Cerpen : Nol
NOL
Untuk kesekian kalinya, aku sedang menatap
laut yang mulai memakan sang surya. Airnya yang begitu tenang, menghanyutkan perasaan
untuk ikut kedalamnya. Burung-burung pun mulai terbang sambil bernyanyi diikuti
pohon kelapa yang menari-nari. Semua itu ku nikmati sendiri di pulau tak
berpenghuni. Pulau yang tak sengaja ku singgahi ketika sedang menjelajahi waktu.
Mungkin ini terdengar aneh. Tapi semua ini terjadi karena aku seorang
sinestesia. Seseorang yang memiliki kemampuan istimewa. Dimana aku bisa mendengar warna, melihat suara
dan tentu saja menjelajahi waktu.
Kemampuan sinestesia ini membuatku memutuskan
untuk menjadi salah satu anggota kelompok rahasia pemerintah, yaitu Jatayu.
Sebenarnya kelompok ini pernah dibentuk saat negeri ini baru merdeka, tetapi
kemudian dibubarkan karena pemerintah merasa kelompok ini sudah tidak lagi
dibutuhkan. Tetapi entah kenapa, pemerintah memutuskan untuk membentuk kembali kelompok
ini.
Tak terasa, kini sang surya telah berganti
purnama. Karena itu ku putuskan untuk kembali ke zamanku. Caranya hanya dengan
memejamkan mata dan menyebutkan waktu yang ingin ku kunjungi. Ketika aku membuka
mata, waktu di zamanku ternyata masih pagi hari dimana jarum jam membentuk
sudut tegak 90°.
Drrrtt…
Ponselku yang ada di atas meja bergetar,
menandakan adanya pesan masuk. Ketika ku lihat, ternyata pesan tersebut berasal
dari grup Jatayu yang memberi perintah kepada seluruh anggota untuk segera
berkumpul di markas. Setelah melihatnya, aku langsung bergegas menuju markas dengan
perasaan heran, tak biasanya Jatayu mengadakan rapat saat hari libur.
Sesampainya di markas, aku melihat seluruh anggota
kelompok telah berkumpul. Aku meminta maaf atas keterlambatanku, kemudian
langsung duduk di dekat Orion. Ia adalah salah satu temanku yang juga seorang
sinestesia.
“Diana, mengapa kamu bisa terlambat?” Tanya
Orion ketika aku baru saja duduk di sampingnya.
“Biasalah, penyakit ibu kota.” Jawabku yang
dibalas anggukan mengerti dari Orion.
Instruksi dari ketua Jatayu, Rigel mengalihkan
semua perhatian agar tertuju padanya. Ia berdiri di depan bersama seseorang
yang kami kenal, bahkan dikenal luas seantero negeri. Ya, ia adalah Pak
Presiden.
“Siang semuanya! Sebelumnya, saya minta maaf
karena telah mengganggu hari libur kalian. Tapi ini dilakukan karena ada hal
penting yang akan disampaikan oleh Pak Presiden.” Ucap Rigel.
“Seperti yang kalian ketahui, saat ini negara
sedang diresahkan dengan adanya isu-isu yang kurang mengenakan. Minggu lalu
pemerintah menerima surat dari anonim yang cukup membuat kami khawatir.” Ucap
Pak Presiden sembari menunjukan surat yang dimaksud.
Temukan dan
jagalah harta karun peninggalan Soekarno!
Itulah yang tertera dalam surat tersebut.
Hanya satu kalimat. Tetapi cukup membuatku mengerti apa yang dikhawatirkan oleh
pemerintah.
“Saya khawatir jika memang harta karun
Soekarno tersebut memang benar-benar ada. Takutnya, harta karun tersebut berhasil
ditemukan oleh orang yang memiliki niat jahat terhadap negeri ini. Jadi, saya
ingin kalian menemukan anonym yang mengirimkan surat dan menemukan harta karun
yang dimaksud. Terima kasih sebelumnya dan saya minta maaf karena tidak bisa
lama di sini. Selamat Siang!”
Aku tak menjawab. Kini pikiranku terfokus pada
isi surat tersebut. Aku merasa ada yang aneh di surat tersebut. Aku merasa
bahwa anonym yang mengirim surat tersebut mengetahui harta karun yang dimaksud.
Tetapi mengapa anonym tidak menemukannya saja dan menjaganya. Atau mungkin
anonym memang sudah memilikinya. Lamunanku buyar saat Orion menepuk bahuku dan
menunjuk ke depan. Ternyata ketua sedang menuliskan orang yang akan menangani
kasus ini.
Rigel,
Orion, dan Diana.
Saat yang lain telah pulang, aku mulai
menyuarakan kalimat yang sedari tadi tertahan di tenggorokan, “Mengapa hanya
tiga orang yang menangani kasus ini?” Tanyaku.
“Karena sepertinya ini tidak akan begitu
sulit, jika kita bisa menangkap anonym, kita juga akan mengetahui apa harta
karun yang dimaksud. Selain itu, aku juga mengetahui kalau kalian adalah sinestesia sepertiku, sehingga
memudahkan pencarian.” Jawab Rigel.
“Bagaimana kamu mengetahuinya?” Tanya Orion.
“Karena aku bisa melihat dan merasakan aura sesama
sinestesia.” Jawab Rigel
“Baiklah, kita mulai pencariannya sekarang. Kalian
berdua ikut denganku ke ruang kerja Pak Presiden minggu lalu, kita cek langsung
kejadiannya karena rekaman CCTV minggu lalu telah ada yang menghapusnya.” Ucap
Rigel yang langsung diangguki aku dan Orion. Kami langsung berpindah ke ruang
kerja Pak Presiden minggu lalu dengan kekuatan sinestesian.
Saat membuka mata, yang kulihat ini mungkin
ruang kerja Pak Presiden. Tiba-tiba terdengar suara sepatu yang bergesekan
dengan lantai menuju ke ruangan ini. Aku, Rigel dan Orion kalang kabut
menemukan tempat bersembunyi. Akhirnya, kami bersembunyi di kamar mandi sambil
melihat ke ruangan tadi dari celah kecil. Tak lama kemudian terdengar suara pintu
terbuka, dan masuklah laki-laki berpakaian serba hitam dengan masker dan topi
bertengger di kepalanya. Entah bagaimana ia bisa masuk ke tempat yang dijaga
ketat ini. Ia hanya menyimpan amplop yang ku yakini berisi surat di meja kerja
Pak Presiden, kemudian keluar lagi.
Aku, Orion dan Rigel megikuti laki-laki
berpakaian hitam tadi secara sembunyi-sembunyi. Ternyata ia menuju ke tempat
yang terlihat seperti organisasi. Kami bertiga tidak bisa mengikutinya lebih
jauh lagi. Sehingga kami hanya bertanya pada warga yang berada di sekitar
tempat itu.
“Maaf bu, saya ingin bertanya. Itu tempat apa
ya pak?” Tanya Rigel sambil menunjukkan tempat yang dimaksud.
“Oh, itu organisasi MATA yang berisi
orang-orang yang tidak menyukai cara pemerintahan yang sekarang.”
“Benarkah? Tetapi mengapa pemerintah
membiarkannya?” Tanyaku.
“Karena mereka tidak melakukan apapun yang
merugikan pemerintah. Mereka hanya tidak menyukai pemerintahan sekarang yang
terasa mendeskriminasi. Dimana hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, dan jika
punya kekayaan pasti punya kekuasaan. Hal itu merupakan sebagian dari alasan
yang kudengar dalam pembentukan organisasi tersebut.”
“Apakah bapak pernah mendengar mereka
membicarakan mengenai harta karun?”
“Pernah.”
“Apa saja yang mereka katakan, Pak.”
“Tidak begitu jelas, tapi saya mendengar mereka
mengatakan bahwa harta karun Soekarno adalah hal yang sudah digenggam kini lupa
akan keadaan.”
“Oh begitu, Pak. Terima kasih dan maaf telah
mengganggu waktu bapak.”
“Sama-sama.”
Dengan adanya informasi tersebut, kami kembali
ke markas. Saat ini aku berpikir apa yang mereka maksud. Sudah digenggam, apa
yang sudah digenggam? Dan apa maksud lupa keadaan? Aku terus bergelut dalam
pikiran mengenai beberapa kemungkinan. Tapi tetap saja tidak terpikirkan.
“Apa maksudnya ya?” Tanpa sengaja suara
batinku tersuarakan.
“Entahlah, mungkin mereka memang memiliki
harta karun tersebut.” Jawab Orion.
“Untuk lebih jelasnya, lebih baik kita
langsung tanyakan saja pada mereka.” Saran Rigel.
Keesokan harinya, kami mengunjungi tempat itu.
Tempat itu masih sama seperti terakhir aku mengunjunginya. Semua yang ada di
sana menyambut kami dengan baik, seakan-akan hal ini telah mereka rencanakan.
Aku merasa bingung, begitu juga dengan yang lain.
“Hai, bertemu lagi dengan saya.” Ucap
seseorang yang membuat kami terkejut.
Karena ia adalah ibu-ibu yang saat itu kami tanya.
“Siapa anda sebenarnya? Dan mengapa anda
mengingat kami?”
“Saya adalah ketua dari organsasi ini
sekaligus anonym yang kalian cari. Saya bisa mengingat kalian, karena saya juga
seorang sinestesia yang saat itu sedang menjelajahi waktu.”
“Mengapa anda mengirim surat mengenai harta
karun Soekarno kepada Pak Presiden?”
“Saya melakukan itu karena merasa kurangnya
keadilan. Selain itu, saya juga ingin harta karun Soekarno benar-benar dijaga.
Tidak hanya dikatakan, kami juga membutuhkan pembuktian.”
“Apa maksud anda? Berbicaralah jangan
bertele-tele.”
“Carilah sendiri apa maksudnya. Jika kalian
membutuhkan bantuan, cukup ingat dimana nol dan apa yang berharga dari nol.” Ia
berkata seperti itu, lalu menghilang.
Kami tidak kembali ke markas. Mungkin kami
membutuhkan refreshing, sehingga kami
berencana untuk pergi ke Monumen Nasional terlebih dahulu. Sepanjang
perjalanan, aku terus memikirkan ucapan ibu tadi. Sekarang misteri harta karun
Soekarno semakin banyak. Dimana nol?
“Apa mungkin tempat nol yang dimaksud adalah kilometer nol di
Aceh?”
“Apa yang
berharga dari kilometer nol di Aceh? Kalau seperti itu, bisa saja kilometer nol
di Jogja. Kurasa ini hal yang jauh lebih
dari itu.”
“Benar juga.
Mungkinkah awal?”
“Awal? Sudah dalam genggaman?”
Aku terus saja
memikirkan hal itu sambil melihat suasana Jakarta di Monas sore ini. Tiba-tiba
satu hal terlintas di pikiranku.
“Menurut kalian
mengapa monumen ini dibangun?”
“Untuk mengenang
perjuangan para
pahlawan untuk meraih kemerdekaan.”
“Nah, mungkin nol yang sudah dalam genggaman
yang dimaksud adalah ini.”
“Maksudnya?”
“Nol yang dimaksud di sini adalah awal yaitu
perjuangan. Apa yang berharga dari perjuangan tersebut adalah kemerdekaan. Dan
kemerdekaan memang sudah ada dalam genggaman.”
“Tapi maksud dari lupa akan keadaan?”
“Itu dia, kemerdekaan diraih dengan perjuangan
semua orang. Tapi negara ini melupakan apa hal yang membuat negara ini disebut
negara. Pemerintah hanya mementingkan mereka yang di atas, tanpa melihat yang
di bawah juga berperan. Intinya kurangnya keadilan. Hal itulah yang membuat
negara ini seakan lupa akan keadaan.”
Akhirnya, terjawab sudah teka-teki harta karun Soekarno. Hal ini langsung
disampaikan kepada Pak Presiden. Tadinya hal ini akan kami buktikan kepada
bapak-bapak itu, tapi sudah dua hari ini kami tidak melihatnya. Bahkan
organisasi MATA pun tidak ada, kini telah berganti menjadi langgar.
Sudah 6 bulan sejak kejadian tersebut,
pemerintahan telah menjadi lebih baik lagi. Dan aku tetap menjadi seorang
sintesia yang masih sering melakukan penjelajahan waktu. Terutama ke tempat
dimana laut dengan airnya yang tenang. Bedanya, sekarang aku mulai menyadari
satu hal.
“Yang terpenting dalam hidup adalah sebuah perjuangan”