Landasan Historis Pendidikan
LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
2.1 Zaman Purba
2.1.1 Sosial
Manusia merupakan homo socius atau makhluk
sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia butuh bersosialisasi untuk tetap
bertahan hidup. Kehidupan sosial manusia telah eksis sejak masa pra-aksara.
Kehidupan sosial manusia purba pada masa pra-aksara dimulai pada zaman
Paleolithikum (Batu Tua) hingga zaman Logam. Berikut karakteristik kehidupan
sosial manusia purba masa pra-aksara:
1. Zaman Paleolithikum
Pada masa paleolithikum, seluruh aspek
kehidupan manusia purba sangat bergantung pada keadaan alam dan lingkungannya.
Manusia purba pada masa ini hidup secara berpindah-pindah (nomaden) secara
berkelompok. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I (2010) karya Djonoed
Poesponegoro, kehidupan sosial manusia purba masa Paleolithikum masih sangat
sederhana, mereka hidup bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Jumlah anggota
kelompok biasanya ditentukan dari besarnya hasil buruan, baik buruan tanaman
maupun buruan hewan. Manusia purba zaman ini telah menerapkan sistem pembagian
kerja sederhana berdasarkan jenis kelamin, umur dan kekuatan. Kaum lelaki
bertugas untuk berburu binatang, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah
untuk meramu makanan dan menjaga anak.
2. Zaman Mesolithikum
Pada masa mesolithikum, corak kehidupan
manusia purba masih bercorak berburu dan meramu. Namun, terdapat beberapa
kelompok yang mampu menanam sayur dan buah (holtikultura) secara berpindah.
Kehidupan sosial masa Mesolithikum lebih berkembang daripada masa
Paleolithikum. Manusia purba pada masa ini telah menerapkan pola kehidupan gua
(abris sous roche) dan pantai (kjokkenmoddinger).
3. Zaman Neolithikum
Pada masa neolithikum, manusia purba sudah
mulai hidup menetap dan tidak lagi bergantung pada alam. Kehidupan sosial
manusia purba pada masa ini juga semakin kompleks. Mereka hidup secara berkelompok
dengan membentuk perkampungan-perkampungan kecil. Pada masa ini, terdapat
perubahan besar yang disebut dengan Revolusi Neolitik. Revolusi Neolitik adalah
perubahan cara hidup manusia purba dari mengumpulkan makanan (food gathering)
menjadi menghasilkan makanan (food producing). Pola hidup food producing mampu meningkatkan
jumlah anggota kelompok sosial masyarakat Neolithikum. Pada perkembangannya,
mereka juga mengembangkan sistem pertanian dan peternakan yang dikerjakan
secara bersama-sama (kolektif). Dalam buku Sejarah Indonesia masa Praaksara
(2012) karya Herimanto, masyarakat purba pada masa Neolithikum diperkirakan
telah melakukan perdagangan dengan sistem barter.
4. Zaman Logam
Pada zaman Logam, manusia purba telah hidup
menetap di desa-desa daerah pegunungan, dataran rendah dan kawasan pesisir.
Kehidupan sosial manusia purba pada zaman ini telah mengenal konsep pembagian
kerja berdasarkan keahlian. Dalam tatanan masyarakat zaman logam, muncul
golongan-golongan baru seperti tukang, petani, peternak, perajin, pandai besi,
dan lainnya. Mereka saling melakukan interaksi sosial demi mencukupi kebutuhan
masing-masing dan mengembangkan peradaban.
2.1.2 Budaya
Kehidupan manusia purba pada masa praaksara
yang berlangsung selama ratusan ribu tahun menyimpan banyak nilai-nilai budaya
yang masih relevan hingga masa kini. Kita sebagai manusia modern, dapat
mengambil nilai-nilai tersebut sebagai bahan refleksi diri demi menjadi manusia
yang lebih baik.
Berikut merupakan nilai-nilai budaya pada masa
praaksara di Indonesia:
1. Gotong Royong
Dalam buku Sejarah Indonesia masa Praaksara
(2015) karya Herimanto, manusia purba hidup secara berkelompok untuk memenuhi
kebutuhan dan menghadapi tantangan alam. Dalam pola hidup berkelompok, manusia
purba selalu menerapkan budaya gotong royong dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Budaya gotong royong manusia purba terlihat dari cara mereka berburu dan meramu
makanan. Sejak zaman Paleolithikum, manusia purba telah melakukan pembagian tugas
dalam tingkat sederhana ketika berburu dan meramu makanan.
2. Kreatif dan Inovatif
Manusia purba menciptakan berbagai macam alat
kebudayaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Dalam menciptakan alat
kebudayaan, manusia purba selalu menerapkan prinsip kreativitas dan inovasi.
Mereka berhasil memberikan inovasi pada alat kebudayaan seperti batu, tulang
hingga logam. Selain itu, manusia purba juga mampu memberi variasi terhadap
alat kebudayaan dalam segi bentuk dan fungsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
manusia purba memiliki kreativitas dalam menciptakan alat kebudayaan.
3. Musyawarah
Pengambilan keputusan manusia purba pada masa
praaksara telah dilakukan melalui musyawarah, meskipun masih dalam tingkat yang
sederhana. Manusia purba pada zaman neolithikum hingga zaman logam telah
menggunakan budaya musyawarah untuk memilih pemimpin dan menyelesaikan berbagai
masalah kolektif.
4. Religius
Nilai-nilai religius pada masa praaksara
didominasi oleh kepercayaan animisme, dinamisme dan totemisme. Dalam
menjalankan kehidupan, manusia purba selalu berpedoman untuk melakukan hal-hal
kebaikan sesuai dengan nilai spiritualitas yang mereka anut. Dalam buku
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1 (1973) karya R. Soekmono, pada masa
Neolithikum, manusia purba telah memercayai adanya alam kehidupan setelah
kematian. Pada masa Neolithikum, manusia purba juga mampu menciptakan
kebudayaan Megalithikum sebagai bentuk spritualitas mereka.
5. Agraris dan Maritim
Pada masa praaksara, corak kehidupan manusia
purba identik dengan nilai budaya agraris dan maritim. Dalam budaya agraris,
manusia purba telah berhasil mengembangkan kemampuan bercocok tanam untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sedangkan dalam budaya maritim, manusia purba
mampu melakukan pelayaran untuk menemukan daerah-daerah potensial yang cocok
ditinggali. Hal ini dibuktikan dari persebaran bangsa Proto Melayu dan Deutro
Melayu dari wilayah Indo-cina menuju ke kepulauan Indonesia.
2.1.3 Ekonomi
Sistem ekonomi manusia prasejarah berkembang
dari mengumpulkan makanan, bercocok tanam, berternak, hingga masa perundagian.
1. Masa Nomaden
Masa nomaden adalah masa di mana manusia
berburu dan mengumpulkan makanan dari alam. Dilansir dari History, masa nomaden
terjadi sejak dua juta tahun lalu dan berkembang di antara hominin awal Afrika.
Hal ini berarti zaman paleolitik dan mesolitik juga termasuk ke dalam masa
nomaden. Pada masa ini, manusia memenuhi kebutuhan hidup dengan berburu hewan
dan mengumpulkan sayur, buah, serta biji-bijian di suatu tempat. Pada masa
nomaden, manusia tinggal di dalam gua-gua, menggunakan api alami dari kebakaran
hutan dan sambaran petir, berjalan dalam jarak yang sangat jauh, dan melakukan
pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin. Saat sumber daya di
wilayah tersebut berkurang, kelompok manusia tersebut akan berpindah tempat
untuk mencari sumber makanan yang lebih melimpah.
2. Masa Bercocok Tanam dan Berternak
Setelah hidup jutaan tahun dengan cara berburu
dan mengumpulkan makanan secara nomaden, otak manusia semakin berkembang.
Sehingga dimulailah masa bercocok tanam dan berternak pada zaman neolitikum
sekitar 10.000 tahun yang lalu. Dilansir dari BBC, pertanian pertama terjadi di
Inggris dengan menanam gandung dan barley di sekeliling rumah. Kemudian
pertanian berkembang pesat dengan menanam sayuran dan biji-bijian. Pada zaman
neolitik, manusia prasejarah juga mulai berternak sehingga tidak perlu berburu.
Contoh ternak pada masa neolitikum adalah sapi, babi, domba, ayam, dan kuda.
Pada masa ini, manusia mulai mengenal sistem barter sebagai sistem ekonominya
yaitu menukar barang yang berbeda namun memiliki nilai yang setara.
3. Masa Perundagian
Masa Perundagian adalah masa di mana manusia
mulai menggunakan alatalat yang terbuat dari logam. Masa perundagian terjadi
pada zaman perunggu (3.300 Sebelum Masehi hingga 1.200 Sebelum Masehi) dan
zaman besi (1.200 hingga 600 Sebelum Masehi). Pada masa ini, manusia tidak lagi
bercocok tanam dengan tangan melainkan dari perkakas yang ditempat dari besi.
Pada zaman besi tatanan sosial manusia sudah rapi di mana telah terbentuknya
kerajaan seperti kekaisaran Persia. Manusia juga telah mengenal agama, budaya,
pembuatan alat rumah tangga, senjata dari besi, pertahanan lapis besi untuk
perang, hingga sistem ekonomi jual beli. Pada masa perundagian juga, manusia
mulai membangunjaringan perdagangan yang luas melintasi daratan.
2.1.4 Politik
Berbudaya artinya adalah mengolah,
mengerjakan, memanfaatkan. Sebagaimana para Antropolog menyebut asal usul kata
budaya atau kultur adalah colere (bahasa Latin, artinya mengolah). Semuanya
masih dalam kondisi (sangat) alamiah. Bebatuan, kayu, tulang, dimanfaatkan
langsung, semata-mata sebagai alat pengolah sederhana. Oleh karena itu, batu
serpih yang digunakan sama sekali belum ditatah, apa adanya. Mereka menggunakan
piranti keras itu untuk mencari makanan, berburu hewan, dan menyalakan api.
Dalam kajian antropologi klasik, konsep budaya ini disebut primer (primitif).
Agama atau kepercayaan cukup sebagai ritual praktis, bahwa ada sesuatu kekuatan
(atau roh) dalam tiap-tiap benda.
Berhubungan dengan dugaan Bapak Psikoanalisis,
Sigmund Freud, bahwa ‘pandangan dunia’ manusia purba itu adalah totem dan tabu.
Totem adalah hewan, binatang, dan tetumbuhan yang dianggap punya daya magis,
dan tabu berarti adalah larangan-larangan tertentu. Lalu apakah mereka sudah
berpolitik? Mari kita imajinasikan saja dengan konsep dari John Locke, tentang
negara murni atau Natural State. Negara atau otoritas kekuasaan alamiah berlangsung
tanpa ikatan apapun (sukarela belaka).
Manusia tempo dulu bersepakat membentuk
kesatuan komunal yang sederajat, hanya karena mereka butuh kesatuan dalam
jumlah banyak. Relasi kuasa berfungsi secukupnya saja, untuk menggerakkan
kerjasama, mempertahankan diri, dan menjamin keberlangsungan hidup antar
sesama. Sungguh suasana ‘negara surgawi’. Asumsi negara murni ini juga cocok
dengan periodisasi politik versi masyarakat madani. Bahwa politik bermula dari
suasana natural society (kelompok sosial alamiah), lalu beralih ke political
society (kelompok politis, di mana manusia sudah membentuk kebudayaan kota,
atau polis), dan kini semua negara modern mewujudkan kelompok sosial berkeadaban
atau civil society, alias masyarakat madani. Namun jangan dibayangkan konsep
negara murni atau negara surgawi ini agung dan paling ideal untuk manusia,
karena minim inovasi, miskin kreasi, dan tidak mampu mengolah konflik secara
produktif. Apa-apa yang disebut dinamika politik kekuasaan saat itu berlangsung
secara naluriah, ekspresif, dan bertumpu pada gerak fisik serta daya panca
indera ragawi. Posisi akal, imajinasi, visi, dan intelektualitas, terbatas pada
hal yang bisa dilihat langsung dan dirasakan langsung.
Fungsi akal dalam kurun politik purba itu
tidak mampu membayangkan hal-hal yang sifatnya abstrak dan konseptual.
Penggambaran sederhananya sebagai berikut: politik tanpa manajerial, tanpa
diskusi, tanpa kecerdasan mengelola konflik, dan tentu saja tanpa tujuan
aktualisasi nilai (misalnya nilai demokrasi, nilai filosofis, dan nilai
kebijaksanaan).
Nampaknya tidak semua peninggalan politik era
zaman batu itu pupus musnah. Politik yang hanya berbasis pada peragaan fisik,
mengandalkan emosi, ekspresi naluriah, masih ada sisa-sisanya hingga hari ini.
Politik zaman batu yang tidak mengenal manajemen konflik, visi dan
intelektualitas, tetap berlangsung hingga saat ini. Bahkan pada derajat
tertentu dengan tingkat kekerasan yang bahkan manusia purba pun mungkin tidak
melakoninya. Politik zaman batu yang kurang nuansa seni, membosankan,
sekonyong-konyong mengalami siklus ulang dengan pengemasan yang meriah dan
megah. Telah terjadi apa yang disebut oleh Marshal McLuhan sebagai proses
retribalisasi yaitu proses dimana manusia kembali kepada watak purbanya, yang
semata-mata mengandalkan fisik, tetapi kurang menggunakan pemikirannya.
Latar Belakang Sosial Budaya. Setiap
masyarakat pasti memiliki kebudayaan, kebudayaan yang berkembang dalam
masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia pada zaman Purba disebut kebudayaan
paleolitik. Adapun kebudayaan pada kurang lebih 1500 tahun SM yang lalu disebut
kebudayaan neolitik. Kebudayaan masyarakat pada zaman purba tergolong
kebudayaan maritim. Kepercayaan yang dianut masyarakat antara lain animisme dan
dinamisme. Masyarakat dipimpin oleh oleh ketua adat. Namun demikian ketua adat dan
para empu (pandai besi dan dukun yang merupakan orang-orang pandai) tidak dipandang
sebagai anggota masyarakat lapisan tinggi, kecuali ketika mereka melaksanakan
peranannya dalam upacara adat atau upacara ritual, dan lain-lain. Sebab itu,
mereka tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas, tata masyarakatnya bersifat
egaliter.
Adapun karakteristik lainnya yakni bahwa
mereka hidup bergotong-royong. Pendidikan. Tujuan pendidikan pada zaman ini
adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela diri, hidup
bermasyarakat, taat terhadap adapt dan terhadap nilai-nilai religi
(kepercayaan) yang mereka yakini. Karena kebudayaan masyarakat masih bersahaja,
pada zaman ini belum ada lembaga pendidikan formal (sekolah).
Pendidikan dilaksanakan di dalam lingkungan
keluarga dan dalam kehidupankeseharian masyarakat yang alamiah. Kurikulum
pendidikannya meliputi pengetahuan, sikap dan nilai mengenai kepercayaan
melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah nenek moyang,
pendidikan keterampilan mencari nafkah (khususnya bagi anak laki-laki) dan
pendidikan hidup bermasyarakat serta bergotong royong melalui kehidupan riil
dalam masyarakatnya. Pendidiknya terutama adalah para orangtua (ayah dan ibu),
dan secara tidak langsung adalah para orang dewasa di dalam masyarakatnya. Sekalipun
ada yang belajar kepada empu, apakah kepada pandai besi atau kepada dukun
jumlahnya sangat terbatas, utamanya adalah anak-anak mereka sendiri.
2.2 Zaman Kerajaan Islam
2.2.1 Sosial
Pada zaman Islam, kerajaan itu disebut Sultan.
Oleh karena itu, pemimpinnya disebut Sultan (Raja dalam bahasa Arab). Dia
adalah pemimpin tertinggi. Selain Sultan, nama pemimpinnya adalah Maurana,
Sushan, dan Panenbahan. Pemujaan terhadap dewa raja tidak ada lagi pada periode
Islam. Pada masa Islam, Sultan memperkuat posisinya dengan menghubungkan
dirinya dengan Nabi Muhammad SAW melalui silsilahnya.
Selain itu, di dalam Islam tidak ada sistem
kasta, sehingga seorang sultan bukanlah seseorang yang harus ditaati, dan
sultan juga bukan titisan dari Allah. Sultan hanyalah manusia biasa yang
diberikan kelebihan-kelebihan, sehingga pantas untuk memimpin suatu kerajaan.
Ketika mengambil suatu keputusan, baik itu yang berkaitan dengan agama dan
pemerintahan, sultan biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan para ulama,
agar keputusan-keputusan tersebut dapat diterima oleh rakyat dengan penuh
rahmat. Salah satu kelompok ulama yang terkenal di Nusantara adalah Wali Songo
(Wali Sanga atau Sembilan Wali). Anggota Wali Songo banyak yang menjadi
penasihat bagi Kerajaan Demak. Pengangkatan seorang raja pada masa Islam mirip
dengan pengangkatan seorang raja dalam sistem pemerintahan Hindu Buddha. Sultan
diangkat oleh keturunan. Jika dianggap mampu dan berwibawa, maka putra Sultan
akan naik takhta dan memimpin kerajaan.
2.2.2 Ekonomi
Pada masa Islam, kehidupan perekonomian
bergantung pada perdagangan. Kalau kamu perhatikan, Squad, banyak kerajaan
Islam yang terletak di dekat pantai. Lokasi yang strategis ini menjadikannya
mudah menjadi tempat persinggahan pedagang yang saat itu menggunakan kapal
laut. Hal ini juga memicu berdirinya bandarbandar atau pelabuhan tempat transaksi
perdagangan terjadi. Tempat tersebut tidak hanya disinggahi oleh pedagang
pribumi, tapi juga oleh pedagang dari mancanegara. Pedagang asing umumnya
berasal dari Arab, Persia, China bahkan Eropa. Produk yang dijual saat itu
adalah rempah-rempah, perhiasan dan keramik. Uniknya, para pedagang dari Arab
sering membentuk komunitas Arab yang dikenal dengan kampung Arab. Seringkali,
desa ini berada di daerah pesisir. Namun, tidak jarang desa-desa ini muncul di
daerah yang jauh dari pantai, biasanya dekat dengan pusat kota yang ramai.
2.2.3 Budaya
Ada kemajuan budaya selama perkembangan Islam
di Nusantara. Penemuan naskah-naskah Islam dan literatur Islam yang dapat
menjadi salah satu sumber sejarah perkembangan Islam di Indonesia, serta
tambahannya bagi khazanah budaya Islam pada saat itu semakin menguatkan fakta
tersebut. Sejak zaman Majapahit, karya-karya sastra ini semakin meluas sebagai
pusat kebudayaan yang tersebar di seluruh nusantara, campuran budaya Indonesia,
Hindu dan Islam. Selain itu, ada beberapa ajaran yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, yaitu ajaran tasawuf. Salah satu ajaran
tasawuf ini
diajarkan oleh Sunan Bonan, yang juga menulis
Suruk. Ia menghasilkan bukubuku Sunan Bonan atau Buku Hade Van Bonan.
Islam memiliki pengaruh yang sangat terbatas
pada filsafat Jawa, tetapi agama ini telah membawa perubahan budaya dalam
kehidupan masyarakat Jawa. Nah, siapa pria yang belum disunat? Pasti sebagian
besar dari Anda telah disunat sejak kecil. Nah, khitanan ini merupakan salah
satu keyakinan Islam yang pada akhirnya menyatu dengan budaya masyarakat
nusantara. Selain itu, orang melakukan penguburan bukan membakar mayat.
Selain itu, banyak juga terdapat
keraton/bangunan keraton yang berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan dan
kerabatnya. Bangunan ini umumnya memadukan budaya lokal dan Islam. Masih banyak
istana. Di antaranya keraton Kasnanan dan Hadiningrat di Surakarta (Solo),
keraton Kasephan di Cirebon, keraton Kanoman, keraton Kasilebonan, keraton
Jogjakarta, keraton Maimun di Medan, atau keraton di Pulau Penengat di
Kepulauan Riau.
2.2.4 Politik
Konsep Raja Sebagai Utusan Tuhan Pada masa
Hindu-Buddha, kerajaan menganut konsep dinasti, sebuah sistem pemerintahan
berdasarkan garis keturunan. Raja memiliki kuasa agung yang kerap diasosiasikan
dengan dewa, atau yang disebut dengan konsep Devaraja. Raja dalam konsep ini
akan dianggap sebagai titisan dewa di bumi. Raja biasanya dibuatkan candi,
arca, atau prasasti lainnya yang menyerupai dewa. Contohnya adalah Raja
Airlangga, pemimpin Kerajaan Kahuripan yang serupa dengan dewawisnu Masuknya
Islam mengubah sistem Devaraja. Hal ini karena Tuhan dalam agama Islam tak
dapat menyerupai ciptaan-Nya. Akan tetapi, Tuhan mengirimkan khalifah
(pemimpin) di bumi yang bertanggung jawab terhadap keselarasan dan keteraturan
dunia. Oleh karena itu, konsep Devaraja pada masa Hindu-Buddha berganti menjadi
raja atau pemimpin sebagai khalifah (wakil Tuhan sebagai pemimpin) di bumi.
1. Penyebarluasan Islam oleh Raja
Para ulama yang menyebarkan syiar Islam di
Nusantara pada masa awal memiliki strategi jitu dalam menjalankan dakwahnya.
Pertama-tama, mereka akan terlebih dahulu melakukan pendekatan secara politis
terhadap raja-raja di Nusantara agar memeluk Islam. Dalam modul Islam Nusantara
yang diterbitkan Kemendikbud (2017: 12), para ulama tersebut menyebarkan ajaran
Islam kepada raja-raja di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu:
2. Menunjukkan peran pedagang Islam dalam
memajukan perekonomian sebuah wilayah.
3. Menunjukkan keberhasilan ulama dalam
menyebarluaskan agama Islam hingga ke pelosok daerah tanpa adanya perang atau
pertumpahan darah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai paham yang sama
dengan kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
4. Menunjukan kesuksesan islam sebagai
landasan ideologis dan sistem kepercayaan.
Setelah seorang raja bisa diajak memeluk agama
Islam, sebagian besar rakyatnya pun akan mengikuti sang raja dengan melakukan
hal yang sama. Kepentingan politik muncul lagi ketika raja ingin menambah
wilayah kekuasaan sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam. Contoh penyebarluasan
Islam oleh raja terjadi pada masa Kesultanan Demak. Kala itu, Sultan Demak
mengirimkan pasukan untuk menaklukkan wilayah Jawa bagian barat dan menyebarkan
Islam di wilayah tersebut.
2.3 Zaman Kerajaan Hindu-Buddha
2.3.1 Sosial
Bidang Sosial Pengaruh Hindu-Buddha dalam
bidang sosial, nampak dengan timbulnya perbedaan kelompok masyarakat
berdasarkan kedudukannya. Masyarakat dibedakan berdasarkan fungsinya.
Penggolongan masyarakat tersebut disebut sistem kasta. Masuknya kebudayaan
Hindu menjadikan masyarakat Indonesia mengenal aturan kasta, yaitu :
1.Kasta Brahmana (kaum pendeta dan para
sarjana).
2.Kasta Ksatria (para prajurit, pejabat, dan
bangsawan).
3.Kasta Waisya (pedagang, petani, pemilik
tanah, dan prajurit).
4.Kasta Sudra (pekerja kasar dan rakyat
jelata)
2.3.2 Budaya
Bidang kebudayaan Dengan masuknya pengaruh
Hindu-Budha, maka berkembang kebudayaan yang dipengaruhi agama Hindu-Budha yang
nampak antara lain dalam seni bangunan, seni sastra, aksara (tulisan), seni
wayang dan seni ukir. Pengaruh Hindu-Budha dalam seni bangunan, nampak dengan
berdirinya candi-candi, baik yang bercorak Hindu maupun bercorak Budha.
1. Candi Prambanan
Candi Prambanan atau Candi Lorojonggrang
merupakan komplek candi Hindu terbesar di Indonesia. Komplek candi ini berada
di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini dibangun kurang lebih pada
abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan, dari Kerajaan Mataram Kuno
2. Candi Penataran
Candi Panataran merupakan candi agama Hindu,
peninggalan Kerajaan Kediri yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga
(1200 Masehi). Candi ini berada di Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur
Bangunan candi ini terbuat dari bata merah.
3. Candi Borobudur
Candi Borobudur merupakan candi Budha terbesar
di Indonesia, bahkan di dunia. Candi ini dibangun pada abad ke 9 atas perintah
Raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram kuno. Candi ini berada di Kabupaten
Magelang Provinsi Jawa Tengah.
4. Candi Muara Takus
Candi Muara Takus merupakan candi Agama Budha
yang ada di Sumatera, tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan
Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Candi ini merupakan
peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Berbeda dengan candi Prambanan dan candi
Borobudur yang terbuat dari batu andesit, bangunan candi Muara Takus terbuat
dari bata merah. Selain itu, banyak juga candi-candi bercorak Hindu antara
lain: Candi Gedong Songo, candicandi di Pegunungan Dieng.
Adapun candi-candi bercorak Budha antara lain:
Candi Kalasan, Candi Mendut, dan Pengaruh Hindu-Budha dalam seni sastra antara
lain nampak dengan lahirnya karya-karya sastra yang dipengaruhi yang bersumber
dari kisah Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India. Karya sastra
tersebut antara lain: Arjunawiwaha, Bharatayudha, Gatotkacasraya, Kitab
Negarakrtagama, dan kitab Sutasoma. Seni wayang merupakan budaya asli Indonesia
yang sudah ada sejak zaman pra aksara, namun dalam perkembangannya, cerita yang
dikisahkan dalam pertunjukkan bersumber dari kitab Ramayana dan Mahabharata.
Tokoh-tokoh yang diceritakan tidak seluruhnya
berasal dari kitab Ramayana dan Mahabharata. Tokoh-tokoh wayang kulit seperti
Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, yang dikenal dengan tokoh punakawan, tidak
terdapat dalam cerita kitab Ramayana dan Mahabharata. Dengan demikian dalam
seni wayang telah terjadi akulturasi atau percampuran antara budaya Indonesia
dengan budaya HinduBuddha.
2.3.3 Ekonomi
Bidang Ekonomi Berkembangnya perdagangan
melalui jalur laut antara India dan China mengakibatkan ramainya jalur
perdagangan di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya lahir pusat-pusat
perdagangan yang menjadi pusat kegiatan ekonomi. Pusat-pusat perdagangan
tersebut kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan. Kegiatan perdagangan
menjadi kegiatan ekonomi masyarakat zaman tersebut, disamping kegiatan
pertanian.
2.3.4 Politik
Sebelum masuk pengaruh Hindu-Budha, masyarakat
Indonesia sudah mengenal sistem pemerintahan. Pada waktu itu pemerintahan
dipimpin oleh kepala suku, yang dipilih oleh masyarakatnya. Orang yang dipilih
sebagai pemimpin adalah tokoh pilihan yang dianggap mengetahui adat istiadat,
dan dapat memimpin upacara pemujaan roh nenek moyang. Dengan masuknya pengaruh
Hindu-Budha, sistem pemerintahan berubah. Kedudukan kepala suku diganti oleh
Raja, yang memiliki kekuasaan sangat besar. Raja tidak dipilih oleh rakyatnya,
namun bersifat turun temurun. Bahkan Raja dianggap sebagai keturunan dewa.