Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Karakter : Pengertian, Tujuan, Karakter, Proses Pembentukan Karakter

 


Pendidikan Karakter

Pengertian Pendidikan Karakter

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan karakter secara etimologi yaitu berasal dari bahasa latin “Character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat, kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Adapun menurut Kamisa karakter merupakan sifat, kejiwaan, akhlak serta budi pekerti yang dimiliki seseorang yang berasal dari pembentukkan atau tempaan yang didapatkannya melalui lingkungan yang ada di sekitar.

 

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D, "Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical value", (pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu  manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai - nilai etika inti). Pendidikan karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai-nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Maka pada intinya pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

 

Tujuan Pendidikan Karakter

       Menurut Zubaedi (2011, hlm. 22) pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif, berakhlak karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Secara substantive, tujuan pendidikan karakter adalah membimbing dan memfasilitasi anak agar memiliki karakter positif (baik). Secara umum, kata “tujuan” dalam pendidikan di Amerika memiliki beberapa istilah, antara lain aim (tujuan pendidikan nasional), goal (tujuan institusional) dan objective (tujuan pembelajaran). Menurut Kennet T.Henson dalam The Curriculum Development for Education Reform, kata aim, goal dan objective memiliki perbedaan dalam stratifikasi dan ruang lingkup tujuan.

    

      Dalam pendidikan Indonesia, aim (tujuan pendidikan nasional) adalah perihal yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan alinea keempat, bahwa tujuan pendidikan nasional kita adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Goal  (tujuan institusional atau kelembagaan) adalah membentuk pribadi manusia yang beriman dan berakhlak mulia, serta mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun model yang dapat dikembangkan untuk mendukung keberhasilan pendidikan karakter adalah melalui proses bertahap yaitu : (1) sosialisasi, (2) internalisasi, (3) pembiasaan (4)pembudayaan di sekolah.

 

Objective (tujuan pembelajaran) disesuaikan dengan Kompetensi Dasar (KD). Proses pembelajaran tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan dan pembelajaran secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang akan dicapai.

 

Tujuan lain dari  pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Pendidikan karakter juga bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi kelulusan. Melalui pendidikan karakter, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuaannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

 

Karakter Kesopanan

Menurut Brown Penelope (2000), “Politeness is the feature of language use that most clearly reveals the nature of human sociality as expressed in speech. Politeness is essentially a matter of taking into account the feelings of others as to how they should be interactionally treated, including behaving in a manner that demonstrates appropriate concern for interactors’ social status and their social relationship”. (Kesopanan adalah karakteristik penggunaan bahasa yang paling jelas mengungkapkan sifat sosialitas manusia yang diungkapkan dalam wacana. Kesopanan pada dasarnya adalah masalah memperhitungkan perasaan orang lain tentang bagaimana mereka harus diperlakukan secara interaktif, termasuk perilaku untuk menunjukkan kepedulian yang tepat dengan status sosial dari para pemain dan relasi sosial mereka).

 

Kesopanan merupakan adat sopan santun, tingkah laku (tutur kata) yang baik dan  tata krama (Departemen Pendidikan Nasional,2008 :1493). Kesopanan juga merupakan amalan tingkah laku yang mematuhi aturan sosial yang terdapat dalam sebuah masyarakat. Seseorang yang tidak mematuhi aturan-aturan sosial dianggap kurang adanya sopan santun. Menurut Brown and Leech kesopanan adalah fitur penggunaan bahasa yang paling jelas mengungkapkan sifat sosialitas manusia. Kesopanan pada dasarnya adalah mempertimbangkan perasaan orang lain dan menghormatinya, termasuk berperilaku dengan cara yang menunjukkan kepedulian sosial hubungan mereka.

 

Proses Pembentukkan Karakter

Menurut Edi Waluyo (2007), pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan mereka terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ketika anak tidak melakukan kebiasaan baik itu, yang bersangkutan akan merasa bersalah. Dengan demikian, kebiasaan baik sudah menjadi semacam instink, yang secara otomatis akan membuat seorang anak menjadi tidak nyaman bila tidak melakukan kebiasaan baik itu. Oleh karena itu, pembentukkan nilai sejak dini terhadap anak perlu dilakukan. Karakter yang kuat biasanya dibentuk oleh pembentukkan nilai yang menekankan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui penghayatan dan pengalaman, membangkitkan rasa ingin dan bukan menyibukkan diri dengan pengetahuan. Menurut Annis Matta dalam bukunya yang berjudul “Membentuk Karakter Muslim” menyebutkan beberapa kaidah tentang pembentukkan karakter :

 

1)      Kaidah kebertahapan, yaitu proses perubahan, perbaikan, dan pengembangan harus dilakukan secara bertahap. Seorang anak dalam hal ini tidak dapat dituntut untuk berubah sesuai degan apa yang diinginkan secara tiba-tiba dan instan, namun ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dengan tidak terburu-buru. Adapun orientasi dari kegiatan ini ialah terletak pada proses, bukan pada hasil. Sebab proses pendidikan tidak langsung dapat diketahui hasilnya, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga nanti hasilnya akan terlihat.

2)      Kaidah kesinambungan, yaitu perlu adanya latihan yang dilakukan secara terus menerus. Pada proses kesinambungan inilah yang nantinya akan membentuk rasa dan warna berfikir seseorang yang akan menjadi karakter anak yang khas dan kuat.

 

3)      Kaidah momentum, yaitu mempergunakan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan.

4)      Kaidah motivasi instrinsik, yaitu karakter anak terbentuk secara kuat dan sempurna jika didorong oleh keinginan sendiri, bukan karena paksaan dari orang lain. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara yang dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja. Oleh karena itu, pendidikan harus menanamkan motivasi yang kuat dan lurus serta melibatkan aksi fisik yang kuat, dikarenakan kedudukan seorang guru selain untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan anak-anak, juga berfungsi sebagai sarana tukar pikiran dengan anak didinya.

5)      Kaidah pembimbing, yaitu perlunya bantuan orang lain untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada dilakukan seorang diri. Pembentukkan karakter ini tidak dapat dilakukan tanpa seorang guru atau pembimbing.