Ruang Lingkup Kajian Nilai : Klasifikasi, Kategorisasi, Hierarki, Pendidikan Nilai
Ruang Lingkup
Kajian Nilai
Nilai secara etimologis yaitu nilai dalam
bahasa lnggris “value”,dalam bahasa latin
“velere”, atau bahasa Prancis kuno “valoir” atau nilai dapat diartikan berguna, mampu akan, berdaya, berlaku,
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan
seseorang atau sekelompok orang. Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1994, hlm. 690) adalah harga (dalam arti taksiran harga).
Qiqi Yuliati (2014, hlm. 15) mengemukakan
bahwa “nilai adalah segala hal yang berhubungan dengan tingkah laku manusia
mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama, tradisi, etika, moral, dan
kebudayaan yang berlaku dimasyarakat”. Sedangkan M. Asrori (2015, hlm. 208)
mengemukakan bahwa “nilai sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya dan
mendorong orang untuk mewujudkannya”. Adanya nilai memungkinkan individu atau kelompok
sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai sesuatu yang
ingin dicapai serta menjadi patokan, acuan, maupun pijakan yang menjadikan
segala keinginannya menjadi tercapai.
Kupperman (dalam Rohmat Mulyana, 2011, hlm. 9)
mengemukakan bahwa “nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia
dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif”. Definisi
ini lebih menekankan norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
manusia. Patokan normatif yang berlaku dimasyarakat menjadi bagian penting dalam
proses pertimbangan nilai. Kosasih
Djahiri (1996, hlm. 17) “nilai
adalah harga yang diberikan oleh
seseorang atau sekelompok orang terhadap
sesuatu (materil-immateril,
personal, kondisional) atau harga yang dibawakan atau tersirat atau menjadi
jati diri dari sesuatu”.
(Mustari Mustafa, 2011, hlm. 15) mengemukakan bahwa :
“dalam kehidupan sehari-hari, nilai merupakan
sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.
Dalam pembahasan ini nilai merupakan kualitas yang berbasis moral. Dalam
filsafat, istilah ini digunakan
untuk menunjukkan kata
benda abstrak yang
artinya keberhargaan yang setara dengan berarti atau kebaikan”.
Dari semua definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah segala hal yang berhubungan dengan
tingkah laku manusia mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama, tradisi,
etika, moral, dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat. Sejalan dengan
Hidayat, Syarip (2018) yang menyatakan bahwa
makna kata nilai
merupakan gagasan manusia, yang berupa konsep terpikirkan atau apresiatif dari
sekumpulan sikap; Nilai sejatinya berperan penting dan berguna bagi kehidupan;
nilai berpotensi menjadi tuntunan dalam mendorong setiap manusia untuk
bertindak atau tidak bertindak.
Secara filosofis, kajian
tentang nilai telah menghangatkan ruang dan suasana perdebatan keilmuwan.
Suasana perdebatan berisikan kajian kemaknaan tentang, kajian tentang nilai
telah menghangatkan ruang dan suasana perdebatan keilmuwan. Suasana perdebatan
berisikan kajian kemaknaan tentang terma-terma pada dualitas entitas, ada dan
ketiadaan esensi dan instrumental , kognitif dan afektif rasio dan emosi
partikular dan universal. Kajian ini mucul sejak manusia memula proses berpikir
kritis. Kompleksitas kajian nilai sebagai tema abstrak yang senantiasa
menyimpan rahasia dan menarik perhatian untuk ditelaah memungkinkan para
akademisi mengelaborasi konsepsi nilai sesuai dengan selera intelektualitasnya
masing-masing. Mulyana (2004, hlm. 25) dalam hal ini mencoba memilah nilai
kedalam dua cara, yaitu: Pertama klasifikasi
nilai, yaitu suatu istilah untuk melakukan pembagian nilai berdasarkan pada
sifat-sifat nilai itu sendiri dalam tatanan hierarkinya. Klasifikasi nilai
berkonsentrasi pada penjelasan karakteristik kedalaman dan kebenaran nilai itu
sendiri. Kedua, kategorisasi nilai, yaitu
pembagian nilai berdasarkan pada bidang kehidupan manusia seperti aspek
pengetahuan, ekonomi, politik, budaya, dan agama atau menurut pembagian
kewilayahan kehidupan manusia sebagai organisme jasmani-rohani. Dalam
kategorisassi nilai ini seringkali dipertimbangkan pada muculnya hierarki
nilai.
Klasifikasi Nilai
Para ahli mengklasifikan nilai dengan banyak
corak dan beragam disesuaikan dengan sudut pandang disiplin ilmu yang dimiliki.
Ahli ekonomi lebih memandang nilai secara objek material yang berhubungan
dengan jumlah nominal dari nilai tukar barang, berbeda dari sudut pandang
psikologis, behavioristik yang memangdang nilai dari sudut pandang nilai-nila
perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari situasi lingkungan sekitar individu
tersebut. Setidaknya klasidikasi nilai dapat diurutkan berdasarkan menjadi
beberapa klasifikasi, yaitu:
a.
Nilai Instrumental dan Nilai Terminal
Para ahli pendidikan
nilai khususnya rokeach (dalam Mulyana, 2004, hlm. 25) membedakan nilai menjadi
nilai terminal dan instrumental seperti pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1
Nilai Instrumental dan Nilai Terminal
Nilai Instrumental |
Nilai Terminal |
Bercita-cita keras |
Hidup nyaman |
Berwawasan luas |
Hidup bergairah |
Berkemampuan |
Rasa berprestasi |
Ceria |
Rasa kedamaian |
Bersih |
Rasa keindahan |
Bersemangat |
Rasa persamaan |
Pemaaf |
Keamanan keluarga |
Penolong |
Kebebasan |
Jujur |
Kebahagiaan |
Imajinatif |
Keharmonisan diri |
Mandiri |
Kasih sayang yang matang |
Cerdas |
Rasa aman secara luas |
Logis |
Kesenangan |
Cinta |
Keselamatan |
Taat |
Rasa hormat |
Sopan |
Pengakuan social |
Tanggung jawab |
Persahabatan abadi |
Pengawasan diri |
Kearifan |
Sumber: The
Nature of Human Values, Milton Rokeach (dalam Mulyana, 2004 hlm. 25)
Secara kronologis
kejadian nilai pada individu mengikuti urutan bahwa nilai instrumental berada
pada lapisan luar individu yang sering muncul dalam bentuk perilaku sedangkan
nila terminal atau nilai akhir lebih bersifat inberen tersembunyi dibalik nilai
instrumental yang bersifat nilai akhir dari perilaku nilai luar yang bersifat
spesifik.
b.
Nilai Ekstrinsik dan Nilai Intrinsik
Dalam istilah lain dari nilai
instrumental atau nilai perantara sering disebut nilai ekstrinsik. Lawan dari
ekstrinsik adalah nilai instrinsik yang sepadan artinya dengan nilai terminal
atau nilai akhir. Sama seperti dalam penjelasan sebelumnya, keberadaan hubungan
antara satu nilai dengan yang lainnya tidak berdiri sendiri (mutually exclusive). Sesuatu dikatakan
memiliki instrinsik jika hal tersebut dimulai untuk kebaikannya sendiri, bukan
untuk kebaikan yang lain, sedangkan sesuatu memiliki nilai ekstrinsik apabila
hal tersebut menjadi perantara untuk mencapai hal lain. Misalnya, pemilikan
pengetahuan dapat menjadi nilai instrinsik, dalam arti hal yang dinilai untuk
kebaikannya sendiri, sedangkan berperilaku rajin dalam menuntut ilmu,
kelengkapan sarana, kelengkapan sumber dan kedisiplinanbelajar merupakan
nilai-nilai instrinsik, yakni nilai yang menjadi perantara tercapainya
pemilikan pengetahuan seseorang. Contoh itu menyiratkan bahwa sebuah nilai
isntrinsik dapat dijabarkan kedalam sejumlah nilai ekstrinsik yang mendukung
terpelihara dan tercapainya nilai instrinsik.
Untuk
hal tertentu, kedua nilai dapat memiliki secara bersamaan. Hal mengenai
pemilikan pengetahuan misalnya, dapat dinilai sebagai sesuatu yang baik dalam
pengetahuan itu sendiri atau ia berada pada posisi nilai instrinsik. Contoh
misalnya nila keikhlasan dapat menjadi instrinsik ketika diperjuangkan melalui
perilaku suka menolong, mangamalkan ilmu, sungguh-sungguh dalam bekerja, dan
tawakal. Tetapi ketika keikhlasan diangkat ke permukaan sebagai
wacan”seolah-olah ikhla”, padahal keikhlasan hanya dijadikan sebagai perantara
bagi tercapainya kerelaan orang lain untuk menyumbang dan membantudirinya, maka
posisi keikhlasa ditempatkan sebagai nilai ekstrinsik.
Kedudukan nilai intrinsik
lebih permanen dan secara hierarkis lebih tinggi dari nilai ekstrinsik. Oleh
karena itu, Titus (dalam mulyana, 2004, hlm. 29) menyatakan bahwa: “Instrinsic values are to be preferred to
those that are extrinsic”. Dari arti kata, nilai instrinsik merupakan nilai
yang lebih baik dari nilai ekstrinsik. Mengapa demikian? Dalam perjalanan
kehidupan jangka manusia, nilai instrinsik yang bersumber dari nilai sosial,
intelek, estetika, dan agama cenderung memberikan kepuasan yang lebih permanen
dari nilai-nilai ekstrinsik yang kerap lahir dalam tampilan nilai material.
Karenanya, dalam memilih nilai kita harus berlandaskan pada nilai instrinsik
(nilai akhir) yang sesuai dengan keyakinan kita dan konsisten dengan tuntutan
kehidupan. Dengan demikian, kita tidak mengalami distorsi nilai dalam arti
menempatkan nilai bukan pada posisi yang seharusnya.
Dalam konteks pemahaman
agama, nilai instrik merupakan nilai yang paling esensial dan berlaku
universal. Dalam nilai-nilai instrinsik inilah, nilai kebajikan antar satu
agama dengan agama lainnya dapat bertemu sebagai kebenaran yang objektif.
Karena itu pada wilayah nilai ini, atas dasar kesamaan harga nilai instriksik
dan kecenderungan bahwa semua agama pada dasarnya sama: yakni bermisikan
kebajikan dan keselamatan, adapun yang membedakan antara satu dengan lainnya
hanyalah pada sistem keyakinan yang tersembunyi dan pada aspek ritualitas yang
tampak.
c.
Nilai Personal dan Nilai Sosial
Selain cara klasifikasi
nilai berdasarkan urutan kejadian nilai, ada pula yang membedakan nilai
berdasarkan derajat kedekatan nilai dengan pemilik nilai (individu) dan derajat
manfaat nilai bagi orang lain (sosial). Misalnya, suatu prestasi akademik yang
sering diidentifikasikan melalui indikator-indikator melalui perilaku seperti
memiliki ranking yang bagus, aktif dalam belajar dikelas, mengerjakan tugas
tepat waktu, atau memperoleh nila tes yang bagus lebih menunjukkan pada konsep
nilai skolastik tertentu yang bersifat personal, bukan sosial. Sementara itu,
ketika suatu nilai interpersonal diidentifikasikan melalui indikator-indikator
yang lebih bermakna moral-etik seperti mampu memaafkan orang lain, memiliki
rasa empati, memiliki sosiabilitas yang tinggi, atau ramah kepada orang lain,
hal tersebut lebih merujuk pada nilai yang bersifat sosial. (Mulyana, 2004, hm.
30)
Nilai-nilai yang bersifat
personal terjadi dan terkat secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang
lahir secara psikologis dalam diri seseorang, sedangkan nilai-nilai yang
bersifat sosial lahir karena adanya kontak secara psikologis maupun sosial
dengan dunia luar yang dipersepsi atau disikapi. Jenis nilai kedua yang
disebutkan diatas lebih dikenal dengan nilai-nilai moral (moral values).
Cara pengklasifikasian
nila berdasrkan personal dan sosial ini, menurut Monica Thapar (dalam Mulyana,
2004 hlm. 31) terjadi sebagai konsekuensi dari kencendurangan umum bahwa
seseorang berpegang pada nilai tertentu dikarenakan dia melihat adanya manfaat
dari realisasi nilai tersebut bagi orang lain. Atas dasar kecenderungan inilah
maka muncul klasifikasi nilai sesuai dengan orientasi nilai, yakni berdasrkan
tingkat kedekatan hubungan nilai dengan pemilik nilai dan hubungan antara nilai
dengan orang lain yang merasakan manfaat dari nilai yang diwujudkan.
d.
Nilai Subjektif dan Nilai Objektif
Nilai yang dialami
manusia dapat juga dikelompokkan berdasarkan tingkat subyektifitas dan
objektivitas nilai. Sesuai dengan istilahnya subyektifitas mencerminkan tingkat
kedekatan subyek dengan nilai yang diputuskan oleh dirinya. Disini sikap
sentilmentil, emosi, suka atau tidak suka, memainkan peranan dalam menimbang
dan memutuskan nilai. Peristiwa makan, minum, bermain, atau mendengarkan musik
pada kenyataannya telah melibatkan perasaan senang terhadap apa yang kita
sukai.lebih konkret lagi, ada orang yang lebih suka makan dirumah bersama
keluarganya, namun ada pula yang senang makan diluar seperti direstoran.
Ada perbedaan dalam
pilihan yang didasarkan perasaan senang atau tidak senag menunjukkan bahwa
nilai dapat dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan seleranya masing-masing.
Nilai yang beragam tersebut merupakan nilai yang didasarkan pada pilihan
objekatau disebut nilaisubjektif. Adapun benda atau hal yang dirujuk seperti
makan, minum, bermain, mendengarkan musik, itu menjadi ciri manifestasi nilai
subyektif pada dunia luar.seperti dinyatakan Titus (dalam Mulyana, 2004, hlm.
32) bahwa nilai berada pada sisi dalam, tetapi hal itu ditampakkan oleh hal-hal
yang menyangkut pemenuhan keinginan sesorang. Dengan demikian, nilai subyektif
menekankan pada fakta bahwa nilai yang diperoleh melalui pertimbangan kebaikan
dan keindahan memiliki beragam bentuk yang dilatarbelakangi oleh perbedaan
pilihan individu, kelompok, atau usia.
Berbeda dari nila
subyektif, nila obyektif mencerminkan tingkat kedekatan nilai dengan obyek yang
disifatinya. Mengenai nilai subyektif ini titus menyatakan bahwa nilai secara
tegas ada disana (out there) untuk
kita temukan. Dari pernyataan inilah fakta nilai kualitas yang dimiliki oleh
benda atau hal mendahului pertimbangan nilai seseorang. Meski seseorang
tertarik pada suatu benda atau hal, ia sebenarnya tidak mengkreasi nilai. Dalam
bahasa sehari-hari, misalnya, kita sering mendengar perkataan “Lukisan ini memikatku”. Perkataan itu
mengandung arti bahwa nilai keindahan (estetika) yang dimiliki lukisan telah
mendahului timbangan nilai seseorang sehingga dengan sukarela ia menyukainya.
Keindahan lukisan lebih diakibatkan oleh warna, tekstur, ukuran, dan relief
bukan karena pertimbangan nilai oleh seseorang karena sesungguhnya nilai
keindahan pada lukisan melekat pada lukisan itu sendiri.
Nilai objektif dapat juga
terjadi pada nilai etika, seperti nila nila etika yang bersumber dari agama,
pada umumnya bersifat obyektif. Pada abad pertengahan objektifitas nilai
menjadi pusat perhatian utama. Objektifitas nilai yang meletakkan nilai
kebaikan religi pada sumber tertinggi, yakni Tuhan. Dengan demikian, nilai
kebaikan ditempatkan sebagai kebenaran mutlak yang terlepas dari perasaan suka
atau tidak suka seseorang. Nila tersebut mencerminkan kondisi fisik, psikologis
dan sosial yang dibutuhkan oleh orang dimanapun. Dalam arti kata, nilai
obyektif itu sering berlaku universal dan pilihan kata terhadap nilai obyektif,
pada dasarnya terbatas. Bahkan karena sifatnya yang universal, proses
pengalamalan nilai kerap dilakukan secara paksa agar manusia dapat memilikinya.
Kategorisasi Nilai
Untuk keperluan suatu analisis, ahli filsafat
nilai membagi nilai ke dalam beberapa kelompok. Pembagian memang cukup beragam
tergantung pada cara berpikir yang digunakannya. Tetapi, pada dasarnya
pembagian nilai dilakukan berdasarkan pertimbangan dua kriteria, yaitu nilai
dalam bidang kehidupan manusia dan karakteristik jenis nilai secara hierarkis.
Dalam teori nilai yang digagasnya, spranger
(dalam Mulyana, 2004) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering
dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam
nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi
seseorang, karena itu, Sparanger merangcang teori nila itu kedalam istilah tipe
manusia (the types of man), yang
berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat dari pada salah satu
diantara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud
adalah nilai teoretik , nilai ekonomis, nilai estetis, nilai sosial, nilai
politik, dan nilai agama. Nilai-nilai tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a.
Nilai Teoritik
Nilai ini melibatkan
pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran
sesuatu. Nila teoritik memiliki kadar benar-salah menurut menurut timbangan
akal pikiran. Karena nilai ini erat dengan konsep aksioma, dalil, prinsip,
teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian
ilmiah. Kadar kebenaran teoritik filsafat lebih mencerminkan hasil pemikiran
radikal dan komprehensif atas gejala yang lahir dalam kehidupan; sedangkan
kebenaran ilmu pengetahuan menampilkan kebenaran objektif yang dicapai dari
hasil pengujian dan pengamatan yang mengikuti norma ilmiah. Karena itu,
komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah para filosof dan ilmuwan.
b.
Nilai Ekonomis
Nilai ini terkat dengan
pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangkannya adalah
harga dari suatu barang atau jasa. Karena itu nilai ini lebih mengutamakan
kegunaan sesuatu bagi kehidupan manusia. Secara praktis nilai ekonomis dapat
ditemukan dalam pertimbangan nilai produksi, pemasaran, konsumsi barang,
perincian kredit keuangan, dan pertimbangan kemakmuran hidup secara umum. Oleh
karena itu, pertimbangan nilai relatif-pragmatis. Spanger melihat bahwa dalam
kehidupan manusia seringkali terjadi konflik antara kebutuhan nilai dengan lima
nilai lainnya (teoritis, estetis, sosial, politik, dan religius). Kelompok
manusia yang memiliki minat kuat terhadap nilai ini adalah pengusaha, ekonomi,
atau setidaknya orang yang memiliki jiwa materialistik.
c.
Nilai Estetik
Nilai estetik menempatkan
nilai tertingginya pada bentuk dari keharmonisannya. Apabila nilai ini ditilik
dari sisi subyek yang dimilikinya, maka akan muncul kesan indah tidak indah.
Nilai estetik berbeda dari nilai teoritik.
Nilai estetik lebih mencerminkan pada keragaman, sementara nilai
teoretik mencerminkan identitas pengalaman. Dalam arti kata, nilai estetik
lebih mengandalkan pada hasil penelitian pribadi seseorang yang bersifat
subyektif, sedangkan nilai teoretik melibatkan timbangan obyektif yang diambil
dari kesimpulan atas sejumlah fakta kehidupan. Dalam kaitannya dengan nilai
ekonomi, nilai estetik melekat pada kualitas barang atau tindakan yang memiliki
sifat keindahan maka dengan sendirinya ia akan memperoleh nilai ekonomis yang
tinggi. Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman, seperti musisi,
pelukis, atau perancang model.
d.
Nilai Sosial
Nilai tertinggi yang
terdapat dari nilai ini adalah kasih sayang antar manusia. Karena itu kadar
nilai ini bergerak pada rentang antara kehidupan yang indivudualistik dengan
yang altruistik. Sikap tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosialibitas,
keramahan dan perasaan simapti dan empati merupakan perilaku yang menjadi kunci
keberhasilan dalam meraih nilai sosial. dalam psikologi sosial, nilai sosial
yang paling ideal dapat dicapai dalam konteks hubungan interpersonal, yakni
ketika seseorang dengan yang lainnya saling memahami. Sebaliknya, jika manusia
tidak memiliki perasaan kasih sayang dan pemahaman terhadap sesamanya, maka
secara mental ia hidup tidak sehat. Nilai sosial banyak dijadikan pegangan
hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia
atau dikenal sebagai filantropik.
e.
Nilai Politik
Nilai tertinggi dalam
nilai ini adalah kekuasaan. Karena itu, kadar nilainya akan bergerak dari
intensitas pengaruh yang rendah sampai pada pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor
penting yang berpengaruh terhadap kepemilikan nilai politik pada diri
seseorang. Sebaliknya, kelemahan adalah bukti dari seseorang yang tertarik pada
nilai ini. Ketika persaingan dan perjuangan menjadi isu yang kerap terjadi
dalam kehidupan manusia, para filosof melihat bahwa kekuatan (power) menjadi dorongan utama dan
berlaku universal pada diri manusia.
Namun, apabila dilihat dari kadar kepemilikan nilai politik memang menjadi
tujuan utama orang tertentu, seperti para politisi atau penguasa.
e.
Nilai Agama
Secara hakiki sebenarnya
nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat
dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran
tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainya pun lebih luas. Struktur
mental manusia dan kebenaran mistik-trensendental merupakan dua sisi unggul
yang dimiliki nilai agama, karena itu, nilai tertinggi yang harus dicapai
adalah kesatuan (unity). Kesatuan
berarti adanya keselarasan semua unsur kehidupan yaitu antara kehendak manusia
dengan perintah Tuhan, antara ucapan dengan tindakan, atau antara i’tiqad
dengan perbuatan. Sranger (dalam Mulyana, 2004, hlm. 35) melihat bahwa pada
sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Diantara kelompok
manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam,
atau orang-orang yang shaleh.
Hierarki Nilai
Selain klasifikasi dan kategorisasi nilai,
para ahli juga mengurutkan nilai berdasarkan tingkatan keutamaannya. Urutan ini
membentuk suatu yang disebut hierarki nilai. Menurut Max Scheler, nilai dalam
kenyataannya ada yang lebih tinggi ada juga yang lebih rendah jika dibandingkan
antara satu dengan yang lainnya. Karena itu, nilai menurut Max Scheler memiliki
hierarki yang dapat dikelompokkan kedalam empat tingkatan, yaitu:
a.
Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang
menyenangkan atau sebaliknya yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita
b.
Nilai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting
bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum, dan
seterusnya.
c.
Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak
tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. Nilai-nilai semacam ini adalah
keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.
d.
Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai yang suci maupuntidak
suci. Nilai-nilai ini terutama lahir dari nilai ketuhanan sebagai nilai
tertinggi. (Mulyana, 2004, hlm. 39).
Hierarki nilai tersebut
ditetapkan Scheller dengan menggunakan empat kriteria, yaitu: semakin tahan
lama semakin tahan lama semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan
tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya, semakin tidak tergantung
pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin
tinggi fungsinya. (Mulyana, 2004, hlm. 39)
2.1.5
Pendidikan Nilai 3M (Moral Knowing, Moral Feeling, Moral
Action)
Sebagaimana yang telah
kita fahami bahwa pendidikan nilai sudah sering diterapkan didalam kehidupan
bahkan dijadikan pedoman dalam kehidupan. Pendidikan nilai mampu membimbing
anak untuk berperilaku, namun perilaku anak terkadang hanya mengetahui perilaku
tersebut namun tidak menerapkannya, begitu juga sebaliknya. Menurut William
Klipatrick, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku
baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (Moral Knowing), yaitu karena ia terlatih untuk melakukan kebaikan
atau moral action. Untuk itu, orang
tua tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebaikan, namun harus terus
membimbing anak sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan sehari-hari
anak.
Dalam pendidikan nilai,
Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen nilai yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang
moral, moral feeling atau perasaan
tentang mental, dan moral action atau
perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan
mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebaikan.
1.
Moral Knowing
adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui
nilai-nilai moral), perspective taking,
moral reasoning, decision making dan self
knowledge.
2.
Moral Feeling
adalah aspek yang lan yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber
energi dari diri manusia untuk bertindak sesua dengan prinsip-prinsip moral.
Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh
seseorang untuk menjadi manusia
berkarakter, yakni conscience (nurani),
Self esteem (Percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang
lain), Loving the good (mencintai
kebenaran), Self control (mampu
mengontrol diri), Humility (kerendahan
hati).
3.
Moral Action
adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan
nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa
yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter,
yaitu kompetensi (competence),
keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Kompleksitas dari ketiga komponen nilai tersebut, dapat memberikan sikap
positif dalam kehidupan, karena anak akan mampu memahami