Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Desain Didaktis Konsep Pecahan

 


Desain Didaktis Konsep Pecahan

Desain Didaktis sebagai Hasil Penelitian Desain Didaktis

Desain didaktis merupakan suatu rancangan pembelajaran berupa bahan ajar yang dilengkapi dengan prediksi respon siswa beserta antisipasinya.  Desain didaktis disusun dengan tujuan mengatasi hambatan belajar pada siswa. Desain didaktis merupakan hasil dari penelitian desain didaktis. Dalam prosesnya senantiasa memperhatikan hubungan guru, siswa dan materi. Hubungan antara guru, siswa, dan materi merupakan suatu kesatuan dari komponen pembelajaran. Kansanen (2003) menggambarkan hubungan tersebut sebagai sebuah segitiga didaktis yang menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa.

 

Karena hubungan didaktis dan hubungan pedagogis ini terjadi di dalam proses pembelajaran yang sangat kompleks, maka guru harus membuat rancangan pembelajaran dengan memperhatikan hubungan keduanya. Dengan demikian, seorang guru pada saat merancang proses pembelajaran, sekaligus juga perlu memikirkan prediksi respons siswa atas situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta situasi didaktis baru. Berdasarkan itulah, Suryadi (2010a) memodifikasi segitiga didaktis Kansanen dengan menambahkan hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya bisa disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP).

 

Gambar 2.1 Segitiga Didaktis yang Dimodifikasi (Suryadi, 2010a, hlm. 5)

 

Kemampuan guru dalam memandang segitiga didaktis diatas selanjutnya disebut dengan metapedadidaktik yang dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk:


(1) memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi   yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh, (2) mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan, (3) mengidentifikasi serta menganalisis respon siswa atau mahasiswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan, (4) melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa atau mahasiswa menuju pencapaian target pembelajaran. (Suryadi, 2010a)

 

Karena metapedadidaktik ini terkait dengan suatu peristiwa pembelajaran, maka hal ini dapat digambarkan sebagai sebuah limas dengan titik puncaknya adalah guru yang memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodifikasi.

 

Gambar 2.2 Metapedadidaktik Dilihat dari sisi ADP, HD dan HP

(Suryadi, 2010a, hlm. 9)

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa aktivitas berpikir guru tidak hanya ketika proses pembelajaran di kelas. Sejalan dengan itu,  Lidinillah (2012, hlm. 22) menyatakan bahwa “rangkaian aktivitas dalam kerangka berpikir metapedadidaktik meliputi sebelum, selama dan sesudah pembelajaran”. Sebelum proses pembelajaran berlangsung, guru memfokuskan pada pengembangan desain didaktis berupa rancangan situasi didaktis yang akan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Guru melakukan rekontestualisasi, repesonalisasi dan prediksi respon. Hasilnya adalah Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP). Sementara pada saat pembelajaran pada hakekatnya merupakan analisis metapedadidaktik yakni analisis terhadap situasi didaktis, respons siswa, serta analisis interaksi yang berdampak terhadap terjadinya perubahan situasi didaktis maupun pedagogis. Setelah pembelajaran, guru melakukan refleksi yang menggambarkan pikiran guru tentang apa yang terjadi pada saat proses pembelajaran serta kaitannya dengan apa yang dipikirkan

sebelum pembelajaran berlangsung. Ketiga tahap tersebut merupakan rangkaian langkah penelitian desain didaktis atau didactical design research (DDR).

 

Terdapat dua model pengembangan dan penerapan didactical design research yang sering digunakan di Indonesia, yakni model yang dikembangkan oleh Hudson (2008) dan Suryadi (2010). Model Hudson memandang bahwa didaktik adalah hal yang menjadi fokus utama dalam pembelajaran sejak tahap perencanaan pembelajaran. Analisis didaktis sebelum pembelajaran difokuskan pada hubungan antara guru, siswa, dan materi sehingga dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan pembelajaran. Penelitian desain didaktis model Hudson (2008, hlm. 354-355) mengadaptasi dari model perencanaan pembelajaran (intructional design) dengan tahapan sebagai berikut:

 

1)      Tahap analisis merupakan tahapan ketika membahas tentang hal yang dapat dijelaskan kepada siswa berkenaan dengan konsep atau materi. Selain itu, untuk menunjukan hal yang dianggap penting dari pengetahuan, pengalaman, kemampuan, atau keterampilan yang diperoleh dari materi yang dipelajari.

2)      Tahap perancangan (design) merupakan tahap mengembangkan konsep atau materi berdasarkan hasil dari tahap analisis. Beberapa faktor yang diperhatikan pada tahap perancangan diantaranya, manarik perhatian, manambah motivasi belajar, mudah dipahami siswa, dan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa.

3)      Tahap pengembangan merupakan tahapan memperjelas peran penting dari produk yang dikembangkan terhadap situasi pembelajaran, aktivitas pedagogis, dan lingkungan belajar. Di samping itu, diperhatikan juga sejauh mana produk yang dikembangkan tersebut dapat menunjang peranan guru dalam pembelajaran.

4)      Tahap interaksi merupakan tahapan menekankan pada bagaimana produk yang dikembangkan dapat membantu proses interaksi siswa dengan materi, guru dan siswa lainnya. Diperhatikan juga tentang pencapaian kemampuan hasil belajar siswa.

5)      Tahap Evaluasi merupakan tahap ini akan menggambarkan bagaimana kualitas produk yang dikembangkan terhadap situasi pembelajaran, aktivitas pedagogis, dan lingkungan belajar siswa.

 

Sementara itu, Suryadi (2010a) menyatakan bahwa, penelitian desain didaktis terdiri dari tiga tahapan, yaitu:

(1) analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Disain Didaktis Hipotetis termasuk ADP, (2) analisis metapedadidaktik, dan (3) analisis retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotetis dengan hasil analisis metapedadidaktik. Dari ketiga tahapan ini akan diperoleh Disain Didaktis Empirik yang tidak tertutup kemungkinan untuk terus disempurnakan melalui tiga tahapan DDR tersebut.

 

Pada penelitian desain didaktis model Hudson analisis situasi didaktis berada pada tahap analisi, perencanaan dan pengembangan. Karena pada tahap analisis situasi didaktis, guru menganalisis materi, merancang pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan melakukan pengembangan produk terhadap situasi pembelajaran, aktivitas pedagogis, dan lingkungan belajar. Namun, terdapat sedikit perbedaan, yakni pada tahap analisis situasi didaktis dlengkapi dengan prediksi respon siswa atas situasi pembelajaran beserta antisipasinya (ADP). 

 

Analisis metapedadidaktik merupakan proses berpikir guru yang terjadi selama pembelajaran. Pada penelitian desain didaktis model Hudson, analisis metapedadidaktik berada pada tahap interaksi. Pada tahap ini terjadi hubungan anatara guru, siswa dan materi. Selanjutnya adalah analisis retrosfektif yang berada pada tahap evaluasi pada penelitian desain didaktis model Hudson. Pada tahap ini, guru melakukan refleksi dengan mengaitkan hal yang telah direncanakan sebelumnya dengan proses pembelajaran yang terjadi dikelas untuk melakukan perbaikan.

 

Desain Didaktis Konsep Pecahan di Kelas III Sekolah Dasar

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa desain didaktis disusun untuk mengatasi hambatan belajar pada siswa. Pada penelitian ini, hambatan belajar siswa berkaitan dengan pembelajaran matematika pada konsep pecahan. Pembelajaran matematika di sekolah dasar mencakup tiga cabang, yaitu bilangan, geometri, serta pengukuran danta statistika. Konsep pecahan merupakan salah materi yang termasuk dalam bilangan.        

 

Bennet, Burton dan  Nelson (2012, hlm. 283) menyatakan bahwa “kata pecahan berasal dari bahasa Latin fractio, frangere, yang berarti pecahan atau memecahkan”. Pecahan berarti bagian dari keseluruhan yang berukuran sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Reys, Linquist, Lambdin dan Smith (2009, hlm. 266) yang mengungkapkan bahwa “makna bagian-seluruh dari pecahan menunjukkan bahwa keseluruhan telah dibagi menjadi bagian yang sama”. Lambang pecahan ditulis dalam bentuk   dengan a dan b merupakan bilangan bulat dan b ≠ 0. Huruf a menunjukkan bagian dari keseluruhan yang disebut sebagai pembilang. Sementara b, menunjukkan satuan-satuan yang membentuk keseluruhan yang disebut sebagai penyebut.

 

Hal ini sesuai dengan pendapat Barmby, Bilsborough, Harries dan Higgins (2009, hlm. 65) yang menjelaskan bahwa “dari perspektif bagian-utuh, angka yang menunjukkan satuan yang membentuk keseluruhan adalah penyebutnya, di bagian bawah pecahan, sementara angka yang menunjukkan bagian dari keseluruhan adalah pembilang, di bagian atas pecahan”. Bilangan pecahan  dibaca setengah atau satu per dua atau seperdua. “1” disebut sebagai pembilang yang merupakan bagian pengambilan atau bagian yang diperhatikan dari keseluruhan bagian yang sama. “2” disebut penyebut, yang merupakan 2 bagian yang sama dari keseluruhan.

 

Pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah, materi pecahan mulai diperkenalkan dikelas II Sekolah Dasar. Ruang lingkup materi pecahan di sekolah dasar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1

Ruang Lingkup Materi Pecahan di Sekolah Dasar

Kelas

 

Materi

 

II

 

·    Pecahan sederhana

 

III

 

·         Konsep pecahan (pecahan sebagai bagian dari keseluruhan)

·         Penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama

 

IV

 

·         Pecahan senilai

·         Bentuk pecahan (biasa, campuran, desimal, persen)

 

V

 

·         Penjumlahan dan pengurangan dua pecahan dengan penyebut berbeda

·         Perkalian dan pembagian pada pecahan

 

VI

 

·         Operasi hitung campuran pada bilangan cacah dan atau pecahan

 

 

Berdasarkan tabel 2.1, dapat diketahui bahwa konsep pecahan merupakan salah satu materi yang harus dipelajari di kelas III Sekolah Dasar. Untuk itu siswa harus memahami dan menguasai materi tersebut, supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Di kelas III, konsep pecahan tercantum dalam sepasang kompetensi dasar. Kompetensi dasar tersebut diantaranya adalah :

Tabel 2.2

Kompetensi Dasar Konsep Pecahan di Kelas III Sekolah Dasar

Kompetensi Dasar

3.4 Menggeneralisasi ide pecahan sebagai ba-gian dari keseluruhan menggunakan benda-benda konkret

4.4 Menyajikan pecahan sebagai bagian dari keseluruhan menggu-nakan benda-benda konkret

 

Desain didaktis konsep pecahan di kelas III disusun dengan memperhatikan hambatan belajar yang dialami siswa dan disesuaikan dengan tahap berpikir siswa yang masih bersifat konkret. Misalnya ketika mengenalkan bilangan pecahan kepada siswa sekolah dasar, seorang pendidik sebaiknya tidak langsung menuliskan lambang pecahan dengan contoh-contoh yang abstrak. Siegler (2013) mengungkapkan bahwa pemahaman tentang pecahan penting bagi siswa sebagai prasyarat dipahaminya konsep matematika lanjut baik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dalam konteks masalah sehari-hari. Maka dari itu, diperlukan benda-benda konkret yang dapat dimanipulasi, hal ini bertujuan supaya siswa dapat membantu siswa memahami konsep pecahan yang juga sebagai prasyarat dipahaminya konsep matematika selanjutnya. Keterlibatan benda-benda konkret dalam proses pembelajaran merupakan penyesuaian proses pembelajaran dengan tahap berpikir siswa.