> Pendidikan Formal, Informal, Nonformal, Dan Pola-Pola Kegiatan Sosial Pendidikan - IrfanMalikA
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Formal, Informal, Nonformal, Dan Pola-Pola Kegiatan Sosial Pendidikan

 


Pendidikan Formal, Informal, Nonformal, Dan Pola-Pola Kegiatan Sosial Pendidikan

 

Pengertian Pendidikan Formal, Informal, dan Nonformal

Pendidikan merupakan sarana atau proses manusia untuk meningkatkan kualitas pribadi dari segi kecerdasan integral maupun kecerdasan intelektual. Dengan begitu pendidikan adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh besar terhadap individu.  Oleh karena itu, pendidikan memerlukan strategi didalamnya.

 

Soyomukti (2015:22) mengatakan bahwa: “Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Pendidikan seumur hidup bermakna bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan sendiri. Pengalaman belajar dapat berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hayat.”

 

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara (Hasbullah, 2006: 4) yang dinamakan pendidikan yaitu “Tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia. Pendidikan menuntut mereka sebagai anggota masyarakat sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”. (Rizal, 2021)

 

Dalam hal ini pendidikan terbagi menjadi beberapa jalur, yakni : Pendidikan formal, 2) Pendidikan Informal, dan 3) Pendidikan non-formal.

 

Pendidikan Formal

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal diselenggarakan di sekolah, Sekolah didirikan secara sengaja oleh masyarakat dan/atau pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendidikan. Sekolah memiliki struktur tertentu yang didukung oleh berbagai unsur atau komponen. Komponen sekolah antara lain terdiri atas: 1) tujuan pendidikan, 2) Manusia, yaitu guru, peserta didik, kepala sekolah, laboran, pustakawan, tenaga administrasi, petugas kebersihan, dst., 3) kurikulum, 4) Media pendidikan dan teknologi pendidikan, 5) Sarana, prasarana, dan fasilitas, serta 6) pengelola sekolah.

 

Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah merupakan kesatuan kegiatan - kegiatan menyelenggarakan pembelajaran yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan cara-cara yang terencana dan teratur menurut tatanan nilai dan norma yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebagai lembaga pendidikan formal sekolah mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a.     Sekolah mempunyai fungsi atau tugas khusus dalam bidang pendidikan. Fungsi/tugas internal sekolah adalah melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan kurikuler. Adapun fungsi/tugas ekstern sekolah adalah kegiatan untuk mencapai tujuan institusional.

b.     Sekolah mempunyai tatanan nilai dan norma yang dinyatakan secara tersurat tentang peranan-peranan dan hubungan-hubungan sosial di dalam sekolah, dan antara sekolah dengan lembaga lainnya.

c.      Sekolah mempunyai program yang terorganisasi dengan ketat. Hal ini seperti tampak dalam jenjang sekolah dan tingkatan kelas, adanya kurikulum formal, jadwal belajar tertulis, dsb.

d.     Kredensials dipandang penting baik dalam, penerimaan siswa baru maupun untuk menunjukkan bukti kelulusan Formalitas sekolah merembes ke dalam Kurikulum dan Pembelajaran. Menurut KBBI kredensial merupakan suatu suatu surat pernyataan atau sertifikat yang orientasinya menyatakan kemampuan seseorang dalam melakukan suatu hal

 

Adapun fungsi pendidikan sekolah sebagai pendidikan formal dapat dikemukakan fungsinya sebagai berikut:

a.     Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat.

b.     Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan sosial).

c.      Fungsi integrasi sosial.

d.     Fungsi Mengembangkan kepribadian individu/anak.

e.     Fungsi mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan.

f.       Fungsi inovasi/men-transformasi masyarakat dan kebudayaan.

 

Pendidikan Informal

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Menurut (Suhayanto, A :2015) Pendidikan Informal adalah pendidikan yang melalui jalur keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Pendidikan ini terjadi seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan, dan pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungannya dari keluarga dan tetangga. Pada pendidikan informal, proses belajarnya tidak terorganisasi dan tidak sistematis, dibandingkan dengan pendidikan formal.  Sementara menurut Axin (Suprijanto, 2009: 8), pendidikan informal adalah pendidikan dimana warga belajar tidak sengaja belajar dan pembelajaran tidak sengaja untuk membantu warga belaja

 

Livingstone (1998) mendefinisikan pendidikan informal adalah setiap aktivitas yang melibatkan pursuit pemahaman, pengetahuan, atau kecakapan yang terjadi diluar kurikulum lembaga yang disediakan oleh program pendidikan, kursus atau lokakarya. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan informal merupakan suatu jalur pendidikan yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti: keluarga, masyarakat, tetangga, dan lain-lain yang berupa suatu usaha belajar yang dilakukan secara mandiri, sadar, dan bertanggung jawab.

 

Pendidikan dalam bentuk apapun dapat ditandai dengan karakteristiknya. Ada 8 karakteristik dalam informal, yakni:

a.     Dalam pendidikan informal tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi.

b.     Siswa tidak perlu mengikuti ujian.

c.      Adanya suatu proses pendidikan dilakukan di lingkungan keluarga atau komunitas.

d.     Tidak ada kurikulum, metodologi, jadwal, hingga penilaian.

e.     Tidak ada tingkat pendidikan, oleh karena itu pendidikan informal dalam keluarga dapat tercermin dalam kualitas keluarga atau kualitas pribadi yang ditampilkan setiap hari.

f.       Tidak adanya suatu manajemen.

g.     Pelatihan dilakukan secara terus menerus, terlepas dari waktu atau ruang – tanpa memandang usia, fisik, mental, dan lain sebagainya.

h.     Orang tua sebagai guru adalah yang terbaik untuk mereka, tetapi belum menunjukkan apakah ini dapat dilakukan terhadap teman, kerabat, atau orang lain.

 

Adapun beberapa fungsi dan peranannya adalah sebagai berikut;

a.     Membantu meningkatkan hasil belajar anak, baik pendidikan formal maupun non formal.

b.     Mengontrol dan memotivasi anak agar lebih giat belajar.

c.      Membantu pertumbuhan fisik dan mental anak, baik dari dalam keluarga maupun lingkungan.

d.     Membentuk kepribadian anak dengan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan perkembangan anak.

e.     Memotivasi anak agar mampu mengembangkan potensi atau bakat yang dimilikinya.

f.       Membantu anak didik agar lebih mandiri dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.

 

Pendidikan Nonformal

Dalam Undang – Undang RI. No 20 tahun 2003 dalam Pasal 1 ayat (12) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Para pakar berpendapat bawa definisi pendidikan non formal memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Philip H. Coombs (Lis Prasetyo, 2009:1) pendidikan non formal adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisasi dengan dilaksanakan diluar sistem formal, baik tersendiri ataupun merupakan bagian dari sesuatu aktivitas yang luas, yang dimaksud buat memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajar.

 

Sedangkan menurut Menurut Soelaman Joesoef (2011:51) pendidikan non formal merupakan setiap peluang dimana ada komunikasi yang terencana di luar sekolah serta seorang mendapatkan informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan tingkatan umur serta kebutuhan hidup, dengan tujuan meningkatkan tingkatan keahlian, perilaku serta nilai- nilai yang membolehkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dalam area keluarga, pekerjaan apalagi lingkungan warga serta negaranya.

 

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan non formal adalah pendidikan kegiatan belajar mengajar yang diadakan di luar sekolah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan siswa tertentu buat menerima informasi, pengetahuan, latihan, dan bimbingan sehingga bisa berguna bagi keluarga, masyarakat, dan Negara.

 

Fungsi pendidikan nonformal berfungsi sebagai berikut:

a.     Mengembangkan potensi pada peserta didik dengan menggunakan penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.

b.     Pendidikan formal dengan pendidikan nonformal memiliki hubungan dengan diselenggarakan untuk warga masyarakat yang memerlukan bantuan pendidikan yang bermanfaat sebagai penambah, pelengkap, pengganti pendidikan formal bagi rakyat untuk bisa mencari pengetahuan dan ilmu sepanjang hayat.  (Rasyidin, dkk. 2017)

 

Jenis-jenis Pendidikan Formal, Informal, dan Nonformal

Jenis-jenis Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diadakan oleh pemerintah atau swasta dalam bentuk sekolah yang dalam pengaplikasiannya memiliki jenjang tertentu.

1.   Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun, yaitu Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama 3 tahun. Pendidikan dasar merupakan Program Wajib Belajar.

2.   Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan dasar, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) selama 3 tahun waktu tempuh pendidikan.

3.   Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diplomasarjanamagisterdokter, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

 

a.       Jenis-jenis Pendidikan Informal

Adapun beberapa contoh jalur pendidikan ini adalah sebagai berikut :

1.   Pendidikan Budi Pekerti

2.   Pendidikan Agama

3.   Pendidikan Etika

4.   Pendidikan Sopan Santun

5.   Pendidikan Moral

 

b.       Jenis-jenis Pendidikan Nonformal

Adapun jenis-jenis pendidikan nonformal sebagai berikut :

1.     Kursus atau Bimbel

Kursus atau Bimbel pada Indonesia dapat mengkategorikan menjadi pendidikan non-formal, ketika penyampaian program pembelajaran biasanya lebih pendek bila dibandingkan dengan pendidikan formal. siswa pada dalam kursus atau Bimbel juga tidak memiliki batasan usia serta materi pendidikan pada umumnya lebih banyak yang bersifat praktis dan spesifik.

 

2.   Homeschooling

Pendidikan dengan metodebelajar di tempat tinggal” dewasa ini dikenal menggunakan sebutan Homeschooling atau HS. Homeschooling melibatkan orang tua atau keluarga menjadi penanggung jawab utama atas pendidikan anak. sampai saat ini Homeschooling masih sebagai cara lain terbaik yang berkembang di antara pendidikan nonformal dan pendidikan informal.

 

3.     Pesantren

Pesantren sebagai satu berasal sekian sistem pendidikan nonformal berbasis kepercayaan yang berdiri di Indonesia. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional di bawah bimbingan guru yang dikenal menggunakan sebutan kyai. di pesantren para siswanya atau para santri tinggal bersama pada sebuah asrama yang. Adapun terlepas daripada itu semuanya. Setidaknya dalam pendidikan pondok pesantren di Indonesia terbagi sebagai 2 yaitu salafiyah (tradisional) dan modern. (Sosiologi, 2021)

 

Pola-pola Kegiatan Sosial Pendidikan

Menurut A. Morrison and D. McIntyre, (1972) pada dasarnya ada dua dimensi tingkah laku yang saling berinteraksi dan menentukan tingkah laku individu di dalam sistem sosialnya, hal ini sesuai dengan pendapat J.W. Getzels dan H.A. Thelen yakni:

1.       Dimensi Nomothetis

Dimensi ini meliputi meliputi variabel pranata (institution), peranan (role), dan harapan-harapan sosial (expectations). Dimensi nomothetis juga saling berhubungan dengan variable-variabel kebudayaan, yaitu ethos, mores, dan nilai-nilai masyarakat.

 

2.       Dimensi Ideografis

Dimensi ideografis meliputi variabel individu (individual), kepribadian, (personality), dan kebutuhan - kebutuhan perorangan (need-dispositions). dimensi ideografis saling berhubungan dengan variable-variabel biologis, yaitu individu sebagai makhluk hidup (organism), keadaan jasmaninya (constitution), dan kemampuan-kemampuannya (potentialities).  

Setelah memahami dimensi tingkah laku, selanjutnya apabila kegiatan sosial pendidikan dianalisis berdasarkan kecenderungan orientasinya terhadap fungsi dimensi-dimensi tingkah laku sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat diidentifikasi adanya tiga pola kegiatan sosial pendidikan, yaitu:

 

a.   Pola Nomothetis

Pola ini lebih mengutamakan fungsi dimensi tingkah laku yang bersifat normatif/nomothetis dari pada fungsi tingkah laku ideografis, dengan demikian pendidikan lebih mengutamakan pada tuntutan-tuntutan institusi, pranata, peranan yang seharusnya, harapan-harapan, cita-cita sosial, dari pada tuntutan-tuntutan yang bersifat kepribadian, perorangan, dan kebutuhan individu. Pendidikan berdasarkan pola nomothetis mempunyai pengertian sebagai sosialisasi kepribadian (socialization of personality), dalam hal ini pendidikan dibutuhkan sebagai urusan mewariskan milik social kepada generasi muda. Akibatnya hal ini menimbulkan aliran sosiologisme dalam pendidikan.

 

Menurut Khafidah dan Maryani, (2020) Pada pola Nomothetis ini sangat relevan sekali dengan adanya penerapan pelaksanaan penilaian kurikulum 2013 yaitu adanya penilaian sikap spiritual yaitu: aspek yang dinilai: 1) berdoa sebelum memulai aktivitas, 2) khusuk dalam berdoa, 3) khusuk dalam beribadah, 4) beribadah tepat waktu, 5) perilaku bersyukur, penilaian ini direkap hasil akumulasi selama 1 semester, dengan penilaian berdasarkan rubric yang telah dibuat oleh pihak sekolah berdasarkan peraturan menteri Nomor 58 tahun 2014. Di samping adanya penilaian sikap sosial antara lain: tanggungjawab, jujur, peduli, kerjasama, santun, percaya diri, dan disiplin. Berkenaan dengan hal ini Jaeger (1977) membedakan pola kegiatan sosialisasi (pendidikan) menjadi dua pola ekstrim, yaitu (1) pola sosialisasi dengan cara represi (repressive socialization), dan (2) pola sosialisasi partisipasi (participatory socialization).

 

b.   Pola Ideografis

Pola Idiografis lebih menekankan pada dimensi tingkah laku yang bersifat tuntutan individual, kepribadian, dan perorangan. Pendidikan sebagai urusan membantu seseorang mengembangkan kepribadiannya seoptimal mungkin. Pendidikan adalah personalisasi peranan (personalization of role).

 

Hal ini menumbuhkan Psikologisme dalam pendidikan atau developmentalisme. Karena itu Pendidikan berdasarkan pola kegiatan sosial ideografis mempunyai pengertian sebagai personalisasi peranan (personalization of roles), yaitu upaya membantu seseorang untuk mengetahui dan mengembangkan tentang apa yang ingin diketahui atau yang ingin dikembangkannya. Hal ini menimbulkan psikologisme atau developmentalisme dalam pendidikan.

  1. Pola Transaksional

Pola transaksional berusaha menjembatani antara pola nomothetis dan pola idiografis, hal ini berarti menjembatani antara tuntutan, harapan, dan peranan sosial dengan tuntutan, kebutuhan, dan individual. Pola transaksional memandang pendidikan sebagai sebuah sistem sosial yang mengandung ciri-ciri bahwa (1) setiap individu mengenali betul tujuan sistem sehingga tujuan tersebut menjadi bagian dari kebutuhan dirinya, (2) setiap individu yakin bahwa harapan-harapan sosial yang dikenakan pada dirinya masuk akal untuk dapat dicapainya, dan (3) setiap individu merasa bahwa dia termasuk dalam sebuah kelompok dengan suasana emosional yang sama. Misalnya memberikan siswa mampu mandiri dan diberikan suatu kebebasan untuk berpikir, membuat ide atau gagasan.

 

Proses pendidikan yang ideal seharusnya mencerminkan kehidupan dan kondisi-kondisi sosial suatu masyarakat; karena program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, institusi sosial, hubungan sosial, yang semuanya akan memberikan arah bagi kemajuan dunia pendidikan. Oleh karena itu, aspek sosial sangat penting dalam pendidikan, terutama bagi pemerhati, sekaligus pelaku pendidikan (stakeholders pendidikan). Alasan lain pentingnya kajian sosial dalam pendidikan, menghubungkan pengetahuan tentang masyarakat dengan pendidikan sebagai institusi. Kajian ini untuk memelihara sinergitas dan pengembangan masyarakat sekaligus diharapkan kajian ini mampu menghubungkan pemahaman yang masih terpecah-pecah menjadi sesuatu yang utuh. Selanjutnya para pendidik dapat memahami isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat, terutama menyangkut perubahan sosial (modernization development) sebagai bentuk kepedulian dan sosial control. Di samping itu masyarakat yang pluralistik, multikultural akan cepat memahami berbagai perubahan, agar tidak kehilangan pegangan, dan arah kehidupan masa depan.              

 

Sikap Guru Terhadap Siswa dan Implikasinya Terhadap Tugas Guru.       

David Hargreaves (Sudarja Adiwikarta, 1988) mengemukakan tiga kemungkinan pola sikap guru terhadap muridnya serta implikasinya terhadap fungsi dan tipe/kategori guru.

1.       Pola Pertama:

Guru berasumsi bahwa para muridnya belum menguasai kebudayaan, sedangkan pendidikan diartikan sebagai enkulturasi (pembudayaan). Implikasinya maka tugas dan fungsi guru adalah menggiring murid-muridnya untuk mempelajari hal-hal yang dipilihkan oleh guru dengan peretimbangan itulah yang terbaik bagi mereka. Tipe guru dalam kategori ini dinamakan Hargreaves sebagai penjinak atau penggembala singa (“Lion tamer”).

 

2.     Pola Kedua:

Guru berasumsi bahwa para muridnya mempunyai dorongan untuk belajar yang harus menghadapi materi pengajaran yang baru baginya, cukup berat, dan kurang menarik. Implikasinya maka tugas guru adalah membuat pengajaran menjadi menyenangkan, menarik dan mudah bagi para muridnya. Tipe guru demikian dikategorikan sebagai penghibur atau Entertainer”.   

 

3.       Pola Ketiga:

Guru berasumsi bahwa para muridnya mempunyai dorongan untuk belajar, ditambah dengan harapan bahwa murid harus mampu menggali sendiri sumber belajar, dan harus mampu mengimbangi dan berperan dalam kehidupan masyarakat yang terus menerus berubah, bahkan dengan kecepatan yang semakin meningkat. Implikasinya guru harus memberikan kebebasan yang cukup luas kepada murid.

 

Baik secara individual maupun kelompok kecil, guru, dan murid bersama-sama menyusun program kurikuler. Hubungan guru-murid didasari kepercayaan dan arah belajar-mengajar adalah pengembangan kemampuan dan kemauan belajar di kalangan murid. Tipe guru tersebut dikategorikan oleh Hargreaves sebagai “Guru Romantik”(Romantic)