Analisis Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Peserta Didik Sekolah Dasar di Masa Pandemi Covid-19
Analisis Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pada Peserta Didik Sekolah Dasar di Masa Pandemi
Covid-19
PENDAHULUAN
Masa pandemi merupakan masa yang
paling berpengaruh pada abad 21, karena pada masa ini manusia dituntut untuk
mengikuti peraturan yang telah diterapkan oleh pemerintah untuk dapat
menghambat penularan virus Covid-19. Sejak Maret 2020, World Health Organizational (WHO)
telah menetapkan virus Covid-19 sebagai pandemi global. Virus Covid-19 merupakan virus yang ditularkan dari
hewan ke manusia. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (dalam Rivaldy, & Ghozali, 2021) mengemukakan
bahwa berdasarkan bukti
ilmiah, virus Covid-19 dapat menular dari
manusia ke manusia melalui percikan
air liur, batuk dan bersin. Adapun orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah
orang yang mempunyai kontak erat dengan orang yang terpapar virus Covid-19.
Tosepu (dalam Rivaldy & Ghozali, 2021) mengemukakan tanda dan gejala umum
infeksi virus Covid-19, di
antaranya yakni gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas. Adapun pada kasus yang parah, virus Covid-19 dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut,
gagal ginjal, dan kematian.
Sejalan dengan hal tersebut, pada masa
pandemi Covid-19 ini pun terjadi peningkatan masalah keseahatan mental seperti
stres, cemas, depresi, dan sebagainya. Masalah ini biasanya terjadi karena
seseorang telah mengalami peristiwa traumatis. Dari peristiwa traumatis
tersebut seseorang dapat mengalami gangguan-gangguan mental atau yang biasa
disebut juga dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pada masa
pandemi Covid-19 ini, masalah kesehatan mental banyak terjadi pada peserta
didik di sekolah dasar, terutama pada saat ditetapkannya sistem pembelajaran
daring, peserta didik banyak mengalami gangguan seperti mudah pusing, mudah
cemas, mudah bosan dan sebagainya.
Hatta (dalam Rivaldy, & Ghozali, 2021)
mengemukakan bahwa kata trauma berasal dari bahasa Yunani yakni tramatos yang artinya luka.
Trauma adalah
kejadian jiwa atau tingkah laku yang tidak normal atau tidak sesuai sebagai akibat dari suatu tekanan. Trauma juga dapat diartikan respon secara
emosional akibat sebuah kejadian, seperti kekerasan, bully, atau bencana
alam. Sedangkan dalam kamus konseling, traumatis
adalah peristiwa tiba-tiba mengejutkan
yang meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa seseorang sehingga dapat merusak terhadap fisik maupun psikologis.
Perubahan
sistem pembelajaran dari luring menjadi daring ini mengakibatkan peserta didik
harus menyesuaikan atau beradaptasi kembali dengan sistem baru yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga dalam pelaksanaan sistem daring ini,
peserta didik dihadapkan dengan banyak tantangan di antaranya seperti keinginan
untuk bermain lebih besar jika dibandingkan dengan belajar, sulitnya memahami
serta menguasai teknologi secara optimal dan sebagainya.
Perason (dalam Meutia, 2020)
mengemukakan bahwa berdasarkan situasi dan kondisi yang menutut banyak
perubahan tersebut, akibatnya yakni banyak menimbulkan kekhawatiran mengenai
bagaimana anak-anak akan terus mengingat pandemi virus Cvovid-19 ke depannya.
Anak-anak akan memiliki dampak tertentu jika mereka menyaksikan atau melihat
langsung orang tua, saudara, kerabat, teman, pengasuh ataupun tetangga mereka
yang diisolasi atau bahkan meninggal akibat Covid-19. Kondisi tersebut dapat
membuat anak memiliki kenangan permanen yang menyakitkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan metode deskriptif. Solimun, Armanu & Fernandes (dalam Kusumastuti,
Khoiron, & Achmadi, 2020) mengemukakan bahwa pendekatan kuantitatif
merupakan ilmu dan seni yang berhubungan dengan metode pengumpulan data,
analisis data dan interpetasi terhadap hasil analisis data untuk mendapatkan
informasi dan pengambilan keputusan. Sedangkan Syahril Iskandar (2020)
mengemukakan metode deskriptif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
menggambarkan dan/atau mendeskripsikan hasil penelitian yang dilakukan secara
sistematis serta sesuai dengan fakta yang diteliti secara tepat. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa pendekatan penelitian kuantitatif dengan metode
deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan dan/atau medeskripsikan hasil data
dari penelitian yang dilakukan secara sistemasi serta sesuai dengan fakta yang
diteliti secara tepat.
Populasi dalam penelitian ini yakni peserta didik kelas
tinggi di SD Negeri 3 Tanjungjaya, sedangkan sampel dalam penelitian ini yakni
25 peserta didik kelas V di SD Negeri 3 Tanjungjaya. Adapun Sugiyono (dalam
Rukajat, 2018) mengemukakan bahwa populasi merupakan wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai karakteristik dan sebab – akibat
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan diambil kesimpulannya.
Sejalan dengan hal tersebut, Arikunto (dalam Ul’fah Hernaeny, 2021)
mengemukakan bahwa sampel merupakan sebagian dari populasi yang akan diteliti.
Instrumen dalam penelitian ini yakni berupa angket
(kuesioner) yang terdiri dari 5 daftar cek masalah dan 30 kriteria diagnostik kecemasan
pasca trauma atau Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD). Data (2015)
mengemukakan bahwa angket (kuesioner) merupakan daftar pertanyaan yang
diberikan kepada responden dengan tujuan supaya responden memberikan respon
sesuai dengan arahan dari pemberi responden.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yakni dengan
menggunakan data primer. Data primer merupakan data yang didapatkan dari sumber
pertama yakni dari responden hasil angket (kuesioner) yang dilakukan oleh
peneliti.
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam metode
penelitian ini yakni dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Muhson
(2006) mengemukakan bahwa analisis statistik deskriptif merupakan statistik
yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara menggambarkan dan/atau
mendeskripsikan data yang telah terkumpul. Teknik analisis statistik deskriptif
yang digunakan dalam penelitian ini yakni penyajian data dalam bentuk visual
seperti diagram batang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil dari analisis instrumen
data penelitian 5 daftar cek masalah dan 30 kriteria diagnostik kecemasan pasca trauma
atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yakni sebagai berikut:
Berdasarkan grafik 1, dapat
disimpulkan hasil temuan daftar cek masalah gejala fisik pada peserta didik
kelas V, bahwa dari 25 peserta didik terdapat 16,50% peserta didik mengalami
sakit kepala, 14,40% mengalami pening, 13,40% mengalami tenggorokan kering,
12,40% banyak berkeringat, 8,20% mengalami alergi/gatal-gatal, 6,20% mengalami
diare/mencret dan dada sesak/nyeri, 5,10% mengalami rahang terkatup ketat dan
jantung berdebar, 3,10% mengalami duduk tidak tenang, tidak bertenaga dan perut
terasa tertekan, 2,20% mengalami nyeri lambung dan 1,00% mengalami
menggemeretakan gigi. Sementara itu, dari 25 peserta didik tidak ada yang
mengalami denyut nadi cepat, kejang dan otot tegang.
Berdasarkan grafik 2, dapat
disimpulkan hasil temuan daftar cek masalah gejala emosi pada peserta didik
kelas V di SDN 3 Tanjungjaya, bahwa dari 25 peserta didik terdapat 15%
mengalami marah, 14,20% merasa tidak berdaya, 10,20% merasa putus asa, 9,40%
merasa pasrah, 8,70% merasa murung dan menyesal, 6,30% merasa menyalahkan,
5,50% merasa menyerah, 4,70% merasa bosan, 3,90% merasa sinis, 3,10% merasa
khawatir, hilang kepercayaan dan mengingkari, 2,40% merasa terasingkan dan
1,60% mengalami takut. Sementara itu, dari 25 peserta didik tidak ada yang
mengalami mati rasa dan terguncang.
Berdasarkan grafik 3, dapat
disimpulkan hasil temuan daftar cek masalah gejala mental pada peserta didik
kelas V, bahwa dari 25 peserta didik terdapat 17,50% merasa tidak konsentrasi,
15% merasa tidak percaya, 14,30% merasa sulit mengambil keputusan, 12,70%
merasa lelah berpikir, 10,30% merasa banyak pikiran dan curiga, 8,70% merasa
mudah lupa, 6,30% merasa banyak melayani orang dan 4,80% merasa terbebani.
Berdasarkan grafik 4, dapat
disimpulkan hasil temuan daftar cek masalah gejala perilaku pada peserta didik
kelas V di SDN 3 Tanjungjaya, bahwa dari 25 peserta didik terdapat 16,50%
mengalami gelisah, 14,70% mengalami menangis dan sulit tidur, 13,80% mengalami
mudah marah, 12,80% mengalami kehilangan selera, 6,40% mengalami menggerakan
anggota tubuh berulang-ulang dan makan berlebihan, 4,60% mengalami tidak
bergerak, 3,70% mengalami tidak mampu bicara dan menghindar, 2,70% mengalami
tidak terlalu banyak gerak. Sementara itu, dari 25 peserta didik tidak ingin
bunuh diri, tidak banyak merokok, tidak minum alkohol dan narkoba.
Berdasarkan grafik 5, dapat
disimpulkan hasil temuan daftar cek masalah gejala spiritual pada peserta didik
kelas V di SDN 3 Tanjungjaya, bahwa dari 25 peserta didik terdapat 23,60%
mengalami kecewa, 16,40% mengalami menggerutu, 14,50% merasa tidak berdaya,
12,70% merasa menyesali diri, 10,90% merasa terancam, 9,10% merasa tidak tulus,
7,30% merasa sibuk dengan diri sendiri, 5,40% merasa jadi korban orang.
Sementara itu, dari 25 peserta didik tidak meragukan keyakinan, tidak meragukan
tuhan, tidak marah kepada tuhan, tidak berhenti beribadah dan tidak menyalahkan
tuhan.
Berdasarkan tabel 1, dapat disimpulkan
hasil data 30
kriteria diagnostik kecemasan pasca trauma atau Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) pada peserta didik kelas V di SDN 3 Tanjungjaya, bahwa
dari 25 peserta didik terdapat 84% yang mengalami sulit untuk berpikir
dalam belajar dan terdapat 92% yang tidak mengalami menarik diri dari bergaul
dengan orang lain atau lingkungan.
Nutt (dalam Ayuningtyas, 2018)
mengemukakan bahwa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah
gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu
peristiwa traumatis. Peristiwa traumatis tersebut bisa berupa pelecehan
seksual, penganiayaan, cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan lalu lintas,
trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam. Peristiwa-peristiwa
tersebut dianggap traumatis karena dialami oleh anak-anak yang dirasaka akan
sulit untuk mengatasinya.
Levers (dalam Ayuningtyas, 2018)
mengemukakan bahwa klasifikasi umum untuk jenis trauma psikologis atau fisik
yang dapat menginduksi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
mencakup penyalahgunaan (mental, fisik, seksual, atau lisan), bencana
(kecelakaan, bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan,
perkosaan, atau baterai), dan eksposur (obyek yang rentan terhadap resiko).
Levers (dalam Ayuningtyas, 2018) juga mengemukakan bahwa Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) ditandai oleh tiga gejala inti, yaitu re
experiencing (mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan trauma),
penghindaran (menghindari lingkungan), dan hyperarousal (teragitasi). Sejalan
dengan hal tersebut, selama perawatan psikologis, atau dalam kinerja aktivitas
sehari-hari, gejala inti dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan, serta
dapat menimbulkan hambatan-hambatan dalam mengekspresikan emosi perasaan,
keyakinan, dan reaksi yang tidak bisa dilakukan secara signifikan.
Wilson (dalam Sunardi, 2006)
mengemukakan bahwa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat
berdampak pada kapasitas psikologi, konsep diri perkembangan serta hubungan
dengan seseorang. Adapun gejala yang muncul pada Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) yakni aspek fisik, aspek emosi, aspek emosi, aspek
mental, aspek perilaku dan aspek spiritual. Gejala yang muncul pada aspek fisik
di antaranya yakni kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu,
mual-mual, pening,, sesak napas, dan panik. Gejala yang muncul pada aspek emosi
di antarnya yakni hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi dan
merasa rendah diri. Gejala yang muncul pada aspek mental di antaranya yakni
kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi
dan tidak mampu mengingat dengan baik. Gejala yang muncul pada aspek perilaku
di antaranya yakni sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan,
banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu
berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu
berlebihan, mengurung diri dan menyalahkan orang lain. Dan gejala yang muncul
pada aspek spiritual di antaranya yakni putus asa, hilang harapan, menyalahkan
Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan dan tidak tulus.
Raviv (dalam Meutia, 2020)
mengemukakan bahwa terdapat tiga bagian penting untuk mendukung ketahanan anak
dalam menghadapi keadaan yang penuh tekanan. Pertama, memastikan keamanan
secara fisik dan emosional. Hal Ini termasuk memastikan kebutuhan fisik mereka
terpenuhi (berupa makanan, tempat tinggal, perawatan kesehatan) serta
memberikan keamanan secara emosional dengan memberikan informasi yang akurat (fakta)
dalam bahasa yang sesuai dengan usia, membatasi paparan dalam liputan media,
dan menciptakan atau membangun kembali struktur yang sudah dikenal dan
rutinitas yang dapat diprediksi atau terencanakan. Kedua, membangun dan menjaga
hubungan yang kuat dan sehat. Ini termasuk membangun dan memperkuat koneksi
dengan orang-orang yang mendukung seperti
anggota keluarga, pengasuh, pendidik, dan pelatih serta teman sebaya.
Anak juga dapat dihubungkan ke komunitas yang lebih besar, seperti organisasi
(kelompok) atau sekolah berbasis agama yang dianggap dapat membantu anak-anak
membangun ketahanan secara religius. Dan ketiga, mengajarkan keterampilan
pendukung untuk mengatasi dan mengatur atau emosi. Ini termasuk membantu
anak-anak belajar bagaimana mengekspresikan emosi dalam bentuk kata-kata baik ucapan atau tulisan,
terlibat dalam kegiatan positif, menggunakan strategi relaksasi seperti
pernapasan dalam, mengakses dukungan sosial, dan menyelesaikan masalah.
Mengingat dari ketiga komponen utama ini dapat membantu anak-anak tidak hanya
melewati masa penuh tekanan tetapi juga tumbuh dan berkembang dengan baik.
PENUTUP
Pada masa pandemi Covid-19, banyak
terjadi masalah kesehatan mental pada peserta didik di sekolah dasar, terutama
pada saat ditetapkannya sistem pembelajaran daring, peserta didik banyak
mengalami gangguan seperti mudah pusing, mudah cemas, mudah bosan dan
sebagainya. Masalah tersebut biasa disebut dengan Post-Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah
mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatis. Adapun gejala yang muncul
pada Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yakni aspek fisik,
aspek emosi, aspek emosi, aspek mental, aspek perilaku dan aspek spiritual. Gejala
fisik yang paling banyak dialami oleh peserta didik yakni sakit kepala, gejala
emosi yang paling banyak dialami oleh peserta didik adalah marah, gejala mental
yang paling banyak dialami oleh peserta didik adalah merasa tidak konsentrasi,
gejala perilaku yang paling banyak dialami oleh siswa adalah gelisah dan gejala
spiritual yang paling banyak dialami oleh siswa adalah merasa kecewa. Peserta
didik juga banyak mengalami sulit untuk berpikir dalam belajar dan menarik
diri dari bergaul dengan orang lain atau lingkungan.
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
ditandai oleh tiga gejala inti, yaitu re experiencing (mengalami kembali
peristiwa yang menyebabkan trauma), penghindaran (menghindari lingkungan), dan hyperarousal
(teragitasi). Sejalan dengan hal tersebut, terdapat tiga bagian penting
untuk mendukung ketahanan anak dalam menghadapi keadaan yang penuh tekanan.
Pertama, memastikan keamanan secara fisik dan emosional. Kedua, membangun dan
menjaga hubungan yang kuat dan sehat. Dan ketiga, mengajarkan keterampilan
pendukung untuk mengatasi dan mengatur atau emosi.
Sudah sebaiknya sebagai pendidik yang
lebih dekat kepada peserta didik di sekolah harus bisa memahami dan mengamati
perubahan karakter atau perilaku peserta didik dalam rangka mencegah serta
menanggulangi gangguan kecemasan pasca trauma dan diharapkan artikel ini dapat
menambah pengetahuan atau wawasan mengenai gangguan pasca trauma.
Sudah seharusnya seorang pendidik
ataupun orang tua mengetahui gejala-gejala, kondisi dan kebutuhan psikologi
yang ada pada peserta didik, terutama dalam memahami kecemasan pasca trauma,
dalam hal ini peserta didik butuh perhatian lebih, karena, gejala-gejala yang
timbul berkaitan dengan aspek fisik, emosi, mental, perilaku dan spiritual.
Sejalan dengan hal tersebut, seorang pendidik juga harus mengamati gejala yang
terlihat dari peserta didik, kemudian pendidik dan orang tua harus bekerja sama
untuk memberi perhatian dan/atau pengawasan yang lebih baik, baik itu di rumah
ataupun di sekolah, agar tidak terlarut lebih jauh dalm gejala yang ada pada peserta
didik.