Cerita Fiksi : Tetaplah Berada di Jalurmu!
Tetaplah
Berada di Jalurmu!
Oleh Diana
Karitas
Deo pulang
sekolah sambil meringis kesakitan. Ia menuntun sepedanya dengan sedikit
terpincang-pincang. Celana dan baju seragamnya terlihat kotor. Keringat
mengucur di dahinya. Hari itu udara memang cukup terik. Ibu segera menyambut
Deo dengan membukakan pintu pagar. Ibu pun membantu Deo memasukkan sepedanya di
halaman rumah. Ibu mengambil tas Deo yang ikut kotor dan menuntunnya masuk ke
dalam rumah.
Setelah Ibu
memberinya minum, Ibu memeriksa luka-luka gores di lutut dan siku Deo. Deo
meringis kesakitan ketika luka-luka itu dibersihkan dan diberikan obat. Setelah
Deo mulai terlihat tenang, Ibu meminta Deo bercerita. “Aku yang salah, Bu. Aku
tidak berhati-hati. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Seandainya aku tetap
berada di jalurku,” kata Deo dengan penuh penyesalan. “Apa yang sebenarnya
terjadi, Nak. Terima kasih kamu telah mengakui kesalahanmu, tetapi maukah kamu
menceritakan yang sebenarnya terjadi?” tanya Ibu dengan lembut. “Deo tadi lomba
balap sepeda dengan Arsyad ketika pulang sekolah, Bu.
Ketika kami
sampai di jalan depan toko kelontong Pak Ahmad, jalanan agak ramai. Lalu, aku
melihat di situ ada trotoar yang landai dan sepi. Lalu aku naik dan bersepeda
di trotoar itu.” kata Deo sambil menunduk. “Trotoar? Hmm… Kamu pasti tahu kalau
trotoar diperuntukkan untuk pejalan kaki, kan?” tanya Ibu. “Iya, Bu. Saat itu
di trotoar terlihat sepi. Jadi tanpa pikir panjang, Deo naik ke trotoar itu
supaya dapat mendahului Arsyad. Tetapi Deo tidak memerhatikan ada sebongkah
batu besar di tengah trotoar itu. Tanpa sengaja Deo menabrak batu besar itu dan
jatuh terjerembab ke dalam got. Beruntung, got itu kering dan dangkal.
Arsyad yang
berada di belakangku pun segera menolong,” cerita Deo masih dengan wajah
menyesal. “Ibu bersyukur kamu hanya mengalami luka gores, Nak. Itu pelajaran
berharga untukmu. Trotoar itu dibuat dengan tujuan tertentu, agar para pejalan
kaki tidak berjalan di jalanan yang diperuntukkan bagi kendaraan. Semuanya itu
dibuat agar tercipta keteraturan. Masyarakatpun mendapatkan kesempatan yang
sama untuk menggunakan jalan umum,” jelas Ibu sambil tersenyum. “Aku mengerti,
Bu. Seharusnya aku tetap berada di jalurku, bukan di jalur yang tidak
diperuntukkan buatku,” kata Deo sambil meringis.
“Baiklah kalau
begitu. Luka-lukamu sudah dibersihkan dan diobati. Sekarang kamu bisa ganti
baju, cuci tangan, lalu makan siang. Beristirahatlah setelah itu. Nanti sore
biar Ayah yang memeriksa sepedamu,” kata Ibu sambil beranjak ke dapur menyiapkan
makan siang Deo.