Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen : Zara

 



ZARA

Karya : Wida Nursaadah

 

Namaku Muhammad Rizal Maulana, aku lahir di Bandung, pada tanggal 31 Mei 1997. Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Ayahku bernama Nizar dan ibuku bernama Hanifah. Izal adalah nama panggilanku. Sekarang aku sedang menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dengan jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi. Aku seorang aktivis mahasiswa. Aku mengikuti beberapa organisasi seperti BEM dan HIMA.

 

Belakangan, hari-hari semakin membosankan. Waktu berjalan sangat cepat, berotasi tanpa henti, berputar meski kadang tak sesuai dengan porsi yang diinginkan. Semakin bertambah waktu, semakin dewasa dan egois. Detik demi detik, aku seperti sedang menabung tuntutan. Tuntutan agar cepat selesai, tuntutan agar bijaksana, tuntutan agar jadi manusia. Tak ada yang menghiraukan, hingga akhirnya dirimu hadir membawa secercah harapan. Pernah kulihat rupamu, namun tak pernah kudengar namamu.

 

Pertemuan tak sengaja yang dirancang oleh semesta. Dalam acara pentas seni rupanya, semesta mempertemukan kita. Mungkin hanya sekejap, namun begitu teringat. Kamu menatapku dengan tajam. Tatapanmu laksana macan menerkam. Aku menatapmu kembali, dengan tatapan tanpa kedip sama sekali. Namun tatapan itu aku akhiri dan aku segera berpaling dan pergi.

 

Awalnya aku tak peduli, bahkan tak ingin tahu sama sekali. Namun ternyata aku tidak menyadari, bahwa hatiku telah kau curi. Entah kenapa pertemuan malam itu selalu terlintas dalam ingatanku. Sungguh, kau telah mencuri hatiku dan menghantui kehidupanku. Perlahan, separuh aku berpihak pada waktu. Ingin membersamai tapi takut pilu. Namun lama berlalu, seluruh atomku seakan bergravitasi ke arahmu. Jatuh sejatuh-jatuhnya tanpa dasar dan pegangan akar randu. Logikaku juga sudah membatu, memilih kamu sebagai pendamping hidupku. Hingga akhirnya, aku putuskan untuk mencari tahu tentangmu.

 

Hari demi hariku terus berlalu, aku yang mencari tahu tentang dirimu akhirnya tahu. Ya, Mutiara Zara, seorang mahasiswi cantik jelita dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ayahnya bernama Hamzah Nasution dan ibunya bernama Agustini. Zara adalah nama panggilannya, ia lahir di Yogyakarta, pada tanggal 09 Desember 1997. Zara tak hanya cantik rupa, namun juga cantik hatinya. Sifatnya yang lemah lembut, ramah, sopan, juga dermawan membuatku tidak berpikir panjang untuk langsung mendekatinya.

 

Jinak-jinak merpati rupanya, bisa didekati namun susah untuk dimiliki. Namun, wanita seperti inilah yang selama ini aku cari. Butuh perjuangan untuk medapatkannya. Sangat berharga Zara, jika sudah kudapatkan takkan mungkin kulepaskan. Gadis lugu dan lucu ini sungguh sangat memikat hati, dengan gayanya yang sederhana dan apa adanya membuatku semakin tertarik padanya. Meski ia pura-pura tak mengerti, aku tetap tak berhenti untuk membuktikan setulus apa cintaku ini.

 

Setelah sekian lama menanti, akhirnya Zara dapat membuka hati untuk menerima diriku ini. Hanya saja ia tidak bicara, ia hanya ingin tahu sejauh mana aku dapat bertahan untuk menunggunya. Namun pada kenyataannya, aku adalah orang yang mahir dalam merayu dan sabar dalam menunggu, apalagi untuk wanita berharga sepertimu, Zara.

 

Kini aku dan Zara dekat, bahkan kian hari semakin dekat. Saling menyapa, kemudian lanjut banyak berbicara. Dan tanpa aku sangka beberapa minggu setelahnya, tepatnya di Isola pada tanggal 30 Agustus 2015 pada pukul 10.00 WIB, aku mengutarakan perasaanku pada Zara. Sebenarnya aku ragu untuk mengungkapkannya, tapi aku yakin, jawabannya adalah yang terbaik, untukku ataupun untuknya. Tetapi pada kenyataanya Zara menerimaku, dan akhinya aku dan Zara menjalin hubungan asmara.

 

Hubungan kami berjalan dengan baik, hingga suatu saat aku dipercaya sebagai calon ketua BEM di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Ini bukan sebuah hadiah, tapi sebuah amanah, dan memegang amanah bukanlah perkara yang mudah. Belum lagi, jika aku  terpilih menjadi Ketua BEM, aku harus pandai membagi waktu. Waktu untuk tugasku, untuk keluargaku, untuk organisasiku dan untuk kekasihku, Zara.

 

Hal sekecil apapun selalu kuceritakan pada Zara, hampir seluruh kisah hidupku kuceritakan pada Zara. Entah kenapa untuk hal ini hatiku sangat berat untuk menceritakannya. Aku takut Zara tidak bisa menerimanya, karena waktu untuk bersama dengan Zara tidak akan lagi seperti biasa. Sementara selama ini, aku dan Zara sering bersama, mungkin ini sangat berat bagi Zara. Namun apa daya, aku juga harus menerima konsekuensi dari apa yang aku ikuti.

 

Dan memang benar, Zara tidak bisa menerimanya. Meski ia tidak bicara, namun aku bisa melihat dari raut wajahnya. Mungkin bukan tidak bisa menerima, tapi tidak siap untuk menerima konsekuensinya, karena menjadi seorang kekasih Ketua BEM perlu sabar, sabar selalu ditinggal pergi, diberi janji namun sering diingkari, digerumuti banyak perempuan, bahkan lebih dekat dengan perempuan lain. Tapi, aku mencoba untuk meyakinkan Zara bahwa bisa saja bukan aku yang menjadi ketuanya. Aku juga bicara padanya bahwa waktuku akan selalu ada untuknya.

 

“Tenang Zara, waktuku untukmu akan selalu ada.” ucapku untuk menenangkan hati Zara.

Takdir tidak bisa dipungkir, aku terpilih menjadi ketua. Aku bingung aku harus bagaimana, ini bukan hal mudah. Dan ini kali pertama aku menjadi seorang pemimpin. Aku pun bingung harus bagaimana bicara pada Zara. Entah apa yang ada dalam pikiranku waktu itu, aku hanya bisa pasrah berdiam diri dan menerima semua kenyataan ini. Aku tak berbicara pada Zara, tetapi Zara telah mengetahuinya.

 

Hari terus berganti, tanggung jawabku aku penuhi. Namun, kian hari Zara semakin menjauh seakan ingin berhenti dan pergi. Kutanyakan padanya, ia tak apa-apa. Namun kuercaya ia telah berdusta, pasti ada sesuatu yang disembunyikannya.

 

Emosiku dibuatnya naik turun tak menentu dan tak peduli akan waktu. Di satu sisi, aku takut pada akhirnya aku benar-benar harus melepaskanmu. Di sisi lain, aku tahu aku tidak boleh egois perihal rasaku padamu. Dan di sisi lainnya pula, aku juga punya tanggung jawab terhadap organisasiku. Ketakutanku akan segala hal, pikiran burukku akan segala kemungkinan, dan segala masa lalu yang sempat menjadi pembelajaran, menjadikan aku tidak pernah tepat. Kamu tahu itu, tapi kamu belum juga damai dengan keaadaanku.

 

Saat aku sedang banyak pikiran, pikiran akan acara yang datang, tugas-tugas yang  belum sempat kukerjakan, juga persiapan acara yang belum matang. Tiba-tiba Zara menelponku dan mengajakku bertemu. Firasat tidak menyenangkan timbul dalam hatiku. Dan benar, ketika aku datang, Zara sudah duduk manis di kursi taman dengan memberikan senyuman yang begitu mencurigakan. Baru saja aku duduk di sebelahnya, Zara langsung bicara.

 

“Semakin lama, semakin tiada.” itulah yang dikatakan Zara.

“Ada apa, Zara? Aku yakin ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan namun kamu pendam dan kamu sembunyikan.” jawabku pada Zara.

“Sering diberi janji, namun tak pernah ditepati itu, sakit ya? Ditiup senang dengan kebetulan, lalu dihepas pilu dengan kenyataan itu, sakit ya? Sudah buru-buru harus lepas sebelum satu asa saja sempat bertunas, pedih ya?” tanya Zara dengan mata yang berkaca-kaca.

“Sering kujelaskan padamu Zara, bukan aku tak mau untuk menepati janji. Tetapi situasi dan kondisi yang memaksaku untuk kembali lagi ketika akan pergi bersamamu.” ucapku menjawab pertanyaan Zara.

 

“Kau bilang akan selalu ada, nyatanya sementara dan berakhir lupa. Kau bilang peduli, nyatanya tak lebih dari sekedar ilusi. Kau bilang akan membantu, nyatanya semu, semuanya palsu. Kau bilang siap mendengar cerita, namun ketika bersuara kau tidak pernah menanggagpinya. Tidak perlu bilang akan menemani jika ingin cepat-cepat pergi, tidak perlu bersandiwara bila menanggapi pesanku pun harus ditunda.” ucap Zara padaku.

“Apa yang sebenarnya kau katakan, Zara? Apakah kamu sudah tak ingin lagi bersama?” tanyaku pada Zara.

“Sudahlah. Aku sudah tau semuanya.” ucap Zara dengan pasrah seakan mengetahui segalanya.

 

“Harus kujelaskan bagaimana lagi? Aku tidak pernah berbohong padamu Zara.” ucapku pada Zara dengan nada yang hampir marah.

“Terserah.” ucap Zara semakin pasrah.

“Baiklah. Jika ini yang kamu inginkan, kita akhiri saja semuanya.” ucapku ada Zara dan langsung pergi meninggalkannya.

 

Emosi yang tak terkendali dan menguasai diri membuatku tega untuk meninggalkannya yang menangis sendiri. Aku tak tau apa yang merasuki jiwa ini, hingga aku dapat mengungkapkan kata yang selama ini aku pantang sebelumnya. Menyesal? Tentu, aku meninggalkan perempuan yang sangat berharga dalam hidupku.

 

Biar purnama yang mahir mengukir cerita. Namun tetap, aku dan Zara kini tidak lagi bisa bersama. Jarak aku dan Zara sekarang sudah tak lagi dekat. Yang ada hanya ingatanku pada Zara yang semakin pekat. Sepertinya Zara sudah sangat sakit hati dengan sikapku waktu itu. Kini, Zara sudah tidak pernah menjawab pesanku lagi, bahkan bertemu pun ia tak sudi.