Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Landasan Historis Pendidikan

 


LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN

 

2.1 Zaman Purba

2.1.1 Sosial

Manusia merupakan homo socius atau makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia butuh bersosialisasi untuk tetap bertahan hidup. Kehidupan sosial manusia telah eksis sejak masa pra-aksara. Kehidupan sosial manusia purba pada masa pra-aksara dimulai pada zaman Paleolithikum (Batu Tua) hingga zaman Logam. Berikut karakteristik kehidupan sosial manusia purba masa pra-aksara:

 

1. Zaman Paleolithikum

Pada masa paleolithikum, seluruh aspek kehidupan manusia purba sangat bergantung pada keadaan alam dan lingkungannya. Manusia purba pada masa ini hidup secara berpindah-pindah (nomaden) secara berkelompok. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I (2010) karya Djonoed Poesponegoro, kehidupan sosial manusia purba masa Paleolithikum masih sangat sederhana, mereka hidup bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Jumlah anggota kelompok biasanya ditentukan dari besarnya hasil buruan, baik buruan tanaman maupun buruan hewan. Manusia purba zaman ini telah menerapkan sistem pembagian kerja sederhana berdasarkan jenis kelamin, umur dan kekuatan. Kaum lelaki bertugas untuk berburu binatang, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah untuk meramu makanan dan menjaga anak.

 

2. Zaman Mesolithikum

Pada masa mesolithikum, corak kehidupan manusia purba masih bercorak berburu dan meramu. Namun, terdapat beberapa kelompok yang mampu menanam sayur dan buah (holtikultura) secara berpindah. Kehidupan sosial masa Mesolithikum lebih berkembang daripada masa Paleolithikum. Manusia purba pada masa ini telah menerapkan pola kehidupan gua (abris sous roche) dan pantai (kjokkenmoddinger).

 

3. Zaman Neolithikum

Pada masa neolithikum, manusia purba sudah mulai hidup menetap dan tidak lagi bergantung pada alam. Kehidupan sosial manusia purba pada masa ini juga semakin kompleks. Mereka hidup secara berkelompok dengan membentuk perkampungan-perkampungan kecil. Pada masa ini, terdapat perubahan besar yang disebut dengan Revolusi Neolitik. Revolusi Neolitik adalah perubahan cara hidup manusia purba dari mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi menghasilkan makanan (food producing). Pola hidup food producing mampu meningkatkan jumlah anggota kelompok sosial masyarakat Neolithikum. Pada perkembangannya, mereka juga mengembangkan sistem pertanian dan peternakan yang dikerjakan secara bersama-sama (kolektif). Dalam buku Sejarah Indonesia masa Praaksara (2012) karya Herimanto, masyarakat purba pada masa Neolithikum diperkirakan telah melakukan perdagangan dengan sistem barter.

 

4. Zaman Logam

Pada zaman Logam, manusia purba telah hidup menetap di desa-desa daerah pegunungan, dataran rendah dan kawasan pesisir. Kehidupan sosial manusia purba pada zaman ini telah mengenal konsep pembagian kerja berdasarkan keahlian. Dalam tatanan masyarakat zaman logam, muncul golongan-golongan baru seperti tukang, petani, peternak, perajin, pandai besi, dan lainnya. Mereka saling melakukan interaksi sosial demi mencukupi kebutuhan masing-masing dan mengembangkan peradaban.

 

2.1.2 Budaya

Kehidupan manusia purba pada masa praaksara yang berlangsung selama ratusan ribu tahun menyimpan banyak nilai-nilai budaya yang masih relevan hingga masa kini. Kita sebagai manusia modern, dapat mengambil nilai-nilai tersebut sebagai bahan refleksi diri demi menjadi manusia yang lebih baik.

 

Berikut merupakan nilai-nilai budaya pada masa praaksara di Indonesia:

1. Gotong Royong

Dalam buku Sejarah Indonesia masa Praaksara (2015) karya Herimanto, manusia purba hidup secara berkelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan alam. Dalam pola hidup berkelompok, manusia purba selalu menerapkan budaya gotong royong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Budaya gotong royong manusia purba terlihat dari cara mereka berburu dan meramu makanan. Sejak zaman Paleolithikum, manusia purba telah melakukan pembagian tugas dalam tingkat sederhana ketika berburu dan meramu makanan.

 

2. Kreatif dan Inovatif

Manusia purba menciptakan berbagai macam alat kebudayaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Dalam menciptakan alat kebudayaan, manusia purba selalu menerapkan prinsip kreativitas dan inovasi. Mereka berhasil memberikan inovasi pada alat kebudayaan seperti batu, tulang hingga logam. Selain itu, manusia purba juga mampu memberi variasi terhadap alat kebudayaan dalam segi bentuk dan fungsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kreativitas dalam menciptakan alat kebudayaan.

 

3. Musyawarah

Pengambilan keputusan manusia purba pada masa praaksara telah dilakukan melalui musyawarah, meskipun masih dalam tingkat yang sederhana. Manusia purba pada zaman neolithikum hingga zaman logam telah menggunakan budaya musyawarah untuk memilih pemimpin dan menyelesaikan berbagai masalah kolektif.

 

4. Religius

Nilai-nilai religius pada masa praaksara didominasi oleh kepercayaan animisme, dinamisme dan totemisme. Dalam menjalankan kehidupan, manusia purba selalu berpedoman untuk melakukan hal-hal kebaikan sesuai dengan nilai spiritualitas yang mereka anut. Dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1 (1973) karya R. Soekmono, pada masa Neolithikum, manusia purba telah memercayai adanya alam kehidupan setelah kematian. Pada masa Neolithikum, manusia purba juga mampu menciptakan kebudayaan Megalithikum sebagai bentuk spritualitas mereka.

 

5. Agraris dan Maritim

Pada masa praaksara, corak kehidupan manusia purba identik dengan nilai budaya agraris dan maritim. Dalam budaya agraris, manusia purba telah berhasil mengembangkan kemampuan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sedangkan dalam budaya maritim, manusia purba mampu melakukan pelayaran untuk menemukan daerah-daerah potensial yang cocok ditinggali. Hal ini dibuktikan dari persebaran bangsa Proto Melayu dan Deutro Melayu dari wilayah Indo-cina menuju ke kepulauan Indonesia.

 

2.1.3 Ekonomi

Sistem ekonomi manusia prasejarah berkembang dari mengumpulkan makanan, bercocok tanam, berternak, hingga masa perundagian.

1. Masa Nomaden

Masa nomaden adalah masa di mana manusia berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Dilansir dari History, masa nomaden terjadi sejak dua juta tahun lalu dan berkembang di antara hominin awal Afrika. Hal ini berarti zaman paleolitik dan mesolitik juga termasuk ke dalam masa nomaden. Pada masa ini, manusia memenuhi kebutuhan hidup dengan berburu hewan dan mengumpulkan sayur, buah, serta biji-bijian di suatu tempat. Pada masa nomaden, manusia tinggal di dalam gua-gua, menggunakan api alami dari kebakaran hutan dan sambaran petir, berjalan dalam jarak yang sangat jauh, dan melakukan pembagian kerja

berdasarkan jenis kelamin. Saat sumber daya di wilayah tersebut berkurang, kelompok manusia tersebut akan berpindah tempat untuk mencari sumber makanan yang lebih melimpah.

 

2. Masa Bercocok Tanam dan Berternak

Setelah hidup jutaan tahun dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan secara nomaden, otak manusia semakin berkembang. Sehingga dimulailah masa bercocok tanam dan berternak pada zaman neolitikum sekitar 10.000 tahun yang lalu. Dilansir dari BBC, pertanian pertama terjadi di Inggris dengan menanam gandung dan barley di sekeliling rumah. Kemudian pertanian berkembang pesat dengan menanam sayuran dan biji-bijian. Pada zaman neolitik, manusia prasejarah juga mulai berternak sehingga tidak perlu berburu. Contoh ternak pada masa neolitikum adalah sapi, babi, domba, ayam, dan kuda. Pada masa ini, manusia mulai mengenal sistem barter sebagai sistem ekonominya yaitu menukar barang yang berbeda namun memiliki nilai yang setara.

 

3. Masa Perundagian

Masa Perundagian adalah masa di mana manusia mulai menggunakan alatalat yang terbuat dari logam. Masa perundagian terjadi pada zaman perunggu (3.300 Sebelum Masehi hingga 1.200 Sebelum Masehi) dan zaman besi (1.200 hingga 600 Sebelum Masehi). Pada masa ini, manusia tidak lagi bercocok tanam dengan tangan melainkan dari perkakas yang ditempat dari besi. Pada zaman besi tatanan sosial manusia sudah rapi di mana telah terbentuknya kerajaan seperti kekaisaran Persia. Manusia juga telah mengenal agama, budaya, pembuatan alat rumah tangga, senjata dari besi, pertahanan lapis besi untuk perang, hingga sistem ekonomi jual beli. Pada masa perundagian juga, manusia mulai membangunjaringan perdagangan yang luas melintasi daratan.

 

2.1.4 Politik

Berbudaya artinya adalah mengolah, mengerjakan, memanfaatkan. Sebagaimana para Antropolog menyebut asal usul kata budaya atau kultur adalah colere (bahasa Latin, artinya mengolah). Semuanya masih dalam kondisi (sangat) alamiah. Bebatuan, kayu, tulang, dimanfaatkan langsung, semata-mata sebagai alat pengolah sederhana. Oleh karena itu, batu serpih yang digunakan sama sekali belum ditatah, apa adanya. Mereka menggunakan piranti keras itu untuk mencari makanan, berburu hewan, dan menyalakan api. Dalam kajian antropologi klasik, konsep budaya ini disebut primer (primitif). Agama atau kepercayaan cukup sebagai ritual praktis, bahwa ada sesuatu kekuatan (atau roh) dalam tiap-tiap benda.

 

Berhubungan dengan dugaan Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, bahwa ‘pandangan dunia’ manusia purba itu adalah totem dan tabu. Totem adalah hewan, binatang, dan tetumbuhan yang dianggap punya daya magis, dan tabu berarti adalah larangan-larangan tertentu. Lalu apakah mereka sudah berpolitik? Mari kita imajinasikan saja dengan konsep dari John Locke, tentang negara murni atau Natural State. Negara atau otoritas kekuasaan alamiah berlangsung tanpa ikatan apapun (sukarela belaka).

 

Manusia tempo dulu bersepakat membentuk kesatuan komunal yang sederajat, hanya karena mereka butuh kesatuan dalam jumlah banyak. Relasi kuasa berfungsi secukupnya saja, untuk menggerakkan kerjasama, mempertahankan diri, dan menjamin keberlangsungan hidup antar sesama. Sungguh suasana ‘negara surgawi’. Asumsi negara murni ini juga cocok dengan periodisasi politik versi masyarakat madani. Bahwa politik bermula dari suasana natural society (kelompok sosial alamiah), lalu beralih ke political society (kelompok politis, di mana manusia sudah membentuk kebudayaan kota, atau polis), dan kini semua negara modern mewujudkan kelompok sosial berkeadaban atau civil society, alias masyarakat madani. Namun jangan dibayangkan konsep negara murni atau negara surgawi ini agung dan paling ideal untuk manusia, karena minim inovasi, miskin kreasi, dan tidak mampu mengolah konflik secara produktif. Apa-apa yang disebut dinamika politik kekuasaan saat itu berlangsung secara naluriah, ekspresif, dan bertumpu pada gerak fisik serta daya panca indera ragawi. Posisi akal, imajinasi, visi, dan intelektualitas, terbatas pada hal yang bisa dilihat langsung dan dirasakan langsung.

 

Fungsi akal dalam kurun politik purba itu tidak mampu membayangkan hal-hal yang sifatnya abstrak dan konseptual. Penggambaran sederhananya sebagai berikut: politik tanpa manajerial, tanpa diskusi, tanpa kecerdasan mengelola konflik, dan tentu saja tanpa tujuan aktualisasi nilai (misalnya nilai demokrasi, nilai filosofis, dan nilai kebijaksanaan).

 

Nampaknya tidak semua peninggalan politik era zaman batu itu pupus musnah. Politik yang hanya berbasis pada peragaan fisik, mengandalkan emosi, ekspresi naluriah, masih ada sisa-sisanya hingga hari ini. Politik zaman batu yang tidak mengenal manajemen konflik, visi dan intelektualitas, tetap berlangsung hingga saat ini. Bahkan pada derajat tertentu dengan tingkat kekerasan yang bahkan manusia purba pun mungkin tidak melakoninya. Politik zaman batu yang kurang nuansa seni, membosankan, sekonyong-konyong mengalami siklus ulang dengan pengemasan yang meriah dan megah. Telah terjadi apa yang disebut oleh Marshal McLuhan sebagai proses retribalisasi yaitu proses dimana manusia kembali kepada watak purbanya, yang semata-mata mengandalkan fisik, tetapi kurang menggunakan pemikirannya.

 

Latar Belakang Sosial Budaya. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan, kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman Purba disebut kebudayaan paleolitik. Adapun kebudayaan pada kurang lebih 1500 tahun SM yang lalu disebut kebudayaan neolitik. Kebudayaan masyarakat pada zaman purba tergolong kebudayaan maritim. Kepercayaan yang dianut masyarakat antara lain animisme dan dinamisme. Masyarakat dipimpin oleh oleh ketua adat. Namun demikian ketua adat dan para empu (pandai besi dan dukun yang merupakan orang-orang pandai) tidak dipandang sebagai anggota masyarakat lapisan tinggi, kecuali ketika mereka melaksanakan peranannya dalam upacara adat atau upacara ritual, dan lain-lain. Sebab itu, mereka tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas, tata masyarakatnya bersifat egaliter.

 

Adapun karakteristik lainnya yakni bahwa mereka hidup bergotong-royong. Pendidikan. Tujuan pendidikan pada zaman ini adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup bermasyarakat, taat terhadap adapt dan terhadap nilai-nilai religi (kepercayaan) yang mereka yakini. Karena kebudayaan masyarakat masih bersahaja, pada zaman ini belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah).

 

Pendidikan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga dan dalam kehidupankeseharian masyarakat yang alamiah. Kurikulum pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap dan nilai mengenai kepercayaan melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah nenek moyang, pendidikan keterampilan mencari nafkah (khususnya bagi anak laki-laki) dan pendidikan hidup bermasyarakat serta bergotong royong melalui kehidupan riil dalam masyarakatnya. Pendidiknya terutama adalah para orangtua (ayah dan ibu), dan secara tidak langsung adalah para orang dewasa di dalam masyarakatnya. Sekalipun ada yang belajar kepada empu, apakah kepada pandai besi atau kepada dukun jumlahnya sangat terbatas, utamanya adalah anak-anak mereka sendiri.

 

2.2 Zaman Kerajaan Islam

2.2.1 Sosial

Pada zaman Islam, kerajaan itu disebut Sultan. Oleh karena itu, pemimpinnya disebut Sultan (Raja dalam bahasa Arab). Dia adalah pemimpin tertinggi. Selain Sultan, nama pemimpinnya adalah Maurana, Sushan, dan Panenbahan. Pemujaan terhadap dewa raja tidak ada lagi pada periode Islam. Pada masa Islam, Sultan memperkuat posisinya dengan menghubungkan dirinya dengan Nabi Muhammad SAW melalui silsilahnya.

 

Selain itu, di dalam Islam tidak ada sistem kasta, sehingga seorang sultan bukanlah seseorang yang harus ditaati, dan sultan juga bukan titisan dari Allah. Sultan hanyalah manusia biasa yang diberikan kelebihan-kelebihan, sehingga pantas untuk memimpin suatu kerajaan. Ketika mengambil suatu keputusan, baik itu yang berkaitan dengan agama dan pemerintahan, sultan biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan para ulama, agar keputusan-keputusan tersebut dapat diterima oleh rakyat dengan penuh rahmat. Salah satu kelompok ulama yang terkenal di Nusantara adalah Wali Songo (Wali Sanga atau Sembilan Wali). Anggota Wali Songo banyak yang menjadi penasihat bagi Kerajaan Demak. Pengangkatan seorang raja pada masa Islam mirip dengan pengangkatan seorang raja dalam sistem pemerintahan Hindu Buddha. Sultan diangkat oleh keturunan. Jika dianggap mampu dan berwibawa, maka putra Sultan akan naik takhta dan memimpin kerajaan.

 

2.2.2 Ekonomi

Pada masa Islam, kehidupan perekonomian bergantung pada perdagangan. Kalau kamu perhatikan, Squad, banyak kerajaan Islam yang terletak di dekat pantai. Lokasi yang strategis ini menjadikannya mudah menjadi tempat persinggahan pedagang yang saat itu menggunakan kapal laut. Hal ini juga memicu berdirinya bandarbandar atau pelabuhan tempat transaksi perdagangan terjadi. Tempat tersebut tidak hanya disinggahi oleh pedagang pribumi, tapi juga oleh pedagang dari mancanegara. Pedagang asing umumnya berasal dari Arab, Persia, China bahkan Eropa. Produk yang dijual saat itu adalah rempah-rempah, perhiasan dan keramik. Uniknya, para pedagang dari Arab sering membentuk komunitas Arab yang dikenal dengan kampung Arab. Seringkali, desa ini berada di daerah pesisir. Namun, tidak jarang desa-desa ini muncul di daerah yang jauh dari pantai, biasanya dekat dengan pusat kota yang ramai.

 

2.2.3 Budaya

Ada kemajuan budaya selama perkembangan Islam di Nusantara. Penemuan naskah-naskah Islam dan literatur Islam yang dapat menjadi salah satu sumber sejarah perkembangan Islam di Indonesia, serta tambahannya bagi khazanah budaya Islam pada saat itu semakin menguatkan fakta tersebut. Sejak zaman Majapahit, karya-karya sastra ini semakin meluas sebagai pusat kebudayaan yang tersebar di seluruh nusantara, campuran budaya Indonesia, Hindu dan Islam. Selain itu, ada beberapa ajaran yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, yaitu ajaran tasawuf. Salah satu ajaran tasawuf ini

diajarkan oleh Sunan Bonan, yang juga menulis Suruk. Ia menghasilkan bukubuku Sunan Bonan atau Buku Hade Van Bonan.

 

Islam memiliki pengaruh yang sangat terbatas pada filsafat Jawa, tetapi agama ini telah membawa perubahan budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Nah, siapa pria yang belum disunat? Pasti sebagian besar dari Anda telah disunat sejak kecil. Nah, khitanan ini merupakan salah satu keyakinan Islam yang pada akhirnya menyatu dengan budaya masyarakat nusantara. Selain itu, orang melakukan penguburan bukan membakar mayat.

 

Selain itu, banyak juga terdapat keraton/bangunan keraton yang berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan dan kerabatnya. Bangunan ini umumnya memadukan budaya lokal dan Islam. Masih banyak istana. Di antaranya keraton Kasnanan dan Hadiningrat di Surakarta (Solo), keraton Kasephan di Cirebon, keraton Kanoman, keraton Kasilebonan, keraton Jogjakarta, keraton Maimun di Medan, atau keraton di Pulau Penengat di Kepulauan Riau.

 

2.2.4 Politik

Konsep Raja Sebagai Utusan Tuhan Pada masa Hindu-Buddha, kerajaan menganut konsep dinasti, sebuah sistem pemerintahan berdasarkan garis keturunan. Raja memiliki kuasa agung yang kerap diasosiasikan dengan dewa, atau yang disebut dengan konsep Devaraja. Raja dalam konsep ini akan dianggap sebagai titisan dewa di bumi. Raja biasanya dibuatkan candi, arca, atau prasasti lainnya yang menyerupai dewa. Contohnya adalah Raja Airlangga, pemimpin Kerajaan Kahuripan yang serupa dengan dewawisnu Masuknya Islam mengubah sistem Devaraja. Hal ini karena Tuhan dalam agama Islam tak dapat menyerupai ciptaan-Nya. Akan tetapi, Tuhan mengirimkan khalifah (pemimpin) di bumi yang bertanggung jawab terhadap keselarasan dan keteraturan dunia. Oleh karena itu, konsep Devaraja pada masa Hindu-Buddha berganti menjadi raja atau pemimpin sebagai khalifah (wakil Tuhan sebagai pemimpin) di bumi.

 

1. Penyebarluasan Islam oleh Raja

Para ulama yang menyebarkan syiar Islam di Nusantara pada masa awal memiliki strategi jitu dalam menjalankan dakwahnya. Pertama-tama, mereka akan terlebih dahulu melakukan pendekatan secara politis terhadap raja-raja di Nusantara agar memeluk Islam. Dalam modul Islam Nusantara yang diterbitkan Kemendikbud (2017: 12), para ulama tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada raja-raja di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu:

 

2. Menunjukkan peran pedagang Islam dalam memajukan perekonomian sebuah wilayah.

 

3. Menunjukkan keberhasilan ulama dalam menyebarluaskan agama Islam hingga ke pelosok daerah tanpa adanya perang atau pertumpahan darah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai paham yang sama dengan kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.

 

4. Menunjukan kesuksesan islam sebagai landasan ideologis dan sistem kepercayaan.

Setelah seorang raja bisa diajak memeluk agama Islam, sebagian besar rakyatnya pun akan mengikuti sang raja dengan melakukan hal yang sama. Kepentingan politik muncul lagi ketika raja ingin menambah wilayah kekuasaan sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam. Contoh penyebarluasan Islam oleh raja terjadi pada masa Kesultanan Demak. Kala itu, Sultan Demak mengirimkan pasukan untuk menaklukkan wilayah Jawa bagian barat dan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.

 

2.3 Zaman Kerajaan Hindu-Buddha

2.3.1 Sosial

Bidang Sosial Pengaruh Hindu-Buddha dalam bidang sosial, nampak dengan timbulnya perbedaan kelompok masyarakat berdasarkan kedudukannya. Masyarakat dibedakan berdasarkan fungsinya. Penggolongan masyarakat tersebut disebut sistem kasta. Masuknya kebudayaan Hindu menjadikan masyarakat Indonesia mengenal aturan kasta, yaitu :

1.Kasta Brahmana (kaum pendeta dan para sarjana).

2.Kasta Ksatria (para prajurit, pejabat, dan bangsawan).

3.Kasta Waisya (pedagang, petani, pemilik tanah, dan prajurit).

4.Kasta Sudra (pekerja kasar dan rakyat jelata)

 

2.3.2 Budaya

Bidang kebudayaan Dengan masuknya pengaruh Hindu-Budha, maka berkembang kebudayaan yang dipengaruhi agama Hindu-Budha yang nampak antara lain dalam seni bangunan, seni sastra, aksara (tulisan), seni wayang dan seni ukir. Pengaruh Hindu-Budha dalam seni bangunan, nampak dengan berdirinya candi-candi, baik yang bercorak Hindu maupun bercorak Budha.

 

1. Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Lorojonggrang merupakan komplek candi Hindu terbesar di Indonesia. Komplek candi ini berada di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini dibangun kurang lebih pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan, dari Kerajaan Mataram Kuno

 

2. Candi Penataran

Candi Panataran merupakan candi agama Hindu, peninggalan Kerajaan Kediri yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga (1200 Masehi). Candi ini berada di Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur Bangunan candi ini terbuat dari bata merah.

 

3. Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan candi Budha terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Candi ini dibangun pada abad ke 9 atas perintah Raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram kuno. Candi ini berada di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah.

 

4. Candi Muara Takus

Candi Muara Takus merupakan candi Agama Budha yang ada di Sumatera, tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Berbeda dengan candi Prambanan dan candi Borobudur yang terbuat dari batu andesit, bangunan candi Muara Takus terbuat dari bata merah. Selain itu, banyak juga candi-candi bercorak Hindu antara lain: Candi Gedong Songo, candicandi di Pegunungan Dieng.

 

Adapun candi-candi bercorak Budha antara lain: Candi Kalasan, Candi Mendut, dan Pengaruh Hindu-Budha dalam seni sastra antara lain nampak dengan lahirnya karya-karya sastra yang dipengaruhi yang bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India. Karya sastra tersebut antara lain: Arjunawiwaha, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Kitab Negarakrtagama, dan kitab Sutasoma. Seni wayang merupakan budaya asli Indonesia yang sudah ada sejak zaman pra aksara, namun dalam perkembangannya, cerita yang dikisahkan dalam pertunjukkan bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabharata.

 

Tokoh-tokoh yang diceritakan tidak seluruhnya berasal dari kitab Ramayana dan Mahabharata. Tokoh-tokoh wayang kulit seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, yang dikenal dengan tokoh punakawan, tidak terdapat dalam cerita kitab Ramayana dan Mahabharata. Dengan demikian dalam seni wayang telah terjadi akulturasi atau percampuran antara budaya Indonesia dengan budaya HinduBuddha.

 

2.3.3 Ekonomi

Bidang Ekonomi Berkembangnya perdagangan melalui jalur laut antara India dan China mengakibatkan ramainya jalur perdagangan di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya lahir pusat-pusat perdagangan yang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Pusat-pusat perdagangan tersebut kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan. Kegiatan perdagangan menjadi kegiatan ekonomi masyarakat zaman tersebut, disamping kegiatan pertanian.

 

2.3.4 Politik

Sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem pemerintahan. Pada waktu itu pemerintahan dipimpin oleh kepala suku, yang dipilih oleh masyarakatnya. Orang yang dipilih sebagai pemimpin adalah tokoh pilihan yang dianggap mengetahui adat istiadat, dan dapat memimpin upacara pemujaan roh nenek moyang. Dengan masuknya pengaruh Hindu-Budha, sistem pemerintahan berubah. Kedudukan kepala suku diganti oleh Raja, yang memiliki kekuasaan sangat besar. Raja tidak dipilih oleh rakyatnya, namun bersifat turun temurun. Bahkan Raja dianggap sebagai keturunan dewa.