Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karakter dan Kompetensi Mahasiswa PPG

 



KARAKTER DAN KOMPETENSI MAHASISWA PPG SD

 

Banyak berita negatif tentang para guru SD, antara lain, sebuah running text di TV nasional: 400 karya tulis kenaikan pangkat para guru SD di Provinsi X  ‘bajakan’; 2.000-an guru SD peserta PLPG dari jumlah keseluruhan belasan ribu di sebuah rayon penyelenggara tidak lulus tes UK (uji kompetensi).  Apa penyebabnya secara analitik-empirik rasanya belum ada datanya.  Bagamanapun, penulis meng-hipotesis-kan salah satu penyebabnya adalah karakter pebelajar yang tidak atau kurang dikembangkan oleh para guru tersebut.  Dua fenomena di atas tidaklah terisolasi.  Penulis punya hipotesis lainnya, banyak dari para guru SD tersebut tidak memiliki kemandirian belajar sebagai salah satu inti dari keterampilan dan karakter pebelajar.  Kasus-kasusnya antara lain berkaitan dengan kebergantungan esklusif para guru kepada peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah dalam hal cara kerja, memosisikan guru sebagai penyampai iptek ketimbang turut menciptakannya, juga, barangkali karena cara kerja ilmuwan tidak atau belum terintegrasi pada diri para guru.

 

Di dunia pendidikan persekolahan Indonesia dewasa ini sedang bergulir konsep dan praktik pengembangan ‘guru pebelajar’.   Diduga konsep ini merupakan kebijakan kementerian pendidikan Indonesia.  Di sebuah kegiatan tingkat nasional yang penulis ikuti, pada sesi diskusi dan dari diskusi ini penulis menyimpulkan bahwa konsep pebelajar belum banyak dipahami banyak orang, karena banyak dari peserta diskusi menganggap kinerja pebelajar dapat dievaluasi melalui tes tulis kompetensi belaka.

 

Pembahasan

Karakter.  Konsep karakter yang penulis usulkan untuk pengembangan kinerja pebelajar para (calon) guru adalah sebagaimana yang diusung oleh Lickona (dalam Kesuma, 2011).  Secara garis besar karakter terbentuk oleh tiga dimensi: perasaan moral, pengetahuan moral, dan tindakan moral.  Perasaan moral antara lain adalah kemampuan merasa bersalah jika melakukan perbuatan tidak/kurang bermoral dan merasa berbahagia jika dapat melakukan perbuatan baik.  Pengetahuan moral antara lain kemampuan literasi moral dan berargumentasi moral.  Dan, tindakan moral terdiri atas: kompetensi, kemauan, dan kebiasaan.  Pengetahuan moral dan perasaan moral merupakan faktor-faktor pendukung bagi tindakan moral.  Konsep karakter Lickona cukup rinci dan operasional hingga membantu kita merumuskan ICK (Indikator Capaian Kompetensi).  Konsep karakter pebelajar yang akan dikembangkan di sini terutama bertumpu pada konsep tindakan moral dari Lickona tersebut.

 

Belajar.  Konsep belajar barangkali dapat dianggap sebagai terdiri atas dua golongan: (1) menguasai Iptek yang ada dan (2) penciptaan Iptek baru.  Terdapat kecenderungan bahwa belajar utamanya adalah penguasaan Iptek yang ada.  Belajar menjadi identik dengan memorisasi; kemudian uji kemampuan memorisasi ini adalah melalui tes tulis yang ditujukan kepada reproduksi verbal (melalui kata-kata) Iptek.  Istilah ‘ulangan’ di dunia persekolahan kita, kental dengan asosiasi reproduksi ini.  Jadi, jika kurikulum kita adalah kurikulum berbasis kompetensi, praktik ulangan ini seharusnya tidak lagi mendapat tekanan.  Kurikulum berbasis kompetensi ujiannya seharusnya adalah uji kinerja; dan uji tulis hanya sebagai pelengkap (Spencer & Spencer, dalam Kesuma, 2011).  Uji kinerja seorang calon pengacara hukum bukan melalui tes tulis yang menuntut kemampuan reproduksi (menghafal) pasal-pasal hukum, tetapi adalah melalui praktik menjadi pembela di pengadilan, atau situasi lain yang mengarah kepada situasi nyata ini.  Demiki anlah, dapat disimpulkan konsep belajar golongan pertama, menguasai Iptek yang ada, tidaklah cocok untuk kurikulum berbasis kompetensi.

 

KONSEP BELAJAR

BELAJAR SEBAGAI PENGUASAAN IPTEK

BELAJAR SEBAGAI PENCIPTAAN IPTEK

Proses

(1) Proses memorisasi kata-kata secara selingkung, verbalisme, bertumpu pada kemampuan mengingat (C1, Bloom).

(2) Proses memorisasi makna, bertumpu khususnya pada kemampuan berpikir memahami (C2, Bloom).

Proses sebagaimana ilmuwan besar menemukan/menciptakan pengetahuan, proses penelitian, proses menjawab pertanyaan melalui pengumpulan data secara kritis, proses pemecahan masalah secara kritis.

Motivasi

Motivasi bersifat ekstrinsik, belajar untuk dapat lulus tes, atau, untuk kepentingan reproduksi pengetahuan.

Motivasi belajar bersifat intrinsik, belajar dalam rangka memenuhi dorongan rasa ingin tahu, keinginan memecahkan masalah, keinginan mengemansipasi kehidupan.

Kemanfaatan

(1) Belajar ditujukan untuk lulus tes tulis.

(2) Belajar dapat membangun kebergantungan pada buku atau ilmuwan.

(3) Belajar dalam rangka pelestarian budaya yang ada, struktur sosial yang ada, termasuk pelestarian struktur sosial penindasan karena gagal-kembangnya sikap kritis.

(1) Belajar untuk memenuhi rasa ingin tahu (sebagaimana dinyatakan oleh psikologi Barat); tetapi sebaiknya, belajar dalam rangka emansipasi kehidupan.

(2) Belajar dapat merupakan pembebasan, membangun kemandirian, otonomi diri, termasuk kemandirian belajar atau berpikir.

(3) Belajar dalam rangka transformasi sosial; belajar potensial menghasilkan inovasi-inovasi.

Aktivis

Produksi pengetahuan dilakukan oleh segelintir elit di pusat-pusat riset dan universitas-universitas (elitisme riset); dan orang awam dan kalangan persekolahan adalah sebagai konsumen pengetahuan.

Siapapun yang memiliki kesempatan menemukan atau menemukan pengetahuan, atau memecahkan masalah, tidak harus ilmuwan (demokratisasi riset).

 

Konsep belajar golongan kedua, menciptakan Iptek baru, adalah ke giatan belajar sebagaimana disarankan oleh Paulo Freire (dalam Kesuma, 2013), Jarvis (1992), pendekatan saintifik, dan pendekatan metakognisi (Marzano & Kendall, 2008).  Penciptaan Iptek baru tidak selamanya berarti sebagamana kata-katanya itu sendiri, bisa saja merupakan penciptaan ulang atau penemuan ulang, atau bentuk-bentuk lainnya.  Mengenai bentuk lain Iptek ini perlu eksplorasinya lebih jauh agar kita dapat mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk lain ini.  Melalui diskusi dengan para mahasiswa yang sedang menyusun skripsi riset tindakan kelas, penulis menemukan sebuah bentuk pemerkayaan-penambahan pengetahuan sehubungan dengan masalah spesifik-kontekstual yang dihadapi mahasiswa dalam situasi konkrit.          

    

Paulo Freire (dalam Kesuma, 2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan memiliki dua siklus, siklus ketika Iptek ditemukan atau diciptakan, atau siklus produksi pengetahuan; dan siklus ketika pengetahuan dikonsumsi.  Produksi pengetahuan biasanya dilakukan oleh pusat penelitian atau universitas dan konsumsi pengetahuan ialah oleh orang awam atau persekolahan.  Dengan demikian terjadilah konsep belajar (di kalangan awam dan persekolahan) yang diidentikkan dengan konsumsi pengetahuan.  Konsep belajar menjadi identik dengan memorisasi pengetahuan.

 

Karakter pebelajar

(1) Rasa ingin tahu-keinginan mengemansipasi.  Rasa ingin tahu alami adanya pada setiap orang.  Ia adalah bagian tak-terpisahkan dari manusia ketika ia menghadapi sesuatu yang asing, baru, tantangan, ancaman, kesenjangan, dan masalah.  Freire (dalam Kesuma, 2013) menyebut manusia ialah makhluk in search, makhluk yang mencari, dibantu oleh rasa ingin tahunya.  Banyak tulisan psikologi belajar Barat menyatakan bahwa motivasi intrinsik belajar adalah rasa ingin tahu.  Penulis menduga formulasi yang demikian terkait erat dengan epistemologi tradisional Barat bahawa pengetahuan itu netral.  Sebaiknya kita memiliki persepsi yang lebih baik tentang motivasi belajar ini, yaitu, keinginan mengemansipasi kehidupan.  Persepsi emansipatif ini memadukan pengetahuan dengan kepentingan pemuliaan manusia (humanisasi).  Niat orang belajar adalah membuat kehidupan menjadi lebih baik, pembaikan kehidupan.  Memang pengetahuan, pengetahuan yang valid, adalah bagian tak-terpisahkan dari aktivitas emansipasi.  Penulis menyarankan bahwa banyak (bukan semua) ikhtiar manusia sebaiknya melalui pendekatan saintifik.      

(2) Kompetensi belajar.  Menurut Freire, kompetensi belajar adalah kompetensi mem-problematisasi kehidupan, apapun yang anda hadapi dalam rangka mempelajarinya.  Problematisasi dilakukan dalam rangka pencarian pengetahuan, kehidupan yang lebih baik.  Problematisasi yang berhasil dilakukan oleh orang yang perkembangannya sudah berada pada tahapan kesadaran kritis.  Orang dengan kesadaran ini berupaya mencari the reason for being (penyebab, alasan keberadaan) dari apa yang dihadapinya, konektivitasnya dengan fenomena lainnya...dengan konteks keberadaannya.  Pencarian ini dilakukan secara analitik-kritis, dalam rangka pencarian pengetahuan valid-reliable, juga transformasi kehidupan.  Orang dengan kesadaran ini adalah ilmuwan kritis.

Freire (dalam Kesuma, 2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan memiliki dua dimensi, the reason for being dan technicalities dari fenomena.  Bagi kesadaran naif, tahapan yang lebih rendah dari kesadaran kritis, kedua dimensi pengetahuan itu tidak ditangkapnya.  Orang dengan kesadaran ini terperangkap dalam pengetahuan hasil pengamatan awam tanpa pernah mempertanyakan validitas-reliabilitas pengetahuan.  Perasaannya pun kedap dari keingintahuan.  Sama halnya dengan mereka yang berada pada tahapan kesadaran magis.  Mereka ini menganggap bahwa setiap fenomena dan termasuk dirinya berada di bawah pengaruh kekuatan supernatural, lalu dirinya tidak memiliki ikhtiar apapun yang dapat mempengaruhi jalan kehidupannya.  Mereka adalah manusia fatalistik.

Kompetensi belajar dalam Kurikulum 2013 adalah kemampuan mengimplementasikan pendekatan saintifik (pendekatan 5 M) dalam belajar.  Ini kurang-lebih sama dengan ide metode belajar problem solving yang disarankan oleh John Dewey tahun 1930-an dan Jeromme Bruner tahun 1960-an dengan pendekatan inquiry dalam belajar.  Ketiganya penulis kira dapat direpresentasikan oleh langkah-langkah 5 M berikut.

PENDEKATAN SAINTIFIK

Langkah esensial

Skenario pemelajaran

M1, mengamati

Mengamati, menggeluti fenomena.

M2, menanya

Memunculkan pertanyaan, ide, hipotesis.

M3, mencoba

Menjawab pertanyaan, mencobakan ide atau hipotesis dalam rangka pengumpulan data.

M4, mengolah data

Melakukan interpretasi terhadap data, menemukan dan merumuskan makna/pola/tema/konsep pada data; menyajikannya dalam bentuk narasi, grafik, tabel, matriks, dan diagram.

M5, mengomunikasi

Mempresentasikan hasil pengolahan data.

Diadaptasi dari Kurikulum 2013

Menurut penulis langkah-langkah yang paling esensial dari pendekatan saintifik tersebut adalah Menanya dan Menjawab.  Ketika menghadapi sebuah fenomena dalam rangka mempelajarinya seseorang harus memunculkan pertanyaan, ide, atau hipotesis.  Kemudian menjawabnya dengan cara mencobakannya, mempraktikkannya, dan mengamatinya.

M1, mengamati

Menanya

M2, menanya

M3, mencoba

Menjawab

M4, mengolah data

M5, mengomunikasi

 

 

Pendekatan metakognisi dalam belajar (Marzano & Kendall, 2008) dapat dianggap sebagai membuat eksplisit apa yang dialami oleh pebelajar ketika menerapkan pendekatan saintifik tersebut.  Ketika menerapkan pendekatan saintifik, seseorang bukan hanya menerapkannya tetapi juga memantau proses dan hasilnya, atau sekurang-kurangnya hal ini dapat dilakukan oleh seseorang.  Atau, Marzano & Kendall tersebut menyediakan lapisan kedua (second order) yang terletak di atas operasi-operasi berpikir saintifik tersebut.  Diagramnya dapat dibaca di bawah ini.

PROSES SAINTIFIK

PROSES METAKOGNISI

SKENARIO PEMELAJARAN METAKOGNISI

M1, mengamati

 

Mengamati, menggeluti fenomena.

M2, menanya

Mk1, Menspesifikasi tujuan

Memunculkan pertanyaan, ide, hipotesis; dan merancang pembuktiannya.

M3, mencoba

Mk2, Memantau proses

Menjawab pertanyaan dengan mencobakan, mempraktikkan, dan mengamatinya.  Sementara itu, juga memantau prosesnya, dengan cara diskusi kelompok.

M4, mengolah data

Mk3, Memantau hasil

Melakukan interpretasi terhadap data, menemukan dan merumuskan makna/pola/tema/konsep pada data; menyajikannya dalam bentuk narasi, grafik, tabel, matriks, dan diagram.  Juga, memantau hasil-hasil pengolahan data, dengan cara diskusi kelomok.

M5, mengomunikasi

 

 

 (Proses metakognisi diadaptasi dari Marzano & Kendall, 2008)

 

(3) Kemandirian.  Kemandirian penulis duga sebagai sisi afektif dari kompetensi belajar yang dipaparkan di atas.  Ketika orang menjadi semakin relatif kompeten dalam belajar, dalam menerapkan proses belajar metakognisi, maka ia menjadi pribadi yang mandiri.  Ia menjadi terbebaskan dari kebergantungannya secara buruk kepada pihak lain, ia menjadi pribadi bebas.  Ia menjadi paham bertindak sebagai seorang profesional.  Kemandirian juga punya sisi buruk, barangkali sikap individualistik dan egoisme.  Kemandirian yang dimaksudkan di sini adalah kemandirian kolaboratif dengan siapapun.

 

Penulis menduga masih sedikit orang yang paham akan kemandirian atau kemerdekaan diri ini.  Masih banyak orang memosisikan diri sebagai operator dalam kehidupan kerjanya, bukan pengembang atau pebelajar-transformatif (guru pebelajar).  Indikator kebergantungan secara eksklusif pada pihak lain dalam bekerja penulis temukan di kelas-kelas PGSD dan PPG tempat penulis bekerja.  Salah satunya, ketika penulis memperkenalkan sebuah prosedur kerja yang tidak ada dalam pedoman atau peraturan yang diterbitkan pemerintah, seorang mahasiswa bertanya, “SK Dirjen-nya apa pak prosedur yang bapak sampaikan itu?”  Mahasiswa ini seakan mengasumsikan bahwa setiap alat/prosedur kerja harus dilandasi oleh peraturan pemerintah.  Yang lebih parah lagi adalah anggapan bahwa semua alat kerja bukan guru yang menciptakannya, tetapi adalah pihak lain.

 

Sebuah ilustrasi lagi.  Ketika penulis meng-kritik sebuah tayangan sosialisasi Kurikulum 13 dan mengajukan alternatifnya, seorang mahasiswa penulis merespon: “Kami ikut yang mana, yang punya pemerintah atau yang bapak usulkan?”  Ia maunya menjadi pengikut.  Penulis menjawab, sebuah jawaban untuk membangun kemandirian dalam belajar atau berpikir, “Kita harus ikut argumentasi, demonstrasi, pengujian, pembuktian yang lebih baik”.  Kedua pemikiran tersebut harus diuji oleh para (calon) guru yang akan menggunakannya.

 

Seorang profesional itu seharusnya memiliki kemandirian dalam bekerja, dan ini tidak harus dipersepsi sebagai menentang peraturan yang ada.  Justru sebaliknya, kemandirian seorang profesional adalah sebuah ide penting yang harus diusung oleh pemeritah agar lebih terjadi perkembangan sebuah profesi.

 

(4) Kemauan.  Kemauan harus ditumbuhkan sendiri oleh masing-masing individu pebelajar.  Tanpa kemauan kuat kompetensi-karakter pebelajar tidak akan tumbuh.  Pihak luar (pendidik dan rekan) peranannya adalah fasilitasi, membangun lingkungan sosiobudaya yang kondusif untuk kuatnya kemauan.

 (5) Kebiasaan.  Kebiasaan adalah produk dari pembiasaan.  Apa yang dibiasakan adalah empat subdimensi karakter yang dideskripsikan di atas.  Secara demikian kebiasaan dalam kasus ini akan merupakan keberulangan atau kecenderungan kuat empat subdimensi karakter yang dikembangkan.

 

Indikator Capaian Kompetensi (ICK).  Demikianlah, sejauh ini sudah dipilih beberapa sub-dimensi dari kompetensi-karakter pebelajar. Pemilihannya berdasarkan persepsi penulis tentang kebutuhan mahasiswa penulis, terutama mahasiswa PPG SD (Pendidikan Profesi Guru Sekolah Dasar), di samping berdasarkan pemikiran Lickona.

 

KARAKTER-KOMPETENSI

PEBELAJAR

INDIKATOR CAPAIAN KOMPETENSI

Kebiasaan

Rasa ingin tahu-keinginan meng-emansipasi

·         Selalu memunculkan pertanyaan signifikan.

·         Selalu berupaya mencari informasi secara mandiri.

·         Selalu prihatin melihat kelemahan/kekurangan.

·         Selalu berupaya kontributif atas diri sendiri dan pihak lain.

Kompetensi belajar

·         Selalu memunculkan masalah/pertanyaan spesifik, ide, atau hipotesis atas fenomena yang sedang dipelajari.

·         Selalu melakukan upaya-upaya untuk menjawab permasalahan yang dihadapinya.

·         Selalu mendiskusikan hasil kerja dalam rangka memantau proses/hasil belajarnya.

·         Selalu memiliki peningkatan skill & knowledge.

Kemandirian

·         Selalu mampu merancang pengujian atas teori yang ada.

·         Selalu mampu melaksanakan pengujian atas teori yang ada.

·         Selalu menghargai/menerima argumentasi yang lebih baik.

·         Selalu berupaya memenuhi kebutuhan belajar rekan.

Kemauan

·         Selalu memiliki respon positif-kontributif atas permasalahan sendiri dan lingkungannya.

          

Disain Pengembangan Karakter-Kompetensi Pebelajar.  Di sini akan disajikan secara sangat ringkas bagaimana Karakter-Kompetensi Pebelajar dapat dicapai.

Silabus dan bahan ajar PPG SD.

Proses belajar: Skenario pemelajaran metakognisi.

Hasil belajar bahan ajar PPG, atau, ketercapaian ICK PPG SD

Hasil belajar Karakter-Kompetensi Pebelajar, atau, ketercapaian ICK PPG

 

Silabus dan bahan ajar PPG SD.  Silabus dan bahan ajar PPG SD disediakan dalam rangka mencapai empat kompetensi guru profesional sebagaimana digariskan oleh Kurikulum PPG SD:  (1) kompetensi profesional, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi pribadi, (4) kompetensi sosial.


Proses belajar: Skenario pemelajaran metakognisi.  Pemelajaran metakognisi pada dasarnya merupakan pendekatan self-learning atau belajar melalui refleksi, dan dalam PPG ini pelaksanaannya dalam kelompok-kelompok kecil.  Karena itu cara belajar yang demikian ini dapat juga disebut belajar melalui refleksi-kolaboratif.  Disebut self-learning karena kebutuhan belajar (oleh Marzano & Kendall disebut sebagai “penspesifikasian tujuan”) dan pemenuhan kebutuhannya dan pemantauannya dilakukan oleh mahasiswa sendiri, peranan dosen pembimbing utamanya sebagai fasilitator atau juga mitra belajar.  Kegiatan belajar yang demikian juga diarahkan melalui LK (lembar kegiatan) yang disebut sebagai Jurnal Reflektif.


Hasil belajar.  Hasil belajar para mahasiswa terdiri atas (1) hasil belajar bahan ajar PPG SD dan (2) hasil belajar proses/keterampilan metakognisi.  Hasil belajar dievaluasi melalui evaluasi terhadap jurnal reflektif, portofolio (tugas), dan tes tulis kognitif.  Tes tulis kognitif mencakup pre-test, mid-test, dan post-test.  Tes tulis kognitif ini berfungsi untuk triangulasi hasil belajar para mahasiswa.