Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Senja di Sore Hari

Senja di Sore Hari
Rasanya aku ingin mati kembali. Setelah kematianku dua tahun yang lalu, aku rasa aku belum mati.
Aku ingin memejamkan mata menikmati semilir angin yang mempertemukan daun-daun kelapa, mendengar deru ombak yang menerjang pantai, merasakan dinginnya pasir putih di telapak kaki.
Aku ingin berbaring di atas pasir basah dengan selimut gelombang yang menepi. Bersama senja yang mulai menenggelamkan matahari di laut lepas.
Aku mulai tenang menikmati angin, menunggu bintang-bintang datang menerangi pemikiran senja. Namun, seorang manusia datang menggangguku, mengajakku menghadap layar kecil yang akan mencetak mukaku.
Hebat sekali alat-alat sekarang, pikirku. Wajahku bisa berpindah tempat dan berdiam di dalam layar seperti aquarium dua dimensi. Tanpa ku sadari sedari tadi, sudah banyak orang-orang yang tidak bisa menikmati indahnya menanti kematian dalam jiwa di pantai ini. Segerombolan orang berebut mencari senja dan warna orange kehitaman. Melakukan pose-pose seserius mungkin untuk mendapatkan siluet yang sempurna.Semediku terganggu saat itu, banyak orang yang meminta wajahku diperbanyak, karena keanehanku termenung memejamkan mata menunggu gulungan ombak terpecah di pinggir pantai dan menghampiri jemari kakiku.
Senja, mengapa nasibmu menjadi seperti ini. Murah sekali harga dirimu saat ini. Dulu, aku ingin mengabadikan keindahanmu melalui banyak sekali kertas untuk menuliskan betapa indahnya dirimu dalam sebuah syair, temanku seorang pelukis sudah banyak membuang banyak kanvas untuk menggambarkan betapa indahnya warna dan pesonamu. Namun, sekarang, apa yang terjadi? Kamu diambil bahkan dicuri secuil demi secuil bahkan menjadi banyak. Sampai aku bingung, sebenarnya mana senja yang asli.
Kepalaku mulai pusing melihat banyak senja diantara senja. Tubuhku mulai kleyengan, pandangan mata kabur. Aku rasa, aku ingin jatuh di atas air pantai. Aku pasrah, apakah aku akan terbawa ombak atau mendarat di pulau mana. Karena orang-orang sedang sibuk menggandakan senja.
Saat itu juga, punggungku terjatuh di atas dua tangan yang aku sangat mengenal sentuhannya.
Bruk. Aku tak sadarkan diri. Senja tiba-tiba menghilang dari pandanganku. Senja berubah menjadi gelap gulita.
Ketika senja benar-benar menghilang, aku terbangun di atas kasur putih. Bukan pasir pantai. Mataku yang terpejam mulai menyipit dan meraba setiap keadaan sekitar. Kurasakan genggaman tangan erat. Apakah aku sudah mati? Tanganku digenggamnya sangat erat.
Sahabatku, ya benar, aku bisa memastikan ini adalah genggaman tangan sahabatku. Hatiku mulai tenang, aku belum mati. Karena aku tidak ingin mati di atas kasur putih, aku ingin mati berselimutkan ombak di atas pasir putih.
Mataku terpejam kembali dan aku sudah berada di atas pasir putih pantai. Aku kembali memperhatikan ombak membawa pasukan-pasukan Rabbku yang masih belum mengamuk. Ku menengadahkan tangan, melihat langit yang belum mengeluarkan senja, meminta air tetap tenang menerjang pasir putih kesayanganku.
Aku berasal dari air tawar, berjalan menuju air asin bahkan air payau hanya untuk mencari cinta-cinta alam Illahi. Bersama deru ombak kutitipkan senja sore ini untuk kembali memberikan keindahan.
Aku rasa aku ingin mati kembali. Setelah dua tahun lalu aku merasakan mati, namun aku tidak ingin dikatakan mati. Aku ingin masuk, hidup kembali bersama keramaian dunia yang semakin aneh. Aku ingin berjalan diantara lalu lalang orang-orang aneh. Tapi tenang saja, aku tidak ingin menjadi orang aneh seperti mereka. Aku masih berasal dari orang-orang yang memiliki kekayaan yang amat banyak. Aku tidak mengopi senja, aku bisa menuliskannya dia atas kertas dan membuat para pembaca membuat senjanya masing-masing dengan gambaran yang berbeda. Bukan tukang foto yang sangat mudah menjual senja tanpa meminta ijin pada senja.
Senjaku, betapa malangnya nasibmu.
Senjaku, mengapa kau tak marah?
Senjaku, apakah kau masih senja yang dulu aku kenal? Ataukah kamu sudah kehilangan kata-kata untuk member peringatan pada mereka yang mencuri keindahanmu secara illegal?
Senja, kenapa kau diam saja? Aku ingin mati senja, sebentar lagi, bahkan mungkin satu detik lagi. Katakan apa yang harus aku lakukan?
Kau jahat, kau tidak menjawab apapun dari pertanyaanku.
Aku mengambil tindakan. Aku berjalan ke semua penjuru, mengejar para fotografi illegal itu. Aku mengamuk di tengah keramaian orang-orang aneh.
“Bubar! Bubar! Bubar semua! Jangan gangggu senjaku! Senjaku menangis kalian turunkan harga dirinya!.”
Aku tahu, orang-orang melihatku sangat aneh, bahkan ada tatapan yang merendahkan.
“Apakah dia sudah gila?” itulah yang ada dalam pikiran orang-orang di sekitarku.
Loh, memang aku gila? Aku masih waras, kalian yang aneh, sangat aneh.
“Dasar orang gila.”
“Apaan sih orang gila ini.”
“Ini bagus nih untuk updatean status, yuu, foto bareng orang gila ini.”
“hih, dasar aneh.”
Kata-kata itu masuk semua dalam telinga, hati, dan pikiranku.
Ya, aku sudah gila. Gila mempertahankan senja yang sangat indah ini. Ingin rasanya aku ambil benda kotak itu dari tangan mereka dan aku memberikannya pada mulut ombak.
Senja, aku semakin tertekan dengan cibiran-cibiran itu. Senja, tapi aku sakit melihatmu dilecehkan. Senja, senja, senja, kenapa kau tetap diam. Senja, malaikat maut sebentar lagi mendatangiku. Senja aku belum mendapatkan inspirasi darimu. Aku sibuk mengurusi orang-orang aneh itu. Senja, apakah kamu akan menyalahkanku? Senja jangan menambah tekanan diriku ini.
Aahhh…
Aku gila, aku semakin gila. Aku ingin berlari mengelilingi pasir putih, menjauhi dunia-dunia yang kejam dan jahat itu. Benda yang mereka sebut kamera itu sudah membuat semua alam menjadi tak bernilai lagi. Tak ada semangat untuk membuat keindahan dalam kerinduan karya.
Aku berlari, dan berhenti di satu titik. Di hadapan seorang bayangann yang menungguku selama ini, tenyata dia memperhatikan kegilaanku. Dia, iya dia, membuat tubuh ini mematung, hanya bisa menelan air liur yang memasuki tenggorokan.
Dia tersenyum, menatapku, mendekat, dan melangkah. Aku terus mematung, tak bisa bergerak, hanya desiran pasir yang terbawa air terasa menerjang talapak kakiku.
Dia semakin dekat, semakin dekat, dan dekat. Tidak, sesuatu dalam tubuhku mulai berlari kencang. Siapa dia? Dia siapa? Senja? Bukan, dia tidak berwana orange kehitaman.
Dekat, semakin dekat. Sekarang ia berada tepat di hadapanku. Ujung kakinya menempel pada ujung kakikku. Hidungnya menempel di hidungku, aku tetapp mematung. Senja, apakah ini kematian? Mengapa terasa menenangkan? Apakah rabbku mengampuni kegilaanku? Senja? Apa ini?
Ia semakin dekat, sangat dekat. Dan… bruk…
Aku terjatuh dari kasur dan mencium lantai. Aku bangkit, melihat kaca, memastikan seluruh tubuhku utuh.
“Huft, aku belum mati.”