Contoh Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Sekolah Penggerak Tahun Ajaran 2022-2023
Contoh Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Sekolah Penggerak Untuk Sekolah Dasar Tahun Ajaran 2022-2023
Kurikulum
Merdeka
Kurikulum
Merdeka sebagai opsi satuan Pendidikan dalam rangka pemulihan pembalajaran
tahun. 2022 s.d. 2024
Kurikulum Merdeka sebagai opsi pemulihan
pembelajaran
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) mengeluarkan
kebijakan dalam pengembangan Kurikulum Merdeka yang diberikan kepada satuan
pendidikan sebagai opsi tambahan dalam rangka melakukan pemulihan pembelajaran
selama 2022-2024. Kebijakan Kemendikburistek terkait kurikulum nasional akan
dikaji ulang pada 2024 berdasarkan evaluasi selama masa pemulihan pembelajaran.
Merujuk
pada kondisi dimana pandemii Corona19 yang meyebabkan banyaknya kendala dalam
proses pembelajaran di satuan Pendidikan yang memberikan dapak yang cukup
signifikan. Kurikulum 2013 yang di digunakan pada masa sebelum pandemic menjadi
satu satuanya kurikulum yang digunakan satuan Pendidikan dalam pembelajaran.
Masa pandemic 2020 s.d. 2021 Kemendikburistek mengeluarkan kebijakan penggunaan
Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat (Kur-2013 yang disederhanakan) menjadui
rujukan kurikulum bagi satuan Pendidikan. Masa pandemic 2021 s.d. 2022
Kemendikburistek mengeluarkan kebijakan penggunaan Kurikulum 2013, Kurikulum
Darurat, dan Kurikulum Merdeka di Sekolah Penggerak (SP) dan SMK Pusat
Keunggulan (PK).
Pada
masa sebelum dan pandemic, Kemendikburistek mengeluarkan kebijakan penggunaan
kurikulum 2013 kemudian kurikulum 2013 di sederhanakan menjadi kurikulum
darurat yang memberikan kemudahan bagi satuan Pendidikan dalam mengelola
pembelajaran jadi lebih mudah dengan substansi materi yang esensial. Kurikulum
Merdeka di SP/SMK-PK menjadi angin segar dalam upaya perbaikan dan pemulihaan
pembelajaran yang diluncurkan pertama kali tahun 2021.
Pemulihan
pembelajaran tahun 2022 s.d. 2024, Kemendikburistek mengeluarkan kebijakan
bahwa sekolah yang belum siap untuk menggunakan kurikulum merdeka masih dapat
menggunakan Kurikulum 2013 sebagai dasar pengelolaan pembelajaran, begitu juga
Kurikulum Darurat yang merupakan modifikasi dari kurikulum 2013 masih dapat
digunakan oleh satuan Pendidikan tersebut. Kurikulum Merdeka sebagai opsi bagi
semua satuan Pendidikan yang didalam proses pendataan merupakan satuan
Pendidikan yang siap melaksanakan kurikulum merdeka.
Tahun
2024 menjadi penentuan kebijakan kurikulum nasional berdasarkan evaluasi
terhadap kurikulum pada masa pemulihan pembelajaran. Evaluasi ini menjadi acuan
Kemendikburistek dalam mengambil kebijakan lanjutan paska pemulihan
pembelajaran.
Mari
instal Platform Merdeka Mengajar pada gawai Android melalui tautan
bit.ly/platformmerdekamengajar.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
Merdeka
Belajar/kemerdekaan belajar-kampus merdeka adalahupaya memberi kebebasan dan
otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen
dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan
untuk memilih bidang yang mereka sukai.
Apa
itu Kurikulum Merdeka? Esensi dari Kurikulum Merdeka ini adalah Merdeka
Belajar. Nadiem mengatakan Merdeka Belajar merupakan konsep yang dibuat agar
siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Misalnya, kata Nadiem,
jika dua anak dalam satu keluarga memiliki minat yang berbeda, maka tolok ukur
yang dipakai untuk menilai tidak sama.
Kemudian
anak juga tidak bisa dipaksakan mempelahari suatu hal yang tidak disukai.
"Kita sebagai orangtua tentu tidak bisa memaksakan anak kita yang menyukai
seni untuk belajar secara mendalam komputer dan sebaliknya," kata Nadiem.
Nadiem mengatakan, anak itu pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu dan
keinginan belajar. "Jadi tidak ada anak pemalas atau anak yang tidak
bisa," tegasnya.
Implementasi
Merdeka Belajar Merdeka Belajar merupakan terobosan Kemendikbud-ristek untuk
menciptakan sumber daya manusia (SDM) unggul melalui kebijakan yang menguatkan
peran seluruh insan pendidikan. Kebijakan ini diimplementasikan melalui empat
upaya perbaikan.
Pertama,
perbaikan pada infrastruktur dan teknologi.
Kedua,
perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih
bagi satuan pendidikan.
Ketiga,
yakni perbaikan kepemimpinan, masyarakat, dan budaya.
Keempat,
melakukan perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
Merdeka
Belajar dibagi dalam beberapa episode. Dimulai dari episode pertama, yaitu
menghadirkan empat pokok kebijakan agar paradigma tentang cara lama dalam
belajar dan mengajar dapat diubah menuju kemajuan. Beberapa wujud dari empat
pokok kebijakan itu adalah penghapusan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
dan mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Nasional. Kemudian, ada juga
kebijakan penyederhanaan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) serta kebijakan
penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang lebih fleksibel.
Kurikulum
Merdeka dirancang sebagai bagian dari upaya Kemendikbudristek untuk mengatasi
krisis belajar yang telah lama kita hadapi, dan menjadi semakin parah karena
pandemi. Krisis ini ditandai oleh rendahnya hasil belajar peserta didik, bahkan
dalam hal yang mendasar seperti literasi membaca. Krisis belajar juga ditandai
oleh ketimpangan kualitas belajar yang lebar antar wilayah dan antar kelompok
sosial-ekonomi.
Tentu,
pemulihan sistem pendidikan dari krisis belajar tidak bisa diwujudkan melalui
perubahan kurikulum saja. Diperlukan juga berbagai upaya penguatan kapasitas
guru dan kepala sekolah, pendampingan bagi pemerintah daerah, penataan sistem
evaluasi, serta infrastruktur dan pendanaan yang lebih adil. Namun kurikulum
juga memiliki peran penting. Kurikulum berpengaruh besar pada apa yang
diajarkan oleh guru, juga pada bagaimana materi tersebut diajarkan. Karena itu,
kurikulum yang dirancang dengan baik akan mendorong dan memudahkan guru untuk
mengajar dengan lebih baik.
Latar
Belakang Kurikulum Merdeka
Kajian
akademik ini menjelaskan latar belakang, landasan empiris, dan kerangka
konseptual yang digunakan dalam merumuskan kebijakan kurikulum dan merancang
Kurikulum Merdeka. Kajian ini juga mencakup strategi implementasi kurikulum
baru, sebuah isu yang sangat mempengaruhi keberhasilan dari setiap kebijakan
pendidikan.
Selama
dua tahun ke depan, Kurikulum Merdeka akan terus disempurnakan berdasarkan
evaluasi dan umpan balik dari berbagai pihak. Sejalan dengan proses evaluasi
tersebut, naskah ini juga akan mengalami revisi dan pembaruan secara berkala.
Peningkatan
dan pemerataan mutu pendidikan menjadi tantangan utama dalam pembangunan
pendidikan di Indonesia. Untuk mengatasi tantangan ini, sejak 2009 Pemerintah
telah memenuhi kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20% APBN serta terus
meningkatkananggaran pendidikan dari Rp 332,4 T pada 2013, menjadi Rp 550 T
pada 2021 (kemenkeu.go.id, 2021).
Peningkatan
anggaran tersebut telah berkontribusi positif pada perbaikan tingkat pendidikan
dan kesejahteraan guru, penurunan ukuran kelas (rasio guru-siswa), serta
perbaikan sarana dan prasarana di satuan pendidikan (Beatty et.al, 2021;
Muttaqin, 2018). Namun demikian, berbagai indikator hasil belajar siswa belum
menampakkan hasil yang menggembirakan.
Sebagaimana
akan diulas berbagai pengukuran hasil belajar siswa menunjukkan masih relatif
rendahnya kualitas hasil belajar di Indonesia. Pun demikian, tidak terjadi
peningkatan kualitas pembelajaran yang signifikan dalam beberapa tahun
terakhir. Pada konteks inilah pendidikan di Indonesia tengah mengalami krisis pembelajaran,
yang apabila tidak segera ditangani akan menguatkan apa yang disampaikan
Pritchett (2012) sebagai schooling ain’t learning: bersekolah namun tidak
belajar.
Krisis
pembelajaran yang telah terjadi sekian lama tersebut, diperburuk dengan Pandemi
Covid-19 yang seketika membawa perubahan pada wajah pendidikan di Indonesia.
Perubahan yang paling nyata tampak pada proses pembelajaran yang awalnya
bertumpu pada metode tatap muka beralih menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Intensitas
belajar mengajar juga mengalami penurunan yang signifikan, baik jumlah hari
belajar dalam seminggu maupun rata-rata jumlah jam belajar dalam sehari. Selama
PJJ, umumnya siswa belajar 2-4 hari dalam seminggu terutama siswa pada tingkat
SMP, SMA, dan SMK (Puslitjak, 2020).
Di
DKI Jakarta, rata-rata waktu yang digunakan untuk pembelajaran jarak jauh hanya
3.5 jam/ hari sementara di luar Jawa lebih pendek lagi yaitu hanya 2,2 jam/
hari (UNICEF, 2020). Keterbatasan akses internet, perangkat digital serta
kapasitas baik guru, orang tua,maupun siswa dipandang menjadi tantangan
terbesar dalam menyelenggarakan PJJ (Afriansyah, 2020; UNICEF, 2020).
Di
tengah keterbatasan yang ada, berbagai strategi dilakukan sekolah untuk
menyelenggarakan PJJ. Pratiwi dan Utama (2020) mengidentifikasi setidaknya enam
strategi yang dilakukan sekolah.
Pertama,
di wilayah dengan akses internet dan perangkat digital memadai, serta didukung
oleh guru dan siswa yang melek digital pembelajaran dapat berjalan relatif baik
dengan kelas di ruang maya (interactive virtual classroom) dan mengoptimalkan
aplikasi belajar daring.
Kedua,
Disekolah-sekolah dengan akses internet dan perangkat digital yang memadai
namun tidak didukung dengan keterampilan digital guru/siswa, PJJ dilakukan
secara terbatas dimana penugasan dan pembimbingan oleh guru umumnya dilakukan
melalui aplikasi media sosial WhatsApp.
Ketiga,
beberapa sekolah dengan akses internet terbatas melaksanakan proses belajar
dalam kelompok-kelompok kecil rumah guru atau siswa.
Keempat,
beberapa sekolah yang juga tanpa jaringan internet memanfaatkan radio lokal/
radio amatir untuk menyebarkan penugasan.
Kelima,
terdapat sekolah yang menggunakan pesan berantai (“mouth to mouth” massage)
untuk menyampaikan tugas ke siswa. Terakhir, beberapa sekolah bahkan terpaksa
harus meliburkan siswanya. Studi-studi lebih lanjut memberi perhatian pada
dampak-dampak yang terjadi dalam perubahan radikal dalam proses pembelajaran
selama pandemi.
Kajian
Akademik Kurikulum Merdeka
Temuan
studi-studi tersebut antara lain menunjukkan terjadinya ketertinggalan
pembelajaran (learning loss) yaitu ketika siswa kehilangan kompetensi yang
telah dipelajari sebelumnya, tidak mampu menuntaskan pembelajaran di jenjang
kelas maupun mengalami efek majemuk karena tidak menguasai pembelajaran pada
setiap jenjang.
Studi
Indrawati, Prihadi dan Siantoro (2020) di sembilan provinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa pada awal PJJ, hanya 68% anak yang mendapatkan akses
pembelajaran dari rumah. Kondisi ini diperburuk dengan siswa yang melaksanakan
PJJ pun tidak mendapatkan kualitas pembelajaran yang sama sebagaimana sebelum
pandemi. Banyak siswa hanya menerima instruksi, umpan balik, dan interaksi yang
terbatas dari guru mereka (Indrawati, Pihadi, dan Siantoro, 2020).
Kondisi
ini berkontribusi pada menurunnya kemampuan siswa, ketidaktercapaian
pembelajaran, ketimpangan pengetahuan yang semakin lebar, perkembangan emosi
dan kesehatan psikologis yang terganggu, kerentanan putus sekolah, serta
potensi penurunan pendapatan siswa di kemudian hari (The SMERU
ResearchInstitute-The RISE Programme in Indonesia, 2020).
Temuan
serupa juga dihasilkan dari kajian Puslitjak dan INOVASI yang menunjukkan bahwa
pada kelas awal, hilangnya kemampuan belajar siswa dalam hal literasi dan
numerasi sebelum dan selama pandemi setara dengan 5-6 bulan setelah 12 bulan
belajar dari rumah (Puslitjak dan INOVASI, 2020).
Studi
yang sama juga menunjukkan bahwa ketika siswa tidak menguasai hal-hal yang
seharusnya dipelajari pada satu tahun akan memiliki efek majemuk pada apa yang
bisa dipelajari siswa pada jenjang berikutnya (Puslitjak dan INOVASI, 2020).
Dampak
lain adalah menguatnya kesenjangan pembelajaran (learning gap) selama
pembelajaran jarak jauh. Di Indonesia, kesenjangan pendidikan terjadi jauh
sebelum pandemi (Muttaqin, 2018) dan semakin menguat ketika pandemi. Indikasi
penguatan kesenjangan pembelajaran sebenarnya telah tampak dari pola
keberagaman proses pembelajaran selama pandemi.
Survei
Kemendikbud (2020) memperlihatkan adanya kesenjangan dalam penggunaan platform
pembelajaran antara sekolah di daerah 3T dan kawasan non-3T. Hasil serupa juga
ditunjukkan dari studi The SMERU Research Institute-The RISE Programme in
Indonesia (2020) yang memperlihatkan adanya kesenjangan penggunaan aplikasi
digital dalam pembelajaran antara daerah perkotaan dan pedesaan terutama di
luar Pulau Jawa.
Pola
keberagaman dalam proses pembelajaran ini selanjutnya memberi pengaruh
padasemakin melebarnya kesenjangan hasil pembelajaran siswa selama pandemi.
Terkait hal ini, temuan The SMERU Research Institute (2020) menunjukkan dua
hal.
Pertama,
analisis ketimpangan belajar di dalam kelas menunjukkan bahwa siswa yang
memiliki akses terhadap perangkat digital, memiliki guru adaptif, pada kondisi
sosial ekonomi lebih tinggi, serta mempunyai orang tua yang aktif berkomunikasi
dengan guru cenderung memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Kedua,
ketimpangan hasil belajar antar siswa dalam satu kelas pun diprediksi akan
semakin lebar. Apabila tidak ada intervensi yang mendorong guru untuk menyusun
pembelajaran yang memperhatikan keragaman kemampuan belajar siswa, maka siswa
dengan kemampuan rendah akan semakin tertinggal dari siswa lainnya. Studi
INOVASI dan Puslitjak (2020) menunjukkan risiko yang lebih besar dari semakin
melebarnya kesenjangan pembelajaran ini. Menurut studi tersebut, “pembelajaran
selama COVID-19 memiliki dampak yang lebih besar pada beberapa kelompok siswa,
di mana siswa yang berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi lebih
rendah lebih berisiko tidak terdaftar lagi atau tidak lagi berpartisipasi dalam
proses pembelajaran.
Antisipasi
dampak pandemi terhadap ketertinggalan pembelajaran (learning loss) dan
kesenjangan pembelajaran (learning gap) sebenarnya telah dilakukan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud/saat ini Kemendikbudristek).
Pada Agustus 2020, Kemendikbud menerbitkan kurikulum darurat pada satuan
pendidikan dalam kondisi khusus. Kurikulum darurat (dalam kondisi khusus) ini
pada pada intinya merupakan penyederhanaan dari kurikulum nasional. Pada
kurikulum darurat dilakukan pengurangan kompetensi dasar untuk setiap mata
pelajaran sehingga guru dan siswa dapat berfokus pada kompetensi esensial dan
kompetensi prasyarat untuk kelanjutan pembelajaran di tingkat selanjutnya.
Guru
juga didorong untuk melakukan asesmen diagnostik secara berkala untuk
mendiagnosis kondisi kognitif (kemampuan dan capaian pembelajaran siswa) dan
kondisi non-kognitif (aspek psikologis dan kondisi emosional siswa) sebagai dampak
dari PJJ. Dengan asesmen diagnostik ini diharapkan guru dapat memberikan
pembelajaran yang tepat sesuai kondisi dan kebutuhan siswa mereka.
Setelah
berjalan hampir satu tahun ajaran, Kemendikbud telah melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan kurikulum darurat. Hasil evaluasi tersebut secara umum
menunjukkan bahwa siswa pengguna kurikulum darurat mendapatkan hasil asesmen
yang lebih baik daripada pengguna Kurikulum 2013 secara penuh, terlepas dari
latar belakang sosial ekonominya. Penggunaan kurikulum darurat secara
signifikan juga mampu mengurangi indikasi learning-loss selama pandemi baik
untuk capaian literasi maupun numerasi
Hasil
positif di atas menunjukkan bahwa intervensi kurikulum darurat memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap upaya pemulihan pembelajaran akibat pandemi
COVID-19. Namun disisi lain, dapat dikatakan bahwa intervensi ini merupakan
kebijakan bumper untuk menanggulangi potensi learning loss dan learning gap
selama pandemi. Dibutuhkan pengembangan kurikulum yang secara komprehensif
mampu menghadapi krisis pembelajaran yang menjadi permasalahan akut di
Indonesia.
Pada
konteks tersebut, kajian akademik pemulihan pembelajaran ini disusun untuk
menelaah berbagai alternatif kurikulum yang dapat digunakan oleh satuan
pendidikan dengan keragaman karakteristiknya untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran,mengoptimalkan hasil belajar siswa, serta mengurangi dampak-dampak
negatif pandemi COVID-19 bagi pendidikan di Indonesia.
Perbedaan
Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013
di Tiap Jenjang Pendidikan
Kurikulum
baru ini, memiliki perbedaan secara khusus di tiap jenjang pendidikan, mulai
dari tingkat sekolah dasar hingga jenjang sekolah menengah atas, berikut
penjelasannya:
1.
Sekolah Dasar (SD)
Perbedaan
di Sekolah Dasar Pada kurikulum 2013 untuk sekolah dasar, terdapat pemisahan
antara mata pelajaran IPA dan IPS. Sedangkan, pada kurikulum prototipe, kedua
mata pelajaran ini digabung menjadi satu mata pelajaran menjadi Ilmu
Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) tujuan sebagai persiapan ketika siswa
melanjutkan pendidikan di level sekolah menengah pertama (SMP).
2.
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Di
Sekolah SMP perbedaan mencolok antara kurikulum 2013 dan kurikulum prototipe di
jenjang ini, adalah pada mata pelajaran informatika, jika sebelumnya lebih
bersifat pilihan, maka pada kurikulum prototipe mata pelajaran ini dianggap
wajib.
3.
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Di
SMA perbedaannya adalah Jika pada kurikulum 2013, siswa baru harus memilih
jurusan sementara, maka pada kurikulum prototipe pemilihan jurusan atau
peminatan dimulai saat siswa memasuki kelas 11 yang dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan konsultasi antara wali kelas, guru BK serta orang tua siswa.
4.
Struktur Kurikulum Merdeka
Kurikulum
merdeka memiliki dua stuktur khusus yakni: kegiatan yang bersifat
intrakurikuler dan kegiatan yang bersifat projek baik secara perseorangan
maupun kelompok yang proses penerapannya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah
maupun tenaga pendidik tiap mata pelajarannya.
Kurikulum
merdeka juga memiliki perbedaan dalam hal waktu atau jam pelajaran. Jika
kurikulum 2013 lebih menghitung jumlah jam pelajaran berdasarkan hitungan
minggu, maka kurikulum prototipe menghitung jam pelajaran berdasarkan tahun.
Dengan
waktu jam pelajaran yang berdasarkan tahun ini akan memudahkan pihak sekolah
untuk mengatur aktivitas pembelajaran, contohnya: mata pelajaran yang belum
diajarkan pada semester genap bisa diajarkan pada semester ganjil demikian pula
sebaliknya atau menyesuaikan jam pelajaran setiap tahunnya .
Selanjutnya,
perbedaan kurikulum prototipe dengan kurikulum 2013 bahwa tidak lagi dikenal
istilah kompetensi inti maupun kompetensi dasar melainkan diganti dengan
capaian pembelajaran yang ditandai dengan hasil yang telah dicapai dalam bentuk
sikap maupun keterampilan siswa dalam satu kesatuan yang saling terkait erat
dan berdampak langsung pada kompetensi tiap siswanya.
Semoga
penjelasan ini memberi wawasan buat bapak ibu guru soal perbedaan kurikulum
merdeka dan kurikulum 2013
Kemdikbudristek
atau Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi meluncurkan kurikulum
baru yang di beri nama kurikulum merdeka. Ini menjadi angin segar bagi dunia
pendidikan di Indonesia apalagi dalam rangka memperbaiki krisis pendidikan di
Indonesia.
Hasil
Evaluasi Dokumen Kurikulum 2013
Banyak
faktor kalau kurikulum 2013 harus di ubah
Pertama
Kompetensi Kurikulum 2013 terlalu luas, sulit dipahami, dan diimplementasikan
oleh guru.
Kurikulum
yang dirumuskan secara nasional belum disesuaikan sepenuhnya oleh satuan
pendidikan dengan situasi dan kebutuhan satuan pendidikan, daerah, dan peserta
didik.
Mapel
informatika bersifat pilihan, padahal kompetensi teknologi merupakan salah satu
kompetensi penting yang perlu dimiliki oleh peserta didik pada abad 21.
Pengaturan
jam belajar menggunakan satuan minggu (per minggu) tidak memberikan keleluasaan
kepada satuan pendidikan untuk mengatur pelaksanaan mata pelajaran dan menyusun
kalender pendidikan. Akibatnya, kegiatan pembelajaran menjadi padat.
Pendekatan
tematik (jenjang PAUD dan SD) dan mata pelajaran (jenjang SMP, SMA, SMK,
Diktara, dan Diksus) merupakan satu-satunya pendekatan dalam Kurikulum 2013
tanpa ada pilihan pendekatan lain
Struktur
kurikulum pada jenjang SMA yang memuat mata pelajaran pilihan (peminatan)
kurang memberikan keleluasaan bagi siswa untuk memilih selain peminatan IPA,
IPS, atau Bahasa. Gengsi peminatan juga dipersepsi hirarkis.
Komponen
perangkat pembelajaran terlalu banyak dan menyulitkan guru dalam membuat
perencanaan.
Rumusan
kompetensi yang detil dan terpisah-pisah sulit dipahami sehingga guru kesulitan
menerjemahkan dalam pembelajaran yang sesuai filosofi Kurikulum 2013.
Strategi
sosialisasi, pelatihan, pendampingan, dan monitoring implementasi Kurikulum
2013 belum terlaksana secara tepat dan optimal, belum variatif, belum sesuai
dengan kebutuhan, dan belum efektif. Contoh kendala: sosialisasi tidak sampai
langsung kepada tingkat gugus, pemilihan instruktur ditetapkan sentralistik
sehingga tidak sesuai kebutuhan, dan pelatihan masih dilakukan secara
konvensional dengan ceramah yang cenderung teoretik.
Masih
banyak pengawas, kepala sekolah, dan guru yang memiliki pemahaman kurang
tentang kerangka dasar, diversifikasi, dan konsep implementasi Kurikulum 2013.
Sosialisasi,
pelatihan, pendampingan, dan monitoring implementasi Kurikulum 2013 belum
berdampak optimal terhadap pemahaman pengawas, kepala sekolah, dan guru,
kemampuan dan
Dari
poin di atas di atas, diperoleh terdapat 3 alasan mengapa meninggalkan
kurikulum 2013 dan beralih ke kurikulum merdeka, yaitu:
1.
Miskonsepsi Kompetensi
Sudah
tidak asing lagi dengan kompetensi dalam kurikulum 2013, yaitu konsepnya adalah
kesatuan antara sikap, pengetahuan, serta keterampilan seseorang melakukan
suatu kinerja tertentu dalam bahasan ini subjeknya adalah siswa.
Yang
terjadi dalam kurikulum 2013 yaitu kompetensi diturunkan menjadi 3 komponen
berbeda yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Hal
tersebut mengakibatkan guru mengalami kesulitan mengajar dan siswa juga
mengalami kesulitan belajar karena proses penilaian yang rumit dan menghabiskan
energi untuk membedakan antara penilain sikap, pengetahuan dan keterampilan.
2.
Tuntutan Terlalu Tinggi
Tujuan
dari pembelajaran yaitu student centered atau berpusat pada siswa, tujuan
pembelajaran esesnsial yang sesuai terhadap perkembangan anak yaitu yang
relevan, realistis tetapi tetap menantang bagi siswa untuk terus bisa belajar.
Dalam
kurikulum 2013 tujuan pembelajaran dianggap terlalu tinggi, di kejar- kejar
untuk menyelesaikan banyak materi dalam waktu yang telah di tentukan, sedangkan
daya berfikir siswa berbeda- beda.
Akibatnya
guru mengalami kesulitan mengajar dengan tuntutan menuntaskan konten sehingga
terjebak pada cara mengajar satu arah. Tidak ada ruang kreativitas bagi guru.
Selain guru mengalami kesulitan, hal yang sama juga di rasakan oleh siswa yang
harus dituntut mempelajari banyak konten sehingga hanya belajar hafalan dan
tidak mendapatkan pemahaman secara utuh.
3.
Batasan waktu terlalu kaku
Satuan
pendidikan dan guru dapat melakukan penyesuaian durasssi dan kecepatan
pembalajaran sesuai dengan kubutuhan murid dan konteks lokal.
Dalam
kurikulum 2013, pengaturan durasi pembelajaran setiap tujuan pembelajaran
dikunci dalam satuan minggu. Tidak bisa disesuaikan oleh guru dan satuan
pendidikan
Akibatnya
guru menjadi mengalami kesulitan dalam mengajar, meski guru mengetahui bahwa
siswanya belum paham tetapi terpaksa melanjutkan pembelajaran selanjutnya.
Selain itu, murid juga mengalami kesulitan dipaksa untuk mempelajari
pengetahuan yang terlalu kompleks.
Hal
ini juga di buktikan oleh hasil riset yaitu bahwa selama pandemi, saat satuan
pendidikan bisa memilih kurikulum 2013, kurikulum darurat atau kurikulum
prototipe yang saat ini menjadi kurikulum merdeka.
Penyederhanaan
kurikulum dalam bentuk kurikulum dalam kondisi khusus (kurikulum darurat)
efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss) pada masa pademi
COVID-19. Pada sekolah yang menerapkan kurikulum 2013 mengalami learning loss
sebesar 5 bulan pembelajaran, sedangkan pada sekolah yang menerapkan kurikulum
darurat hanya mengalami learning loss selama 1 bulan. Tentu saja ini hasil yang
mengejutkan.
Harapannya
dengan hadirnya Kurikulum Merdeka akan mampu mengatasi krisis pendidikan dan
kualitas pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.
Keunggulan
Kurikulum Merdeka
Berikut
merupakan keunggulan kurikulum merdeka, yaitu :
1.
Lebih sederhana dan mendalam
Fokus
pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada
fasenya. Belajar menjadi lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru dan
menyenangkan.
2.
Lebih merdeka
Merdeka
bagi Peserta didik memiliki arti yaitu Tidak ada program peminatan di SMA,
peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Merdeka
bagi Guru yaitu Guru mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta
didik. Dan merdeka untuk Sekolah maksudnya yaitu sekolah memiliki wewenang
untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan
karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
3.
Lebih relevan dan Interaktif
Pembelajaran
melalui kegiatan projek ( project based learning ) memberikan kesempatan lebih
luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual
misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan
karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila yang relevan dengan kehidupan
sehari- hari siswanya.
Untuk Contoh Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Sekolah Penggerak untuk Tahun Ajaran 2022-2023 Ada di sini :