Kewibawaan Pendidikan
Kewibawaan Pendidikan
Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar
serta terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta kecerdasan yang diharapkan dirinya
serta warga. Memahami pendidikan yang semakin hari semakin
kompleks baik aspek pendidik, peserta didik,
materi, media, metode dan lingkungan pendidikan diperlukan
pula pemahaman yang semakin komprehensif dari aspek di atas.
Namun, tidak semua aspek di atas
dapat dijelaskan dalam tulisan singkat ini tetapi dapat
dijelaskan kewibawaan sebagai aspek media memiliki keterkaitan dengan
karakter peserta didik yang dibutuhkan karena kewibawaan itu
mengandung keteladanan, kasih sayang, kelembutan, tindakan tegas yang
mendidik, disiplin, dan demokrasi
yang terjelma dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik
agar peserta didik memiliki kekuatan karakter.
Sebagaimana digambarkan oleh
berbagai pakar antara lain dapat dipercaya, rasa hormat
dan perhatian, tanggung jawab, jujur, peduli, kewarganegaraan, ketulusan,
berani, dan tekun. Sehingga peserta didik memiliki kesadaran pemahaman
yang tinggi, kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebaikan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku baik, jujur, bertanggung
jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia
lainnya.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
Kewibawaan?
2. Apa saja faktor penentu
kewibawaan pendidik?
3. Apa saja faktor penentu
kepenurutan anak didik kepada pendidik?
4. Apa yang dimaksud dari
bipolaritet kewibawaan?
5. Apakah kewibawaan sebagai
syarat mutlak pendidikan?
6. Apa saja implikasi kewibawaan
terhadap batas - batas pendidikan?
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tentang
kewibawaan
2. Untuk mengetahui faktor penentu
kewibawaan pendidikan
3. Untuk mengetahui faktor penentu
kepenurutan anak didik kepada pendidik
4. Untuk mengetahui tentang
bipolaritet kewibawaan
5. Untuk mengetahui kewibawaan
sebagai syarat mutlak pendidikan
6. Untuk mengetahui implikasi
kewibawaan terhadap batas – batas pendidikan.
PEMBAHASAN
Pengertian Kewibawaan
Kewibawaan biasa disebut pula
dengan gezag. Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti
“berkata”. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap
orang lain, berarti memiliki kewibawaan ataupun gezag terhadap orang
lain. Guru menerima jabatannya sebagai pendidik bukan dari kodrat,
melainkan dari pemerintah yang ditunjuk,
diresmikan, serta diberi kekuasaan selaku pendidik oleh negara
atau warga. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kewibawaan
menurut bahasa adalah kemampuan, kelebihan dan keutamaan yang
mempunyai kekuatan untuk mengikat orang lain.
Kewibawaan berasal dari kata
wibawa yang berarti kekuasaan memberi perintah (yang wajib ditaati). Sedangkan yang diartikan dengan
kewibawaan merupakan sesuatu pancaran batin yang bisa memunculkan pada pihak
lain perilaku untuk mengakui, menerima, serta
menuruti dengan penuh penafsiran atas kekuasaan
tersebut. Kartini Kartono mendefinisikan kewibawaan berasal dari kata“
kawi” yang berarti kuasa, kekuasaan yang lebih kuat, kelebihan
dan“ bawa” yang berarti kekuasaan suprahuman,
keutamaan, kelebihan serta keunggulan.
Zahara idris dan lisma jamal
(1992:48) berpendapat bahwa kewibawaan adalah pancaran kelebihan yang diakui oleh peserta didik dan
mendorongnya untuk mengidentifikasikan
kepada pendidiknya, kewibawaan didasari oleh kerelaan, kasih
sayang, kesediaan mencurahkan kepercayaannya, semua ini tampak pada
orang yang memiliki kewibawaan dan kewibawaan menimbulkan rasa
segan. Dari beberapa pengertian diatas, bisa
diambil kesimpulan bahwa kewibawaan adalah kemampuan,
kelebihan, keunggulan, sifat keutamaan serta kesalihan sehingga bisa
mengatur, membawa, mendidik, memimpin dan memerintah peserta didik
dalam pembelajaran.
Faktor Penentu Kewibawaan Pendidik
Kewibawaan tidak semata-mata
ditentukan oleh hal-hal yang bersifat lahiriah (badaniah),
sebab itu kewibawaan pendidik tidak akan muncul karena diturunkan
secara genetika dari orang tuanya ataupun dapat turun maupun
hilang dengan sendirinya.
Menurut M.J. Langeveld ( 1980:40-65) dalam hubungannya dengan anak didik, kewibawaan pendidik akan ditentukan oleh berbagai faktor,
yaitu:
1. Kasih Sayang Terhadap Anak
Didik
Dalam pergaulan pendidikan, motif
intrinsik yang perlu ada pada diri pendidik adalah rasa kasih sayang terhadap anak didik. Atas dasar
kasih sayang ini pendidik akan rela berkorban demi kepentingan anak
didiknya, bahkan meskipun tanpa mendapatkan imbalan sekalipun. Oleh karena
itu, dikatakan kasih sayang adalah dasar pendidikan. Namun, apabila
motif pendidik tersebut karena imbalan misalnya jika imbalan dikurangi
akibatnya pendidik cenderung kurang membimbing anak didiknya
karena merasa imbalan tidak sepadan.
2. Kepercayaan Bahwa Anak Akan
Mampu Dewasa.
Pendidik harus percaya bahwa anak
didiknya mampu berdiri sendiri. Kepercayaan pendidik terhadap anak didik semacam itu akan memberi
dorongan, keberanian, keyakinan, dan keinginan pada diri anak
didik untuk berusaha agar menjadi dewasa.
Kepercayaan anak didik kepada pendidik adalah
sesuatu yang sungguh berharga dan tidak boleh disia – siakan oleh
pendidik. Kepercayaan anak didik kepada pendidik merupakan dasar
kepenurutan anak kepada pendidik. Apabila anak didik telah percaya
kepada pendidiknya, maka anak didik akan menurut (patuh) kepada
pendidiknya. Kepercayaan anak didik kepada pendidik mungkin akan
hilang seandainya pendidik belum dewasa. Maksudnya bahwa
pendidikan
itu tidak mempunyai kelebihan dalam berbagai hal, terutama apabila
nilainilai dan norma norma belum terintegrasi pada diri pendidik.
3. Kedewasaan.
Pendidik seharusnya adalah orang
dewasa, artinya orang yang mampu menentukan diri atas tanggung jawab sendiri, dan mampu menempatkan
dirinya dalam kehidupan masyarakat. Dalam pergaulan pendidikan,
terintegrasinya pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, norma
pada diri pendidik sangatlah ideal sebab, hal ini merupakan metode mendidik
dalam mempengaruhi anak didik yang akan turut menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan pendidikan.
4. Identifikasi Terhadap Anak
Didik.
Dengan mengidentifikasi anak
didik, pendidik dapat mengenali berbagai karakteristik seperti : tingkat kemampuan berfikir anak
didik, minat dan bakat anak didik, dll. Pendidik akan mengetahui
kepentingan anak didik dan memahami pentingnya
menjaga anak didik.
5. Tanggung Jawab Pendidikan.
Pendidik harus sudah memiliki
kelebihan baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, norma karena anak didik merupakan
orang yang belum mandiri dan belum mampu bertanggung jawab, sehingga masih
bergantung pada orang dewasa. Terdapat hubungan erat antara
kewibawaan dan tanggung jawab sebagai salah satu ciri orang yang sudah
dewasa, disatu pihak pendidik haruslah orang
dewasa, dan tanggung jawab pendidikan pun, ada
pada orang dewasa, di pihak lain diarahkan agar anak mencapai kedewasaan
sehubungan dengan ini maka lambat laun pendidik harus mengalihkan
tanggung jawab kepada anak didik. Sebab apabila diabaikan maka
anak didik, akan tetap tinggal sebagai orang yang tidak dewasa. Garis
besarnya Penggunaan kewibawaan oleh guru atau pendidik harus berdasarkan
pada faktor-faktor yaitu dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaknya
didasarkan atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi, pendidik
hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak atas
inisiatif sendiri, Pendidik
hendaknya menjalankan kewibawaannya itu atas dasar cinta kepada peserta
didik.
2.3 Faktor penentu Kepenurutan
Anak Didik kepada pendidik dalam
Hubungan Kewibawaan
M.J Langeveld (1980) menjelaskan,
bahwa kepenurutan anak didik kepada pendidik akan ditentukan oleh faktor sebagai berikut :
1. Kemampuan Anak Didik dalam
Menyadari “diri /aku”- nya dan Memahami Bahasa.
Anak baru akan mengenal kewibawaan
bila dia sudah mampu
menyadari ”diri/aku”–nya dan sudah memahami bahasa. Secara
psikologis diketahui bahwa penyadaran ”diri/aku” pada anak umumnya dimulai
kurang lebih
di usia 3.5 tahun. Sebelum masa ini anak belum menyadari ”diri/aku”– nya, sebelum masa ini anak belum bisa memisahkan atau belum bisa
membedakan antara aku dengan kamu. dengan alasan itulah dinyatakan
bahwa korelasi kewibawaan baru akan terjadi saat murid sudah
menyadari ”diri/aku ”–nya.
Melalui bahasa pendidik memberikan
saran, suruhan, larangan, petunjuk – petunjuk atau pesan – pesan perihal apa yang seharusnya
dan apa yang tidak seharusnya diperbuat murid, dsb. Penguasaan bahasa akan
menjembatani ”bertemunya” pendidik dengan siswa secara langsung.
Berdasarkan M.J Langeveld (1980:45) : “pemahaman bahasa untuk tiba
pada kepenurutan atas dasar pengakuan kewibawaan telah mulai
timbul (dalam bentuk yang sederhana) pada anak usia tiga setengah (3,5)
tahun di usia lima (5) tahun dan di usia sekolah pengakuan kewibawaan itu
akan kelihatan lebih jelas lagi. Sedangkan di usia pubertas, sebab
”aku” si anak memiliki peranan besar, maka
seringkali terjadi krisis kewibawaan”
2. Kepercayaan Anak
Didik kepada Pendidik.
Dalam pergaulan pendidikan, jika
ke-5 faktor penentu kewibawaan tadi telah terwujud dalam pribadi pendidik dan dipahami atau dirasakan
adanya oleh anak didik, maka akan menimbulkan kepercayaan pada diri siswa
kepada pendidiknya. Kepercayaan
anak didik kepada pendidik adalah sesuatu yang benarbenar berharga dan tidak
boleh disia – siakan oleh pendidik. Kepercayaan anak
didik kepada pendidik adalah dasar kepenurutan anak kepada pendidik.
jika murid telah percaya pada pendidiknya, maka siswa akan menurut
(patuh) pada pendidiknya.
Kepercayaan siswa kepada pendidik
mungkin akan hilang seandainya pendidik belum dewasa. Maksudnya bahwa pendidik itu tidak
mempunyai kelebihan dalam berbagai hal, terutama apabila nilai – nilai dan
norma – norma belum terintegrasi pada diri pendidik. Hal ini, akan
menyebabkan ketidakpercayaan murid kepada
gurunya. Lebih jauh dari itu, guru yang bersangkutan
akan tidak lagi berwibawa di hadapan anak didiknya.
3. Imitasi dan Simpati Anak Didik
kepada Pendidik.
Imitasi adalah suatu proses meniru
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Orang yang melakukan imitasi tidak kritis terhadap apa
yang ditirunya, bahkan dia tidak memahami apa sesungguhnya yang ditiru.
contoh : seorang anak meniru gerakan dan bacaan sholat yang
dilakukan orang tuanya, padahal anak belum tahu makna dari bacaan shalat itu
apa sesungguhnya. sebab itu, pendidik (guru) hendaknya benar – betul
memperhatikan dan bisa mewujudkan faktor – faktor penentu
kewibawaannya, karena apa yang ditampilkan pendidik atau pengajar
(mulai dari pakaiannya, pernyataannya, penguasaannya mengenai
bahan ajar, perbuatan, kebiasaan – kebiasaannya, dsb) kemungkinan akan
ditiru oleh anak didiknya.
Simpati adalah suatu keadaan
keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Setiap siswa pada dasarnya mempunyai potensi untuk
bersimpati pada pendidiknya. Jika pengajar
menyampaikan pelajaran, wejangan, ajakan, atau
tugas kepada anak didiknya atas dasar kasih sayang serta demi kebaikan
dan kebahagiaan anak didiknya di masa depan, maka anak didik pun
akan bisa merasakannya bahwa semua itu adalah demi kebaikan serta
keselamatan dirinya. implikasi dari semua itu, maka anak didik
akan dengan lapang dada menerima pelajaran,
wejangan, ajakan, bahkan tugas sekalipun dari gurunya.
4. Identifikasi.
Dalam konteks bahasan ini,
mengidentifikasi artinya mengenali, jadi anak didik akan berupaya mengenali pendidiknya. Beridentifikasi
berarti suatu upaya yang dilakukan anak didik untuk menghubungkan diri
atau
menyesuaikan diri atau ”menyamarkan” diri dengan perilaku
pendidiknya, atau dengan nilai – nilai yang
diterima. Dalam beridentifikasi terdapat kemungkinan
munculnya kepenurutan anak didik kepada pendidik bukan lagi
dikarenakan ”keterikatannya kepada pribadi pendidik”, melainkan karena
”keterikatannya kepada nilai” itu sendiri atas pilihannya sendiri.
5. Kebebasan.
Pada akhirnya kepenurutan anak itu
bukan lagi atas dasar pengaruh keterikatan pribadi anak didik kepada pendidiknya, melainkan atas
dasar ”keterikatan
kepada nilai – nilai dan norma - norma” yang hakiki yang
terlepas dari hubungan dengan pendidiknya. Hasil berdasarkan
kepenurutan yang bersifat aktif inilah yang
disebut sebagai hasil upaya pendidikan yang sesungguhnya,
sebab dengan demikian itulah anak mencapai
kedewasaannya.
Pendidik yang berwibawa bukanlah
pendidik yang ditakuti anak didiknya. Memang benar pendidik yang ditakuti akan dituruti
(dipatuhi) oleh anak didiknya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa kepenurutannya
itu akan bersifat pasif, sehingga hanya akan menimbulkan hasil pendidikan
yang bersifat semu belaka. Pendidik yang berwibawa adalah pendidik yang
interaksi komunikasi dalam pergaulan dengan anak didiknya
merupakan interaksi komunikasi antara subjek dengan subjek, yang mana
pengaruh pendidik tersebut dapat diterima anak didik secara tulus atas dasar
kemauan, pilihan dan kesadarannya sendiri atau atas dasar kebebasannya.
2.4 Pengertian Bipolaritet
Sebelum berlanjut untuk memahami
bipolaritet kewibawaan, kita harus mengetahui pengalihan tanggung jawab dalam pendidikan. Dalam
situasi pendidikan yang berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dengan
anak didik, pada awalnya tanggung jawab berada
pada pendidik. Namun seiring dengan
perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya, lambat laun tanggung
jawab itu harus dialihkan oleh pendidik kepada anak didik. Apabila
pendidik tidak mengalihkan tanggung jawab kepada
anak didiknya, dan apabila anak didik tidak berupaya
menerima atau merebut tanggung jawab yang harus diembannya, maka anak
didik tidak akan mencapai kedewasaan, karena tanggung jawab merupakan
ciri kedewasaan.
Kewibawaan bersifat bipolaritet
atau berada pada ketegangan polair (M.J. Lange-veld, 1980:61. Namun hal demikian dapat diselesaikan melalui
pergaulan pendidik dengan anak didik yang berlangsung dalam hubungan
kewibawaan. Maksudnya, di satu pihak pendidik
menuntut kepenurutan dari anak didik, di pihak lain
pendidik mengakui bahwa anak didik harus mampu berdiri sendiri. Namun
demikianlah ini adalah wajar adanya, dan dapat diselesaikan dengan
syarat bahwa pendidikan
itu dilaksanakan melalui pergaulan antara pendidik dengan anak didik yang berlangsung dalam hubungan kewibawaan atau Kewibawaan bisa
disebut menunjukan dua kutub. Kutub pendidik dan kutub anak didik.
Kutub-kutub ini merupakan ketegangan. Ketegangan
ini menunjukan sesuatu yang sehat. Ketegangan
ini hanya dapat diselesaikan atas dasar saling percaya mempercayai.
Percaya mempercayai membutuhkan suatu keberanian. Keberanian untuk
saling percaya mempercayai didasarkan atas kasih sayang.
2.5 Syarat Mutlak Pendidikan
sebagai Kewibawaan
Kewibawaan adalah syarat mutlak
dalam dunia pendidikan, artinya Jika tidak terdapat kewibawaan maka pendidikan itu tidak mungkin terjadi.
Karena dengan adanya kewibawaan segala bentuk
bimbingan yang diberikan oleh pendidik akan diikuti
secara sukarela oleh murid.
Dalam hal ini Uyoh Sadulloh dalam
bukunya menyebutkan kewibawaan adalah suatu dampak yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan
sesuatu yang memaksa. Selanjutnya kewibawaan
menurut Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan yang dikutip
oleh Ngainun Naim dalam bukunya yaitu kewibawaan harus dimiliki oleh
guru, sebab dengan kewibawaan proses belajar-mengajar akan terealisasi
menggunakan baik, berdisiplin, dan tertib. Dari
berbagai macam pengertian yang dikemukakan para ahli di sini bisa
disimpulkan bahwa kewibawaan yang dimaksud merupakan kewibawaan
seorang guru yang mempunyai kelebihan totalitas kekuatan sehingga seluruh
perintah serta anjurannya wajib ditaati oleh
peserta didik dengan penuh kesadaran dan sukarela tanpa
adanya paksaan. guru yang berwibawa di hadapan siswanya berarti pengajar
yang memiliki kekuatan menghipnotis anak-anaknya baik dalam ucapan
maupun
tindakan.
2.6 Implikasi Kewibawaan terhadap Batas
- Batas Pendidikan
Ada dua alasan berkenaan dengan
keharusan adanya kewibawaan dalam pergaulan pendidikan:
1. Bila kewibawaan tidak ada, maka
pergaulan pendidik dengan anak didik (suatu perintah, ajakan, petunjuk dan tindakan-tindakan lainya
dari pendidik) hanya
atas dasar “pengaruh ketertarikan anak kepada pendidiknya” oleh karena itu, anak didik tidak akan pernah menjadi dewasa ia akan
tetap tidak
terdidik.
2. Bila kewibawaan tidak ada, maka
kepenurutan anak akan terjadi berikan pemahaman anak atas pengalamannya sendiri. Jika demikian halnya
berarti anak sudah mampu berdiri sendiri (sudah dewasa), dan hal ini
bertentangan dengan keadaan anak yang
sebenarnya.
Berdasarkan alasan itu M.J.
Langeveld (1980:60-61) mengemukakan bahwa “adanya kewibawaan itu menciptakan kemungkinan orang dewasa
memberikan bantuan kepada orang yang masih belum dewasa”, karena itu
“kewibawaan adalah syarat mutlak
untuk pendidikan”. Mengingat dalam pergaulan antara anak dengan anak
tidak ada mengemban kewibawaan, maka dalam pergaulan tersebut tidak
mungkin terjadi situasi pendidikan.
Apabila kita hubungkan dengan
uraian sebelumnya, maka batas bawah pendidikan atau dimulainya pendidikan itu adalah pada saat ketika
anak telah mulai memiliki penyadaran dirinya,
sedangkan batas atas pendidikan ketika tujuan pendidikan
tersebut tercapai yaitu saat anak mencapai kedewasaan. Pendidikan
tidak akan berlangsung dalam pergaulan anak dengan anak karena
dalam pergaulan mereka tidak akan terdapat
hubungan berdasarkan kewibawaan serta tidak jelas pula
siapa yang bertanggung jawab. Begitu pula pergaulan antara orang dewasa
dengan orang dewasa tidak akan berlangsung pendidikan karena kedua
belah pihak telah memiliki tanggung jawab atas
dirinya sendiri. Memang benar dalam pergaulan orang
dewasa dengan orang dewasa terdapat pengaruh positif bagi perkembangan
kedua belah pihak. Namun, hal itu bukanlah pendidikan melainkan
bildung (M.J. Langeveld 1980:60-61).
Kesimpulan
Kewibawaan adalah kemampuan,
kelebihan, keunggulan, sifat keutamaan serta kesalihan sehingga bisa mengatur, membawa, mendidik,
memimpin dan memerintah peserta didik dalam
pembelajaran dan didasari oleh kerelaan, kasih sayang,
kesediaan mencurahkan kepercayaannya, semua ini tampak pada orang
yang memiliki kewibawaan dan kewibawaan menimbulkan rasa segan. Kasih
sayang, kesediaan mencurahkan kepercayaannya, semua ini tampak
pada orang yang memiliki kewibawaan dan kewibawaan menimbulkan rasa segan.
Terdapat 5 (lima) faktor penentu
kewibawaan pendidik yang harus dipenuhi yakni, kasih sayang terhadap anak didik, kepercayaan bahwa anak
akan mampu dewasa, kedewasaan, identifikasi terhadap anak didik dan tanggung
jawab pendidikan. Selain itu, kewibawaan tentunya memiliki 5 faktor
penentu kepenurutan anak didik kepada pendidik yang saling berhubungan
dengan faktor penentu kewibawaan pendidik karena
tanpa kepenurutan anak didik, kewibawaan pendidik
tidak akan terlaksana dalam pendidikan. 5 (lima) faktor tersebut yakni,
kemampuan anak didik dalam menyadari “diri /aku”-nya dan memahami
bahasa, kepercayaan pendidik kepada anak didik, imitasi dan simpati dan
identifikasi anak didik kepada pendidik,
identifikasi dan kebebasan.
Saran
Tentunya penulis sudah menyadari
jika dalam penyusunan makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan
makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik
yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Devianiovie. (2011, Maret 6). KEWIBAWAAN DAN TANGGUNG JAWAB PENDIDIK. Diambil kembali dari
devianiovie.blogspot.com:
http://devianiovie.blogspot.com/2011/03/kewibawaan-dan-tanggungjawab-pendidik.html?m=1
Irfan Malik Abdurrahman (2018) Faktor Kepenurutan,Pengalihan Tanggung Jawab, Bipolaritet, Implikasi Pendidikan (2012) PEDAGOGIK (2018) ILMU PENDIDIKAN
Nama, T. (2012, Juni 8). Pedagogik. Diambil kembali dari http://ponpesdaruttaklim.blogspot.com/:
http://ponpesdaruttaklim.blogspot.com/2012/06/pedagogik.html?m=1
Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 44.
Uyoh Sadulloh, Pedagogik (Ilmu Mendidik) (Bandung: Alfabeta, 2010), 165. 24Zahara idris dan lisma jamal, pengantar pendidikan islam, (jakarta, gramedia widia sarana : 1992) hal : 48