Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen : Rasa yang Abadi

 


RASA YANG ABADI

 

Pagi yang cerah. Kelopak mataku berkedip berusaha melawan cahaya yang datang dari balik jendela kamarku.

Aku menatap sekeliling ruangan yang berwarna putih dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Banyak potret-potret sepasang kekasih yang menghiasi kamarku ini.

Senyumanku tercipta saat mataku terfokus pada wajah-wajah tampan disemua foto itu. Wajah tampan yang hanya di miliki olehnya seorang.

 

Seseorang yang paling kusayangi. Dia adalah Jeon Jungkook.

Tanganku mulai membuka selimut yang menutupi tubuhku, berusaha bangun dari tempat yang paling nyaman ini. Kurapihkan tempat tidurku dan selimut hangat itu dan mengambil benda persegi panjang milikku yang terletak di atas meja kecil disamping tempat tidurku.

1 September

Deretan gigi putihku akhirnya tampil disaat ku melihat tanggal itu terangkai di layar ponsel milikku.

Setelah melihatnya, kuletakkan kembali ponselku di tempat semula, dan pergi ke kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi. Kulangkahkan kakiku ke dinding yang ada banyak foto-foto.

Senyumanku  masih terukir bersama mataku yang tanpa bosan memandang semua foto di depanku ini.

 

Tatapanku berhenti tepat disebuah foto yang menampilkan wajah kesal seorang Jeon Jungkook. Foto yang ku ambil saat ulang tahunnya tahun lalu.

Sekarang aku terkekeh sendiri mengingat masa lalu itu.

Aku kembali melangkahkan kakiku keluar menginggalkan kamarku, dan kuhentikan langkahku tepat di depan kulkas untuk memastikan kue kesukaannya masih berada disana.

“Aku tidak akan lupa lagi, tuan Jeon.”ucapku sambil melihat kue tersebut.

Aku kembali terkekeh saat mengingat kebodohanku di tahun lalu. Melupakan hari kelahiran kekasihnya sendiri. Yang pada akhirnya aku diacuhkan selama 3 hari oleh Jungkook saat itu.

Jam dinding sudah  menunjukkan pukul 7.

 

Hari ini aku libur bekerja. Karena aku tidak ingin melewatkan hari ini begitu saja.

Aku kembali ke kamarku, dan memilih beberapa pakaian yang terbaik yang akan kukenakan nanti.

Setelah semuanya siap, sekarang yang harus kulakukan hanyalah mandi dan menyiapkan diri untuk bertemu dengannya.

Dress berwarna putih selutut dengan lengannya yang pendek sebagai pilihanku, dan sekarang sudah melekat dengan nyaman ditubuhku.

 

Kulangkahkan kakiku untuk mengambil jaket kulit berwarna biru yang kugantung dengan rapi di dekat jendela. Jaket tersebut adalah jaket milik Jungkook yang lupa ia bawa dan tidak pernah kukembalikan. Aku bisa merasakan aroma dan kehangatan saat mengenakan jaket ini, mengusir sedikit kerinduanku padanya.

Kuraih ponselku dan mengetik pesan singkat untuknya.

“Oppa, aku menunggumu di tempat biasa.”

Itulah pesan yang kukirim untuknya.

Aku tersenyum setelah melihat pesanku terkirim.

Kulangkahkan kakiku keluar rumah sambil membawa kotak persegi yang berisikan kue.

Taman.

 

Aku sudah sampai di tempat biasa kami bertemu.

Jeon Jungkook sangat menyukai taman, karena di taman selalu dipenuhi oleh anak-anak kecil yang menggemaskan. Dan ia sangat menyukai anak-anak.

Kurapikan dressku dan duduk dengan nyaman di salah satu bangku yang ada di taman, dan meletakkan kotak kue disampingku.

Dari sini aku bisa melihat anak-anak  bermain bersama, berlarian dan tertawa lepas, mereka terlihat sangat bahagia.

Melihat mereka seperti itu, mengingatkanku pada Jungkook yang tidak jauh berbeda seperti anak-anak itu.

 

Dia selalu tertawa dan memperlihatkan senyumannya yang khas, yang membuat kupu-kupu di perutku terbangun dan mengepak serentak. Yang dapat menghasilkan rona merah di pipiku dan degupan yang tak teratur di dadaku. Dan yang selalu berhasil membuat ku tertawa lepas tanpa berhenti.

Ya, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.

Hari mulai gelap. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di sini menunggunya.

Ah, dimana dia? Apakah dia sedang sibuk?

 

Langit mendung menutupi matahari sejak tadi, hingga aku tidak tahu letak matahari sekarang.

Sedikit demi sedikit tetesan air hujan pun turun membasahi bumi.

Orang-orang dan anak-anak imut itu mulai berhamburan pergi meninggalkan taman. Hanya aku yang tak bergeming dari bangku ini.

Ah! Kuenya!

Kuraih kotak disampingku yang sudah setengahnya basah. Kubuka jaketku dan ku pakai untuk melindungi kotak kue itu yang entah bagaimana isinya sekarang.

Jungkook, kau pasti datangkan?

Apa sekarang kau yang lupa dengan hari ulang tahunmu?

Sekilas aku tersenyum.

 

Aku menutup rapat mataku, berusaha menikmati tetesan air hujan yang terasa tajam dikulit dan membuatku menggigil kedinginan.

Mataku terbuka setelah merasakan tetesan-tetesan itu berhenti menerpa kulitku lagi. Aku mengangkat kepalaku ke atas. Kumelihat ada sebuah payung berwarna hitam yang sedang melindungiku dari tetesan hujan. Payung yang pernah ku belikan untuk Jungkook dulu.

Senyumku mengembang, segeraku alihkan pandanganku ke wajah orang   yang sedang memegang payung tersebut yang berada di depanku.

“Jungko—“

“bisakah kau berhenti?”

Kalimat itu memotong panggilanku

Seketika senyumanku memudar.

Bukan. Itu bukan dia.

 

“Berhentilah!” ia kembali melanjutkan perkataannya. “Kenapa kau tidak bisa berhenti? Untuk kesekian kalinya kau selalu seperti ini. Disetiap bulan, dan tanggal yang sama.” Dia mendesah dan mulai duduk di sampingku.

“Berhentilah mengirimnya pesan. Pesanmu tidak akan pernah ia baca!” ucap laki-laki tersebut sambil sedikit berteriak kepadaku.

 

“Pergilah!” balasku sambil berteriak kearahnya dan memberikan tatapan tajam.

Kim taehyung, laki-laki tersebut yang ku kenal sebagai saudara tiri kekasihku itu terkejut.

“Dengarkan aku kali ini,” ucapnya melembut sambil memegang tanganku.

Aku berusaha melepaskannya, tapi genggamannya semakin erat.

“Jungkook. Dia sudah tiada..”

 

“Berhenti.” Ucapku memotong perkataannya.

“Ia sudah pergi 6 bulan yang lalu” lanjutnya.

“Berhenti! Kumohan.” Aku pun mulai terisak.

Aku membenci kata-kata itu, kalimat yang membuatku mengingat bahwa ia sudah meninggalkanku bersama senyuman bodohnya itu karena penyakit sialan yang menyerang dan menyiksanya secara tiba-tiba itu memaksanya meninggalkanku. Membuat batinku tersiksa oleh kenangan bersamanya yang sudah terjalin sejak kami kecil.

Tangisanku pecah bersamaan dengan sebuah pelukan yang berusaha menenangkanku.

 

Air hujan kembali mengguyur tanpa henti.

“Kumohon berhentilah menyiksa dirimu sendiri.” Ucapnya sambil masih memelukku.

“Aku akan menggantikannya untukmu. Aku akan selalu berusaha membuat namaku menggantikan namanya dihatimu, tapi itu semua akan sia-sia jika kau tidak mau berusaha melupakannya.” Lanjutnya, membuatku terdiam tidak bisa membantah kenyataan itu.

Dia melepaskan pelukannya dariku, dan menatap mataku.

 

“Ia hanya menginginkan senyumanmu, bukan tangisan seperti ini.” Ucap Taehyung sambil mengusap pelan pipiku yang dibasahi air mata bercampur air hujan dengan lembut.

“Jika kau terus seperti ini, aku yakin wajah bodohnya itu akan bersedih disana.” Lanjutnya mengusap rambutku yang sudah basah.

 

“Mari kita lupakan dia, agar dia bahagia disana.” Taehyung menggenggam kedua tanganku dan memberikanku senyuman hangat.

Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.

Aku tidak bisa mengangguk apalagi berkata iya.

Hanya wajahnya, senyuman khasnya, sikap konyolnya dan semua tentangnya yang ada di hatiku selamanya.

Melupakannya?

 Sangat tidak mungkin.