekolah harus dihubungkan
dengan kehidupan masyarakat
Pertumbuhan
moral berlangsung melalui tiga tahap perkembangan yaitu:
1.)
A moral yaitu anak kecil tidak memiliki perasaan pada orang lain, tidak
ada perasaan benar atau salah.
2.)
Conventional yaitu si anak mengikuti nilai-nilai konvensional orang tua
dan masyarakatnya. Dia merespon terhadap hadiah dan hukuman orang dewasa
sebagai dasar standar moralnya.
3.)
Auotonomous yaitu anak lebih besar mulai membuat pilihan-pilihan untuk
menyesuaikan peraturan-peraturan bagi kepentingan dirinya dan kelompok yang
diikutinya.
3.
Jean Piaget
Jean Piaget
mengembangkan dirinya sebagai ahli sikologi anak dan sebagai ahli epistimologi,
sehingga berhasil menciptakan epistimologi genetika. Dia juga adalah peneliti
kualitatif dengan observasi yang mendetail mengenai perilaku manusia (anak),
sehingga berhasil untuk menformulasikan teori perkembangan kognitif. Selajutnya
Piaget menyatakan bahwa belajar terjadi bukan hasil hadiah dan hukuman, tetapi
sebagai hasil dari proses cognitive
restructuring yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.
4.
B.F Skinner
Skinner
mengembangkan teori S-R melalui percobaan dengan menggunakan “Skinner-Box” yang
di dalamnya ada binatang yang diajar untuk menarik pengungkit tertentu supaya
mendapatkan makanan, bila salah menarik pengungkit si binatang itu tidak akan
meperoleh apa – apa atau bahkan akan memperoleh sedikit schok. Dari hasil
penelitian itu menunjukan bahwa penguatan positif (memperoleh makanan)
nampaknya mengasilkan hasil beljar yang lebih baik daripada penguatan negative
(schok).
Peran guru
adalah menganalisis isi bahan yang akan diajarkan, dan membaginya pada
bagian-bagian kecil, serta memberikan setiap bagian itu kepada siswa disertai
penguatan yang tepat untuk mendorong siswa belajar ebih jauh lagi. Karena
setiap bagian itu diurutkan, maka masing-masing bagian tersebut harus dikuasai
terlebih dahulu sebelum bergerak kebagian berikutnya dan urutan-urutan tersebut:
![]() |
Belajarnya seseorang
didasarkan pada:
1.)
Penguatan dan hadiah (umpan balik positif seperti pujian dan naik
tingkat)
2.)
Ancaman, hukuman atau tidak mendapat hadiah ketika penguasaan tidak
tercapai (kurang mendapat umpan balik positif, tidak naik tingkt atau ditolak)
3.)
Percontohan yang dilakukan oleh guru melalui demonstrasi (siswa meniru
contoh-contoh yang benar)
4.)
Latihan.
5.
Lawrence Kohlberg
Menurut
Kohlberg, individu-individu itu secara bertahap mengembangkan suatu pandangan
moral yang lebih canggih dan matang pada saat mereka berkembang mentalnya,
emosionalnya dan eksperimentalnya. Proses perkembangan ini oleh Kohlberg
dikategorikan pada tiga tahapan, yang masing-masing dibagi lagi menjadi dua
tahap, dengan satu langkah transisi yang dimasukan antara tahap II dan tahap
III. Mirip dengan teori perkembangan kognitif Piaget, seseorang tidak dapat
meloncati suatu tahap untuk maju ketahap berikutnya dan susunan dari tahapan
ini tidak adapat dimodifikasi.
Tahap
perkembangan moral dari Kohlberg secara singkat dikemukakan di bawah ini:
1.)
Level Preconventional, terdiri dari:
a.
Tahap 1: Hukuman dan kepatuhan (mendapat hadiah itu sama dengan baik,
mendapat hukuman itu sama dengan buruk).
b.
Tahap 2: Saling menguntungkan (saya menolong anda, andapun menolong
saya).
2.)
Level Conventional, terdiri dari:
c.
Tahap 3: Role stereotype (perilaku yang diharapkan atau dicontohkan
orang lain)
d.
Tahap 4: Hukum dan aturan (mengikuti peraturan hukum tanpa membutuhkan kontrol
pihak lain)
3.)
Level Post Conventional, terdiri dari:
e.
Kontrak sosial (mengecualikan hukum demi kepentingn manusia)
f.
Keadilan (bertindak seperti anda mengharapkan orang lain bertindak)
Kohlberg telah
melaksanakan riset diberbagai belahan dunia, akhirnya dia menyimpulkan bahwa
proses perkembangan kognitif yang sama muncul di setiap masyarakat, dan
tahap-tahap perkembangan dari mulai tahap hukuman sampai keadilan secara
universal bersifat konstan. Seperti dapat dilihat dalam proses perkembangan
pada tahapan-tahapan tersebut, Kohlberg banyak mendasarkan karyanya pada
perkembangan kognitifnya Piaget dan Dewey, dan dipengarui pula model tahapannya
oleh karya Hobbes, Rousseau dan Durkheim.
D.
Pengaruh Teori Kepribadian Terhadap Pendidikan Nilai
1.
Hartshorne dan May
Selama tahun
1920-1930 mereka meyelidiki tingkah laku anak-anak seperti mencuri, berbuat
curang dan berbohong, lalu menganlisa hasil temuannya dalam memahami perilaku
moral anak-anak, seperti kejujuran dan kemuraha. Dari hasil penelitiannya yang
berkaitan dengan moral dia berkesimpulan bahwa “Tingkah laku moral tidak konsisten
dalam diri seseorang anak dari satu situasi ke situasi yang lain, dan tidak ada
hubungan antara yang dikatakan oleh seorang anak tentang moral dengan
tindakannya”. Penelitian mereka meletakan dasar bagi studi-studi berikutnya
yang berusaha menyelidiki penyebab sikologis emosional dibelakang perilaku
anak, seperti cinta, benci, dan rasa bersalah.
2.
Peek and Havigurst
Teori
kepribadian Peek dan Havigurst dianggap sebagai “motivational theory of morality” yang ditinjau dari pandangan psiko
sosial. lima tipe karakter mereka adalah:
1
|
A moral
|
Seluruhnya egosentris, memuji diri, tidak
memperdulikan orang lain.
|
2
|
Expedient
|
Agak egosentris, patuh, tidak ada sistem
moral pribadi, menaruh perhatian pada pemuasan diri sendiri, meganggap
control dari luar sebagi sesuatu yang normal
|
3
|
Conformist
|
Takut akan penyangkalan, berusaha untuk
sesuai dengan tuntutan dari luar, tidak ada sistem moral prbadi.
|
4
|
Irrational Conscientious
|
Memiliki sistem moral pribadi tentang baik
dan buruk, benar dan salah, sangat tidak flexsibel dalam penerapan sistem
tersebut, memiliki permasalahan identitas dan permasalahn menentukan
otoritas, tampak kurang menghargai perasaan orang lain karena penerapan kode
moral yang ketat, menaruh minat terhadap hubungan kelompok.
|
5
|
Rational Altruistic
|
Memiliki sistem moral yang sudah sangat
berkembang, sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan
orang lain, sangat sensitive mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain
|
Berdasarkan
konsep dan kepribadiannya, Peek dan Havigurst membentuk konsep “moral maturity” dengan tiga kriteria
pengukuran:
1.)
Kemampuan utnuk merasakan perasaan orang lain
2.)
Kemampuan untuk meramalkan konsekuwensi-konsekuwensi kegiatan sendiri
dan bagai pengaruh kegiatan tersebut terhadap orang lain.
3.)
Kemampuan dan kesediaan utuk menyesuaikan prinsip-prinsip moral
seseorang seandainya situasi mengehendaki perubahan.
3.
Abraham Maslow
Maslow menaruh
perhatian terhadap totalitas kemanusiaan bahwa setiap individu seharusnya
menemukan dirinya sendiri. Riset Maslow membawanya pada teori motivasi
kemanusiaan yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan universal. (Motivation and personality 1970).
Salah satu sumbangan utama
Maslow terhadap pendidikan nilai adalah: individu-individu di motivasi leh
kebutuhan yang berbeda tetapi semua manusia memiliki nilai yang sama. Kewajiban
orang yang melaksanakan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi untuk mengerti dan
menghargai orang-orang yang melaksaakan tigkat kebutuhan lannya.