Resume Pernikahan dan Harta Peninggalan
Pernikahan dan
Harta Peninggalan
Pernikahan
Nikah menurut bahasa
artinya akad dan mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah adalah akad yang
memunculkan atau menyebabkan kebolehan hubungan khusus (hubungan seksual) anatara laki-laki dan perempuan. Sedangkan nikah menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah ikatan kair batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suamiistri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Ayar 1). Nikah
pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan
menikmati faraj dan seluruh tubuh Wanita itu dan membentuk rumah tangga (Abu al-‘Ainain Badran, dalam
Atabik dan Mudhiiah, 2014).
Tujuan nikah adalah
membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Pernikahan mengandung hikmah yang
besar bagi orang yang melaksanakannya, yaitu antara lain:
1) Menguatkan Ibadah
2) Menjaga Kehormatan Diri
3) Mendapatkan keturunan
4) Menyalurkan fitrah
5) Membentuk peradaban
Kesiapan untuk memasuki pernikahan:
1) Kesiapan Fisik
2) Kesiapan Mental
3) Kesiapan Ekonomis
4) Kesiapan Sosial
5) Kesiapan Agama
Suatu hadist menunjukan bahwa memilih calon pendamping hidup harus mempertimbangkan empat hal, yakni
kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan agamanya.
Rukun pernikahan
1)
Calon suami-istri
2)
Wali
3)
Saksi
4)
Ijab-Qabul
Bagi orang yang
melaksanakan pernikahan disunatkan untuk mengumumkan kepada khalayak dengan
mengadakan perhelatan
walimatul ‘ursy. Adapun hak istri kewajiban suami adalah a) harus tidur bareng dalam satu ruangan khususnya satu
ranjang, b) memberi nafkah, c) harus mengajarkan istri tentang ta’at kepada suami. Sedangkan hak suami kewajiban istri adalah a) taat
kepada suami, b) menemani suami, c) memasrahkan diri kepada suami, d) diam di rumah (jika diperbolehkan keluar oleh suami, maka boleh
keluar), e) jangan membiarkan orang lain untuk masuk ke kamar tanpa seizin suami, f) jangan
terlihat aurat oleh laki-laki yang lain, g) jangan meminta sesuatu kepada suami di
luar kemampuan suami, h) mengetahui halal dan haramnya nafkah yang diberikan suami, i) jangan
berbohong bahwa dirinya sedang haid, akan tetapi itu bohong karena hanya
akal-akalan istri agar tidak bersetubuh dengan suami.
Harta Peninggalan
Hukum waris merupakan
aturan yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka yang ditinggalkan mati oleh
pemiliknya dan menjadi hak ahli warisnya. Harta yang diperoleh setelah ditinggalkan
karena telah meninggal dunia, maka akan diwarisikan kepada ahli waris yang
berhak yang didasarkan kepada ketentuan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Prinsip Kewarisan dalam
Islam:
1) Prinsip Ijbari
2) Prinsip Individual
3) Prinsip Bilateral
4) Prinsip Kewarisan Hanya Karena Kematian
Ketetapan Allah dalam Pembagian Warisan:
1)
Bagian
Suami
Suami yang ditinggal mati istrinya
memperoleh bagian dari harta peninggalan istrinya itu sebagai berikut:
(1) Setengah dari harta peninggalan,
jika istrinya itu tidak meninggalkan anak dari dirinya atau suami-suami
sebelumnya.
(2) ¼ dari harta peninggalan, jika
istrinya itu meninggalkan anak dari dirinya maupun dari suami-suami sebelumnya.
2)
Bagian
Istri
Istri yang ditinggal mati suaminya
memperoleh bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai berikut:
(1) ¼ dari harta peninggalan, jika suaminya itu
tidak meninggalkan anak, baik dari dirinya, istri-istrinya yang lain, atau mantan-mantan
istrinya.
(2) 1/8 dari harta peninggalan, jika
suamminya itu meninggalkan anak, baik dari dirinya, istri-istrinya yang lain, atau mantan-mantan
istrinya.
Waris mewarisi karena kekerabatan
antara lain:
1) Anak Perempuan
Anak perempuan, baik yang
meninggal itu ibunya atau ayahnya, maka bagian dari harta pusaka adalah:
(1) ½ jika ia hanya seorang diri;
tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam (Qs. An-Nisa/4: 11) yang artinya: “…jika ia (annak perempuan) hanya seorang diri bagiannya separah…”
(2) 2/3 jika anak perempuan tersebut
terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan anak laki-laki. Pembagian ini sejalan dengan firman Allah dalam (Qs. An-Nisa/4:
11) yang artinya: “maka jika mereka itu perempuan-perempuan lebih dari dua
orang, bagi ,mereka dua pertiga dari harta
peninggalannya.”
2) Anak Laki-Laki
Rincian harta waris bagi anak
laki-laki sebagai berikut:
(1) Jika si mati hanya meninggalkan
seorang atau beberapa orang anak laki-laki, maka anak laki-laki mewarisi seluruh harta.
(2) Jika si mati meninggalkan seorang
atau beberapa orang anak laki-laki dan meninggalkan ahli waris ashabul furudl, anak laki-laki mendapatkan sisa (‘ashabah)
setelah diambil oleh ashabul furudlnya.
(3) Jika si mati meninggalkan anak
laki-laki, anak perempuan, dan ashabul furudl, maka seluruh harta setelah diambil oleh ashabul furudl dibagi dua, dengan ketentuan anak
laki-laki dua kali bagian anak permepuan.
Semua ahli waris dapat dihijab
hirman oleh anak laki-laki, kecuali: ibu, bapak, suami, istri, anak perempuan, kakek, dan nenek yang
hanya dapat dihijan nuqshan.
3) Ibu
Bagian ibu ada 3 macam yaitu:
(1) 1/6, dengan ketentuan bila ia
mewarisi bersama-sama dengan far’ul waris bagi si mati, baik seorang atau lebih, laki-laki maupum perempuan. Ia bersama dengan
saudara-saudara si mati baik sekandung, seibu maupun seayah, atau campuran seibu dan seayah, baik laki-laki maupun perempuan.
Aturan ini berdasarkan firman Allah dalam (Qs. An-Nisa/4: 11) yang artinya: “Dan untuk ibu
bapak, masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal mempunyai anak.” Dan dalam kelanjutan ayat tersebut: “…jika yang meninggal itu mempunyai
saudara saudara, maka ibunya memperoleh 1/6.”
(2) 1/3 dengan ketentuan tidak
bersama-sama dengan far’ul waris bagi si mati atau dua orang atau lebih
saudari-saudari simati. Ia sendiri yang mewarisi dengan ayah si mati tanpa
salah seorang suami istri si mati. Apabila ia bersama far,u ghairu warits bagi simati atau Bersama dengan seorang saudari-saudari bagi si mati. Ia
tidak terhijab dari 1/3 menjadi 1/6 fardl. Bila ia mewarisi bersama dengan ayah salah seorang suami istri, ia mendapat
1/3 sisa harta peninggalan. Pembagian ini didasarkan atas firman Allah dalam (Qs. An-Nisa/4: 11) yang artinya: “…jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat 1/3…”
(3) Ahli waris tidak ada yang dapat
menghijab hirman terhadap ibu, tetapi ada dua ahli waris yang dapat menghijab nuqshan padanya, yaitu: nenek, nenek mendapat bagian 1/6
dengan ketentuan bila ia tidak bersama ibu, baik sendiri atau bebrapa orang. Ahli waris yang
dapat menghijab nenek adalah: ibu, ayah, kakek shahih, dan nenek yang dekat.
4) Ayah
Ayah mempusakai harta peninggalan anaknya dengan tiga macam bagian, yaitu:
(1) 1/6 dengan ketentuan bila anak
yang diwarisi mempunyai far’ul waris mudzakkar (anak turun si mati yang berhak mewarisi yang
laki-laki), yaitu anak laki-laki dan cucu pancar laki-laki sampai ke bawah.
(2) 1/6 dan ‘ushubah, dengan ketentuan
bila anak yang diwarisi mempunyai far’u waris muannats (anak turun si mati yang
perempuan), yakni anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki sampai ke bawah. Ketentuan ini didasarkan kepada
firman Allah dalam (Qs. AnNisa/4: 11) yang artinya: “…dan untuk ibu bapak, masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal mempunyai anak…”
(3) Ushubah, bila anak yang diwarisi
harta peninggalannya tidak mempunyai far’u waris sama sekali, baik laki-laki maupun
perempuan, sesuai dengan firman Allah dalam(Qs. An-Nisa/4: 11) yang artinya: “…tetapi jika orang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka
untuk ibunya 1/3 peninggalan…”
5) Kakek
Kakek dapat menduduki
status ayah bila tidak ada ayah dan saudarasaudara atau saudari-saudari sekandung
atau seayah, karena itu ia mendapat bagian pusaka seperti bagian ayah, yaitu:
(1) 1/6 jika si mati mempunyai anak
turun yang berhak waris yang laki-laki (far,u waris mudzakkar)
(2) 1/6 dan sisa dengan jalan ushubah
bila si mati mempunyai anak turun perempuan yang berhak waris (far’u waris muannats)
(3) ‘ushubah jika si mati tidak
mempunyai far’u waris secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan. Ia
juga mempunyai anak turun yang tidak berhak menerima pusaka (far’u ghairu warits), seperti cucu
perempuan pancar perempuan.