Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikayat Sastra Anak : Nilai Personal dan Nilai Pendidikan


Huck dkk (dalam Nurgiyantoro, 2013, hlm. 36) mengemukakan ‘…satra anak secara garis besar memiliki dua nilai, yaitu nilai personal dan nilai pendidikan…’. Kedua nilai tersebut dirinci dan dijabarkan sebagai berikut:

Nilai Personal
Perkembangan Emosional
Saat anak diajak bernyanyi atau bercerita anak tampak menikmati lagu atau cerita tersebut. Hal itu dipahami bahwa sastra anak dapat merangsang kegembiraan anak, merangsang emosi anak untuk bergembira, bahkan ketika anak masih bayi. Emosi gembira tersebut penting diperoleh anak karena hal tersebut akan merangsang kesadaran anak bahwa ia dicintai dan diperhatikan. Selain itu, dengan membaca buku-buku cerita anak baik secara langsung maupun tidak langsung anak akan belajar sikap dan tingkah laku secara benar. Lewat bacaan cerita anak maka anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Perkembangan Intelektual
Dengan kegiatan membaca maka aspek intelektual anak akan terkembangkan. Dengan cerita, anak tidak hanya memperoleh kisah yang menyenangkan dan memuaskan hatinya saja karena dalam cerita menampilkan urutan kejadian yang mengandung logika pengaluran. Logika pengaluran melihatkan hubungan antar peristiwa yang diperani oleh para tokoh. Hal itu berarti secara langsung atau tidak langsung anak mempelajari hubungan logika tersebut bahkan anak ikut mengkritisinya. Mungkin anak mempertanyakan alasan tindakan salah satu tokoh yang terdapat dalam bacaan cerita yang ia baca. Jadi, melalui bacaan cerita aspek intelektual anak ikut aktif dan berperan dalam pemahaman dan pengkritisan cerita yang ia baca.

Perkembangan Imajinasi
Karya sasta merupakan karya yang mengandalkan kekuatan imajinasi menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada anak. Dengan membaca cerita anak maka imajinasi anak akan dibawa berpetualang ke berbagai penjuru dunia melewati batas waktu dan tempat, namun tetap berada di tempat, dibawa untuk mengikuti kisah cerita yang dapat menarik seluruh kedirian anak. Contoh: ketika anak membaca cerita Cinderella maka anak akan diajak berpetualang meninggalkan pijakan di bumi. Imajinasi anak akan ikut berkembang sejalan dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang ia nikmati. Ia akan segera melihat dunia dengan sudut pandang baru dan setelah anak selesai membaca cerita tersebut anak akan kembali kediriannya dengan pengalaman baru. Imajinasi akan menumbuh kembangkan daya kreativitas anak. Imajinasi dalam hal ini lebih menunjuk pada makna pemikiran yang kreatif yang bersifat produktif sehingga anak dapat menciptakan karya sastra yang indah.

Pertumbuhan Rasa Sosial
Bacaan cerita mendemonstrasikan bagaimana kehidupan tokoh-tokoh yang ada pada cerita tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Orang yang hidup di tengah masyarakat tidak mungkin tidak berhubungan dengan orang lain. Maka dalam kehidupan anak akan menyadari bahwa ada orang lain di luar dirinya dan orang akan saling membutuhkan satu sama lain. Bacaan cerita anak tentang kehidupan bersosial akan mampu menjadikannya contoh bertingkah laku sosial sebagaimana aturan sosial yang berlaku.

Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius
Sastra anak selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional, intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita anak juga berperan dalam pengembangan aspek rasa etis dan religius. Karena dalam cerita anak mendemonstrasikan kehidupan yang secara konktet diwujudkan dalam bentuk tingkah laku tokoh yang menunjukkan sikap etis dan religius. Nilai-nilai sosial, moral, etika, dan religius perlu ditanamkan kepada anak sejak dini lewat sikap dan perilaku kehidupan kesehariannya. Hal itu tidak hanya dicontohkan oleh orang dewasa saja namun juga dapat melalui bacaan cerita anak yang menampilkan sikap dan perilaku tokoh.

Nilai Pendidikan
Eksplorasi dan Penemuan
Ketika membaca cerita maka anak akan dibawa untuk melakukan sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif ke sebuah dunia yang belum dikenalnya yang menawarkan berbagai pengalaman kehidupan. Dalam penjelajahan secara imajinatif, anak akan dibawa dan dikritiskan untuk mampu melakukan penemuan-penemuan dan atau prediksi bagaimana solusi yang ditawarkan.

Perkembangan Bahasa
Sastra merupakan suatu bentuk permainan bahasa. Berhadapan dengan sastra maka berhadapan dengan kata-kata dengan bahasa. Syarat untuk dapat membaca dan mendengarkan dan memahami sastra ialah penguasaan bahasa yang bersangkutan. Bahasa digunakan untuk memahami dunia yang ditawarkan namun juga sekaligus dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak, baik menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis.

Pengembangan Nilai Keindahan
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, sastra memiliki aspek keindahan. Seperti keindahan kata, makna, dsb. Rasa puas diperoleh setelah anak membaca puisi maupun fiksi yang pada hakikatnya disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan batin akan keindahan. Pemenuhan rasa puas dan kebutuhan batin tersebut dapat diperoleh, diajarkan, dan dibiasakan lewat bacaan sastra dan dapat dilakukan di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah.

Penanaman Wawasan Multikultural
Dengan membaca bacaan cerita anak dapat bertemu dengan wawasan budaya dari berbagai kelompok sosial yang ada di belahan dunia ini. Lewat satra dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Jadi, dengan membaca cerita yang mengandung wawasan multikultural anak akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman budaya masyarakat lain.

Penanaman Kebiasaan Membaca
Seiring perkembangan zaman, kemajuan iptek dan ekonomi harus diusahakan dengan penuh kesadaran. Untuk mencapai hal itu, yang pertama harus dilakukan yaitu menanamkan kemauan atau kebiasaan membaca pada anak-anak. Budaya membaca harus ditumbuhkan sejak dini. Bacaan satra dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan anak mau membaca.

Secara umum, karya sastra anak dibagi menjadi 3 (tiga)  yaitu, prosa, puisi, dan drama. Menurut Waluyo (dalam Setyorini & Riskiana, 2017, hlm. 95) prosa fiksi merupakan ‘…jenis prosa yang dihasilkan dari proses imajinasi…’. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2013, hlm. 2) prosa disebut sebagai fiksi yang berarti “…cerita rekaan yang isinya tidak perlu dicari kebenarannya…”. Siswanto (2013, hlm 121) berpendapat bahwa prosa rekaan adalah “…cerita yang pelakunya memiliki peran masing-masing serta memiliki latar, tahapan, dan rangkaian cerita yang bertolak dari hasil proses kreatif pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita…”. Sejalan dengan itu, prosa fiksi diciptakan sebagai sebuah karya sastra yang utuh bertujuan agar karya tersebut dapat diterima oleh pembaca. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prosa merupakan karangan bebas yang memiliki tokoh (pelaku), latar, tahapan, dan rangkaian cerita yang isinya tidak perlu dicari kebenarannya sehingga menjadi bentuk cerita yang utuh dan dapat diterima oleh pembacanya.

Menurut Permana & Indihadi (2018, hlm. 195) puisi merupakan “…ungkapan kebahasaan secara lebih banyak daripada sekedar apa yang tertulis dan sekaligus ditulis dan diekspresikan lewat bahasa yang khas daripada bahasa keseharian…”. Sedangkan menurut Waluyo (dalam Siswanto, 2013, hlm.97) puisi merupakan ‘…karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif yang disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan batin…’. Siswanto (2013, hlm. 97) berpendapat bahwa puisi merupakan “…karya sastra yang oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai puisi dan dapat diterima oleh pembaca sebagai puisi…”. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan bahwa puisi merupakan karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang dengan bahasa  yang khas.

Menurut Syukron dkk (2016, hlm. 50) drama adalah “…karya sastra bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi dengan gerak dan dialog yang dipentaskan…”. Sedangkan menurut Milawati (2011, hlm. 72) drama merupakan “…karya sastra berupa lakon yang ditulis dengan dialog-dialog dengan memperhatikan unsur-unsur gerak atau perbuatan yang akan dipentaskan…”. Rahmanto (2014, hlm. 4-5) berpendapat bahwa drama adalah “…karya sastra yang dibuat untuk dipentaskan di atas panggung oleh para aktor menggambarkan kehidupan yang diceritakan dengan gerak dan laku…”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa drama merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan ditulis dengan dialog-dialog dengan memperhatikan unsur-unsur gerak yang akan dipentaskan.

Berdasarkan 3 (tiga) jenis karya sastra yang telah dipaparkan di atas, dalam penelitian ini peneliti hanya fokus pada karya sastra prosa fiksi cerita pendek. Menurut Lado dkk (2016, hlm.2) cerita pendek merupakan “…prosa naratif fiktif atau sebuah rangkaian kejadian yang bersifat khayalan yang memusatkan perhatian pada satu kejadian mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh terbatas dan mencakup jangka waktu yang singkat…”. Pujiono (2006, hlm. 4) berpendapat bahwa cerita pendek merupakan “…cerita yang bentuknya relatif pendek…”. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang bersifat khayalan dan memusatkan kejadian pada satu kejadin serta memiliki ukuran yang relatif pendek.

Cerita pendek berfungsi untuk memberi kesenangan kepada para pembacanya. Meskipun cerita pendek berfungsi untuk memberi kesenangan, cerita pendek juga tidak terlepas dari nilai-nilai agama, budaya, sosial, maupun moral yang terkandung dalam cerita. Sebuah karya sastra (termasuk cerita pendek) tidak akan menjadi sebuah karya yang utuh apabila tidak memperhatikan unsur-unsur pembangun ceritanya. Salah satu unsur pembangun cerita dalam prosa fiksi yaitu unsur sudut pandang.