Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendidik Karakter Mandiri di Pesantren

 


MENDIDIK KARAKTER MANDIRI DI PESANTREN

 

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang bersifat tradisional dibentuk untuk memahami, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari. (Yasmadi, 2002: 99; Madjid, 2013: 3; Engkus, at al., 2014: 107) Pondok pesantren merupakan salah satu subsistem pendidikan yang memiliki karakteristik khusus. (Mastuhu, 1994: 61)

 

Ciri khusus pesantren dapat diketahui berdasarkan karakteristik pribadi kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren dan bahkan aliran keagamaan tertentu yang mereka anut (Rahardjo, 1997:25). Berdasarkan karakteristik tersebut, setiap pesantren mempunyai karakteristik, sistem nilai dan kultur yang berbeda dari pesantren lainnya. Zuhry (2011) menuturkan bahwa selain memiliki karakteristik khusus, pesantren mengambil peran dalam rangka pencerdasan bangsa yang telah dilakukan secara turun temurun tanpa henti. Dalam sejarah dan kenyataannya, pesantren telah mampu mencetak orang merdeka dan bisa memasuk setiap lapangan kehidupan. Ali (1984:80) menegaskan bahwa penyelenggaraan sistem pendidikan yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti pesantren. Hal ini didasarkan atas tujuan pesantren untuk mencetak manusia saleh serta mandiri yang mampu menduduki setiap lapisan dan peranan dalam masyarakat.

 

Salah satu nilai yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus sangat mempengaruhi keberlangsungan pesantren adalah kemandirian. Kemandirian santri (sebutan bagi peserta didik yang menempuh pendidikan di pesantren) sangat relevan dengan rekomendasi UNESCO terkait empat pilar pembelajaran yang diperlukan seseorang dalam menghadapi era globalisasi, yaitu mampu memberi kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to learn), bahan belajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didik (learning to do), mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be), juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antarbangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to live together).

 

Dalam konteks kemandirian santri, kemandirian santri dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya dipengaruhi oleh keluarga, sekolah/pesantren dan lingkungan. Sekolah/pesantren merupakan salah satu kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal. Pengelolaannya hendaknya dilaksanakan berdasarkan manajemen berbasis sekolah/madrasah. Untuk mengkondisikan kemandirian anak didik/santri, sekolah perlu mereformasi diri. Menurut Mulyasa, reformasi pada level sekolah harus diawali dengan sikap positif dan komitmen dari seluruh warga sekolah untuk memanfaatkan otonomi yang diberikan dengan sebaik - baiknya.

 

Berdasarkan hal tersebut, tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan tidak hanya dimaksudkan untuk mendidik anak agar tahu sesuatu, tetapi juga untuk melakukan apa yang diketahuinya. Selain itu, pendidikan diharapkan mampu membentuk sikap mandiri pada anak, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Bila melihat hal ini, tentunya pesantren mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam hal meningkatkan kualitas output yang mampu berkompetisi dan bisa menghasikan outcome yang diharapkan dalam masyarakat majemuk.

 

Oleh karena itu, untuk mampu membangun kemandirian pada diri santri, sangat diperlukan  pola  pendidikan  yang  dengan  sengaja  dirancang untuk  membekali  santri dengan karakter mandiri,  yang  secara integratif diterapkan dalam pola kehidupan sehari-hari dipesantren. Untuk mampu membina kemandirian tersebut, diperlukan adanya proses manajemen pembinaan yang berkesinambungan untuk mengembangkan dan mengasah berbagai potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga secara bertahap ia akan dapat menanggalkan diri dari ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupannya seiring dengan kemandirian yang dimilikinya.

 

Hal tersebut di atas merupakan salah satu gambaran yang menegaskan bahwa pesantren yang dilingkungannya ada sekolah formal yang ingin menjadikan santri mandiri, maka perlu manajemen pembinaan yang bagus dan bermutu yang bisa menyatukan program tujuan madrasah dan pondok pesantren yang sinergi untuk memajukan dua lembaga secara bersama. Kegiatan tersebut juga tersirat meliliki tujuan dalam membangun karakter santri yang islami.

 

Adapun sinergitas yang pertama perlu dibangun adalah bagaimana pembinaan di pondok pesantren dalam rangka menjadikan santri mandiri dalam membangun karakter islami dengan menerapkan program-program yang betul-betul disenangi oleh santri, selanjutnya perlu dibangunnya komitmen untuk mandiri, terutama dengan menghilangkan setting pemikiran dan budaya kekakuan birokrasi, serta mengubahnya menjadi pemikiran dan budaya aktif, kreatif, dan inovatif. Komitmen pembinaan dalam membentuk santri mandiri perlu dibangun tidak saja pada diri pimpinan pondok pesantren dan jajaran manajemen namun keinginan santri untuk mengikuti seluruh rangkaian program pesantren yang bertujuan membentuk karakter yang islami juga perlu dilakukan secara beriringan. Sehingga hasil pendidikan di pesantren melalui pembinaan santri mandiri secara berkelanjutan bisa secara optimal dalam membangun karakter islami santri.

 

Proses pembentukan karakter islami santri menunjukkan keterkaitan antara antara pikiran, perasaan dan tindakan dari akal terbentuk pola pikir, dari fisik terbentuk menjadi perilaku. Cara berpikir menjadi visi, cara merasa menjadi mental serta cara berperilaku menjadi karakterer, jika hal ini terus dibina secara berkelanjutan maka akan tumbuh kebiasaan. Oleh karena itu pembinaan santri mandiri menjadi sarana terlaksananya program pembentukan karakter santri yang islami dalam pendidikan pesantren.