Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan STEM, Outcome dan Hambatan untuk Penerapannya Lengkap

Pendidikan STEM awalnya bernama Sains, Matematika, Enjinering, dan Teknologi (SMET) (Sanders, 2009). Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh National Science Foundation (NSF) Amerika. Tujuan pendidikan STEM yaitu untuk memberikan kepada siswa keterampilan berpikir kritis yang akan membuat mereka menjadi pemecah masalah kreatif dan akhirnya lebih berharga dalam tenaga kerja. Hal ini dirasakan bahwa setiap siswa yang berpartisipasi dalam pendidikan STEM, khususnya siswa SMA akan memiliki keuntungan jika mereka memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan dan akan memiliki keuntungan yang lebih besar jika mereka mengikuti kuliah, terutama dalam Bidang STEM (White, 2014).
Pendidikan STEM merupakan"meta-disiplin" dari sains, teknologi, enjinering, dan matematika, yang berarti "penciptaan disiplin baru berdasarkan integrasi pengetahuan disiplin lain menjadi  suatu kesatuan  yang baru bukan potongan-potongan. Morrison, 2008 dan Tsupros 2008 menyatakan bahwa STEM merupakan pendekatan interdisipliner untuk belajar dengan mengintegrasikan empat disiplin ke dalam satu paradigma mengajar dan belajar yang kohesif. Integrasi ini ditujukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada diantara empat disiplin yang sekarang disebut sebagai STEM (Morrison, 2008). Menurut Tsupros (2008), pendidikan STEM adalah pendekatan interdisipliner untuk belajar di mana konsep akademik yang ketat digabungkan dengan pelajaran dunia nyata sehingga siswa dapat menerapkan sains, teknologi, enjinering, dan matematika dalam konteks yang membuat hubungan antara sekolah, komunitas, pekerjaan, dan perusahaan global memungkinkan pengembangan literasi STEM dan dengan itu akan muncul kemampuan untuk bersaing dalam ekonomi baru (Tsupros, 2009). ”Menurut Brown, Brown, Reardon & Merrill (2011), pendidikan STEM telah didefinisikan sebagai" suatu standar berbasis  meta-disiplin yang berada di tingkat sekolah tempat semua guru, terutama guru sains,
teknologi, enjinering, dan matematika (STEM), mengajarkan pendekatan terpadu dalam pembelajaran  di mana konten khusus berbagai disiplin tersebut tidak dibagi, tetapi ditangani dan diperlakukan sebagai satu studi yang menyatu. ”
Penyiapan Pengalaman Pendidikan STEM Berkualitas Tinggi
Pendidikan STEM adalah multi-disipliner dan melampaui disiplin utama yang membentuk akronim STEM. Fondasi untuk pendidikan STEM dimulai pada anak-anak usia dini. Dari tahun-tahun awal kehidupannya, melalui pengalaman bermain mereka dan lingkungan keluarga, anak-anak terlibat dengan dunia dengan cara yang dapat mempromosikan pembelajaran yang berkaitan dengan Sains, Teknologi, enjinering, dan Matematika. Mereka secara alami terlibat dalam eksplorasi STEM awal melalui pengalaman multisensor dan kreatif langsung. Dengan terlibat dalam pengalaman-pengalaman ini, mereka mengembangkan keingintahuan (curiosity), memiliki minat dalam mempelajari berbagai hal (inquisitiveness), berpikir kritis (critical-thinking) dan pemecahan masalah (problem-solving). Kapasitas kemampuan tersebut terus dibangun melalui pengalaman di sekolah dasar dan pasca-sekolah dasar mereka (Bruton, 2017).
Pendidikan STEM yang dipahami dengan baik dimulai di tingkat SMP, dengan menggunakan fakta dan prosedur akademis praktis dan tradisional, dapat memanifestasikan diri dalam bentuk produk  yang terkait teknologi dan rekayasa, dan juga secara visual menghubungkan area STEM untuk membantu menciptakan informasi baru.  Persiapan yang cermat dari pendidikan STEM juga dianggap sebagai cara untuk membantu siswa SMP untuk mengembangkan kemampuan khusus dalam konten STEM di tingkat pendidikan yang lebih  tinggi (Ostler, 2012). 
Terlibat dengan pengalaman STEM berkualitas tinggi pada usia muda dapat memiliki dampak yang langgeng pada peserta didik, karena dapat mengatur tahapan untuk keterlibatan dan kesuksesan mereka di bidang ini nantinya. Pengalaman semacam itu dapat mendorong dan mendukung anak-anak untuk mengartikulasikan dan mewakili eksplorasi, penemuan, pemikiran, dan pemahaman mereka yang pada gilirannya dapat membantu membangun pengetahuan dan keterampilan STEM awal yang kritis. Berdasarkan pengalaman ini, pengalaman pendidikan STEM hendaknya memberikan kesempatan bagi peserta didik, di setiap fase perjalanan pembelajarannya, untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan STEM mereka dengan cara yang terintegrasi dan menarik.
Pendidikan STEM berfokus pada pengembangan berbagai Keahlian Utama (Gambar 1) yang penting untuk hidup dan bekerja di dunia saat ini. Peserta didik akan terlibat dalam berbagai kegiatan sebagai berikut:
menggunakan keterampilan dan pengetahuan konten mereka untuk memecahkan masalah secara kreatif;
membayangkan, bertanya dan mengeksplorasi;
berkolaborasi dengan orang lain;
terlibat dalam penyelidikan dan analisis;
berinovasi, merancang dan membuat;
menguji dan memodifikasi solusi mereka untuk masalah yang rumit.

Pendekatan semacam itu membutuhkan penyediaan sistem pendukung untuk sekolah dari Departemen Pendidikan dan dari berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan pendidikan STEM. Hal ini akan membutuhkan kepemimpinan yang kuat di tahun awal pengaturan dan sekolah, untuk menumbuhkan kreativitas dalam belajar dan mendukung pertumbuhan budaya ilmiah dan inovasi teknologi. Pendidikan STEM juga harus didukung oleh reformasi pembelajaran yang berkelanjutan untuk menyediakan peserta didik dengan pengalaman STEM yang relevan, bermakna, menyenangkan dan tepat menantang.

Gambar 1 Pengalaman Pendidikan STEM di Pendidikan Usia Dini dan Sekolah
Sumber: Bruton, 2017

Inti dari pendidikan STEM adalah untuk mempersiapkan angkatan kerja abad 21 dimana dengan pendidikan STEM dan kegiatan terkaitnya siswa dapat mengambil dan menerapkan apa yang mereka pelajari di kelas/laboratorium untuk pekerjaan masa depan mereka di dunia nyata.  Komunitas pendidik, industry, dan bisnis harus bekerja sebagai sebuah tim untuk mengembangkan kurikulum yang akan meningkatkan harapan ini. Selain pengembangan kurikulum, lebih penting lagi kolaborasi ini harus mencakup magang, mentoring, serta kegiatan praktik di kelas untuk memperkenalkan para siswa pada karir di bidang STEM dan keterampilan dasar (Ejiwale, 2013).

Hambatan untuk keberhasilan penerapan pendidikan STEM
Pelaksanaan pendidikan STEM di sekolah-sekolah di seluruh dunia adalah untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan dengan latar belakang sains  dan matematika yang kuat untuk meningkatkan pengembangan keterampilan lintas disiplin Sains, Teknologi, Enjinir, dan Matematika. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan STEM harus mengatasi hambatan-hambatan yang dimulai dari tingkat SD, SMP dan SMA dengan dengan memperbaiki masalah-masalah  yang merupakan akar permasalahan dan pengumpan potensial di perguruan tinggi dan universitas. Banyak negara termasuk Amerika Serikat sangat membutuhkan tenaga kerja dengan persiapan yang memadai dalam sains dan matematika untuk membantu mengatasi ekonomi negara yang berantakan, hambatan terhadap keberhasilan penerapan STEM harus diidentifikasi dan diatasi. Berikut ini kemungkinan beberapa hambatan dalam implementasi STEM ((Ejiwale, 2013).
 1. Persiapan mengajar yang buruk dan kurangnya keterdiaan guru STEM yang berkualitas
Kualitas persiapan guru sangat penting untuk membantu siswa mencapai standar akademis yang lebih tinggi. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya  hubungan antara persiapan guru yang buruk dalam matematika dan sains dengan prestasi siswa (Rule & Hallagan, 2006; Hibpshman, 2007 dalam Ejiwale, 2013). 
Guru yang akan didedikasikan untuk mengajar STEM  harus dilengkapi dengan pengetahuan konten (content knowledge) yang mendalam tentang  STEM dan keterampilan pedagogis yang tinggi untuk mengajar siswa agar dapat membantu siswa mencapai pemahaman mendalam tentangSTEM untuk pemanfaatan selanjutnya dalam kehidupan dan karier mereka. Kurikulum untuk persiapan guru STEM harus menekankan kedua hal tersebut. Selain itu, guru harus termotivasi untuk selalu berpartisipasi dalam pengembangan profesionalnya membantu mereka mencapai pengetahuan konten STEM yang mendalam dan penguasaan pedagogi STEM.

2. Kurangnya investasi dalam pengembangan profesional guru
Kurangnya investasi dalam pengembangan profesional guru agar memiliki basis pengetahuan yang kuat telah dikaitkan dengan kinerja siswa yang buruk. Oleh karena itu mentoring kerja guru baru oleh guru yang sudah berpengalaman sangat dibutuhkan. Dengan adanya mentoring, guru baru akan memperoleh peluang untuk berkolaborasi dengan rekan kerja yang suda ahli dan mendapatkan bantuan dalam mengelola tugas. Hal  ini akan memungkinkan mereka melaksanakan proses pembelajaran dengan efektif.

3. Persiapan dan Inspirasi Siswa  yang Buruk 
Laporan STEM 2011 dari Departemen Perdagangan menunjukkan bahwa peluang kerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) semakin meningkat di Amerika. Laporan ini menyatakan bahwa siswa yang belajar  STEM mendapatkan peluang rata-rata 26% lebih banyak daripada siswa non-STEM.  Namun walaupun demikian , diketahui bahwa para siswa memiliki persiapan dan inspirasi yang buruk untuk mengejar program STEM. Menurut studi STEM yang dirilis oleh Microsoft dan Harris Interactive, hanya 20% mahasiswa yang belajar di bidang sains, teknologi, enjinering atau matematika mengatakan bahwa mereka merasa bahwa pendidikan mereka sebelum kuliah mempersiapkan mereka dengan “sangat baik” untuk bidang-bidang STEM. 

4. Kurangnya koneksi dengan individu pembelajar lain dalam berbagai macam cara
Untuk meningkatkan kinerja siswa dalam program STEM, mereka secara individu harus terhubung dengan berbagai cara untuk meningkatkan pembelajaran di bidang STEM (Darling-Harmond, 1994 dalam Ejiwale, 2013). Penelitian terbaru dalam pembelajaran berbasis proyek menunjukkan bahwa proyek dapat meningkatkan minat siswa pada STEM karena mereka melibatkan siswa dalam memecahkan masalah otentik, bekerja dengan orang lain, dan membangun solusi nyata.

5. Kurangnya dukungan sistem sekolah
Studi yang diterbitkan oleh Aliansi Pendidikan di Brown University menyatakan bahwa untuk pertumbuhan sistem sekolah, diperlukan struktur dan pemikiran baru  tentang cara melakukan bisnis pendidikan (Unger dkk., 2008 dalam Ejiwale, 2013). Penting untuk memastikan bahwa Kepala Sekolah memiliki pengetahuan tentang pendidikan STEM sehingga mampu menumbuhkan pengalaman belajar dan pengalaman STEM yang  kaya di sekolah mereka. 

6. Kurangnya kolaborasi penelitian di bidang STEM
Pendidikan STEM merupakan integrasi banyak disiplin ilmu dengan perbedaan dan persamaannya. Suatu hal yang normal jika pendekatan pembelajarannya harus dirancang melalui kolaborasi para pendidik yang terlibat. Kolaborasi penelitian melalui konsep klaster di seluruh bidang STEM untuk kurikulum yang terintegrasi akan meningkatkan konektivitas dan berbagi informasi di antara para guru dan industri. Karena itu, semua upaya harus dilakukan untuk mendorong peningkatan kegiatan kolaborasi penelitian antara pendidik dan kemitraan dengan personil industri untuk menjembatani pendekatan pembelajaran tradisional di kelas dengan pendekatan STEM.

7. Persiapan Bahan Ajar yang Kurang
Mempersiapkan bahan ajar adalah proses di mana garis besar arah belajar yang tidak jelas diubah menjadi arah belajar yang sudah jelas dalam bentuk lembar panduan, bahan ajar, instrument tes, dan petunjuk instruksional ”(Rothwell dkk., 1992, dalam Ejiwale, 2013). Semua bahan ajar baru harus memberikan pedoman yang jelas untuk semua beban kerja dan kegiatan kelas yang akan dilakukan. Ketika hasil belajar yang jelas dan spesifik diidentifikasi, guru tidak hanya  dapat memusatkan instruksi mereka pada hasil belajar tersebut, tetapi juga dapat menghubungkan penilaiannya langsung dengan hasil belajar.

8. Penyampaian konten dan metode penilaian kurang
Menurut Onuja (1987), dalam Ejiwale, (2013), metode pengajaran menentukan jumlah pengetahuan yang diperoleh peserta didik. Guru sebagai fasilitator harus memiliki pengetahuan tentang subjek dan memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk mempengaruhi pengetahuan siswa (Nwanekezi dkk., 2010 dalam Ejiwale, 2013) . Ketika proses pembelajaran tidak efektif, maka siswa hanya sedikit atau sama sekali tidak mendapat pengetahuan dan pegalaman baru. Ini menyiratkan bahwa guru harus berusaha untuk memahami metode dan strategi pembelajaran yang tersedia kemudian memilih yang sesuai dengan karakteristik materi, gaya belajar dan karakteristik siswa. Alat-alat instruksional tersebut harus secara hati-hati dan dengan sengaja diadaptasi untuk mengakomodasi setiap pembelajar. Hanya dengan cara ini semua siswa akan memiliki kesempatan untuk sukses (Guild, 1998 dalam Ejiwale, 2013).
Pendidikan STEM merupakan pedekatam  interdisipliner berbasis standar. Dengan demikian, metode penilaian hasil belajar tidak hanya didasarkan pada domain kognitif tetapi juga  afektif  dan domain psikomotorik. Dengan penilaian seperti ini, keterampilan dasar pembelajar akan dikembangkan dan kemampuan serta minatnya pada subyek STEM akan dibangun.

9. Buruknya kondisi fasilitas laboratorium dan media pembelajaran
Menurut Krueger & Whitmore (2001), hasil penelitian lima tahun yang dilakukan oleh University of Wisconsin menegaskan bahwa ruang kelas adalah area terpenting di sekolah tempat siswa menghabiskan sebagian besar waktunya. waktu dan kepadatan di ruang kelas dapat membuat fasilitasi aktivitas siswa menjadi kurang efektif.  Oleh karena itu, lingkungan kelas/laboratorium harus dibuat kondusif untuk belajar. Namun banyak sekolah tidak dilengkapi dengan peralatan dan media pembelajaran yang diperlukan, oleh karena itu guru harus pandai dan harus belajar berimprovisasi.

10. Kurangnya pemberian pengalaman langsung bagi siswa
Cara lain dalam pendidikan STEM yang sukses adalah memberikan pengalaman langsung kepada siswa untuk bekerja di industri atau kegiatan praktikum yang dibutuhkan oleh industri masa depan. Melalui pendekatan ini, para siswa akan memahami apa yang dimaksud dengan karir bidang STEM dengan menggunakan mesin yang digunakan di laboratorium yang mirip dengan yang akan mereka gunakan di tempat kerja. Selain itu, magang dan pendidikan kooperatif yang baik akan bermanfaat. Reformasi ini akan membuat pembelajaran berpusat pada siswa. 

Kesimpulan
STEM telah diilustrasikan dapat mengatasi krisis pendidikan yang terus berkembang, tetapi untuk bergerak ke arah solusi yang layak, perlu ada konsensus yang lebih kuat dalam mendefinisikan pendidikan STEM dalam satu set tujuan tertentu, perlu komitmen yang lebih besar untuk menerapkan program pembelajaran STEM dengan berbagai supporting systemnya, serta perlu pemahaman yang lebih holistik tentang cara penilaian STEM.