Strategi Pembelajaran Dalam Setting Kelas Inklusif Lengkap
A.
Pengertian
Strategi Pembelajaran Inklusif
Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus
dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif
dan efisien. Sehingga strategi pembelajaran mengacu kepada pengertian sebagai
seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai
tujuan. Komponen dari strategi pembelajaran itu sendiri antara lain tujuan,
bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, alat, sumber pelajaran dan
evaluasi. Agar tujuan itu tercapai, semua komponen yang ada harus
diorganisasikan sehingga antar sesama komponen terjadi kerjasama. Karena itu
guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja, tetapi
harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Strategi pendidikan inklusifadalah Cara penempatan anak luar biasa tingkat
ringan, sedang, berat secara penuh di kelas biasa sehinga anak ABK harus
belajar di kelas yang sama dengan teman sebayanya (Sunardi:2002).
Inti pendidikan inklusif adalah Hak Azasi Manusia 1949 atas pendidikan
diumumkan pada Dekarasi Hak Azasi Manusia dimuat dalam artikel 2 Konvensi hak
anak (PBB, 1989) isinya adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima
etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain. Sedangkan
terdapat juga alasan penting kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan alasan politik
memperjuangkan suatu kebijakan dan pendekatan pendidikan inklusif.
B.
Strategi
Pembelajaran dalam Setting Kelas Inklusif
Mendiknas mengatakan, untuk menangani pendidikan inklusif di
Indonesia maka diperlukan strategi khusus. Dia menyebutkan empat strategi pokok
yang diterapkan pemerintah. Pertama, peraturan perundang-undangan yang
menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh
pelayanan pendidikan. Kedua, memasukkan aspek fleksibilitas ke dalam
sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal , dan informal.
1.
Aspek-aspek penting dalam Pendidikan Inklusif
Sebelum membahas
aspek-aspek penting dalam pendidikan inklusif, terlebih dahulu penulis perlu
memberikan gambaran tentang konsep dasar ABK yang dibahas dalam makalah ini.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang mempunyai kebutuhan, baik
permanen maupun sementara, yang disebabkan oleh kondisi sosial-emosi, dan/atau,
kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan maupun yang
didapat kemudian. Dengan kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok
minoritas yang disebabkan oleh kelainan saja, tetapi mencakup sejumlah besar
anak yang sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya mengakomodasi semua anak
tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, ataupun
kondisi-kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik
semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan khusus. Mengubah
sekolah atau kelas tradisional menjadi inklusif, ramah terhadap pembelajaran
merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian tiba-tiba. Proses ini tidak
akan terjadi dalam sehari, karena memerlukan waktu dan kerja kelompok.
Selanjutnya
aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan sekolah yang
inklusif adalah:
a)
Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang
dan kemampuan yang beragam. Peningkatan kemampuan ini dapat kita lakukan dengan
berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar pengalaman, lokakarya, membaca buku,
dan mengeksplorasi/menggali sumber lain, kemudian mempraktekkannya di dalam
kelas.
b)
Semua anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan fisik,
intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya, seperti yang
ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani semua pemerintah
di dunia.
c)
Guru menghargai semua anak di kelas, guru berdialog dengan siswanya;
guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-anak; guru mengupayakan agar
sekolah menjadi menyenangkan; guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru
menyiapkan tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya
pembelajaran aktif untuk semua anak.
d)
Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi visi
yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama.
Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak
diskriminatif, sensitif terhadap semua budaya, serta relevan dengan kehidupan
sehari-hari anak.
e)
Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan
gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh
untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya. Selain itu, tidak ada kekerasan
terhadap anak, pemukulan atau hukuman fisik.\
Menurut laporan
UNESCO tahun 2003, ketika Pendidikan Inklusif diterapkan, penelitian terkini
menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan kemajuan pada semua anak. Di banyak
daerah di dunia dilaporkan, bahwa diperoleh manfaat pribadi, sosial, dan
ekonomi dengan mendidik anak-anak usia sekolah dasar yang memiliki kebutuhan
khusus di sekolah umum. Kebanyakan siswa dengan kebutuhan khusus ini berhasil
diakomodasi dengan lebih menyenangkan melalui cara yang ramah dan menghargai
keragaman ini.
Adapun manfaat
lingkungan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut:
a)
Manfaat bagi anak, yaitu: kepercayaan dirinya berkembang; bangga pada
diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya; belajar secara mandiri; mencoba
memahami dan mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan sehari-hari;
berinteraksi secara aktif bersama teman dan guru; belajar menerima perbedaan
dan beradaptasi terhadap perbedaan; dan anak menjadi lebih kreatif dalam
pembelajaran.
b)
Manfaat bagi guru, antara lain: mendapat kesempatan belajar cara
mengajar yang baru dalam melakukukan pembelajaran bagi peserta didik yang
memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam; mampu mengatasi tantangan;
mampu mengembangkan sikap yang positif terhadap anggota masyarakat, anak dan
situasi yang beragam; memiliki peluang untuk menggali gagasan-gagasan baru
melalui komunikasi dengan orang lain di dalam dan di luar sekolah; mampu
mengaplikasikan gagasan baru dan mendorong peserta didik lebih proaktif,
kreatif, dan kritis; memiliki keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan
anak untuk memperoleh hasil yang positif.
c)
Manfaat bagi orangtua, antara lain: orangtua dapat belajar lebih banyak
tentang bagaimana anaknya dididik; mereka secara pribadi terlibat dan merasa
lebih penting untuk membantu anak belajar. Ketika guru bertanya pendapat mereka
tentang anak; orangtua merasa dihargai dan menganggap dirinya sebagai mitra
setara dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas untuk anak;
orangtua juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah dengan
lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah.
d)
Manfaat bagi masyarakat, antara lain: masyarakat lebih merasa bangga
ketika lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran; masyarakat
menemukan lebih banyak "calon pemimpin masa depan" yang disiapkan
untuk berpartisipasi aktif di masyarakat. Masyarakat melihat bahwa potensi
masalah sosial, seperti: kenakalan dan masalah remaja bisa dikurangi; dan
masyarakat menjadi lebih terlibat di sekolah dalam rangkah menciptakan hubungan
yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
2.
Welcoming
Schools untuk Semua Anak
Ketika komunitas
sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk meminimalkan
hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan keikutsertaan dari
seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah
satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming
School). Welcoming School ini
telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement 1994) yang
ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994
yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa dimaknai
bahwa setiap anak dapat belajar (all
children can learn), setiap anak berbeda (eachchildren are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference ist a strength),dengan
demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan
siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.
Seperti halnya kondisi
nyata di sekolah, hampir setiap kelas senantiasa ada sebagian murid dalam kelas
yang membutuhkan perhatian lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan
penglihatan, atau pendengaran, fisik, atau mental-kecerdasan atau emosi, atau
perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan akses fisik dan
modifikasi kurikulum serta mengadaptasikan metode pengajarannya agar semua
murid dapat menyesuaikan diri secara efektif dalam semua kegiatan sekolah.
Di Sekolah yang
Ramah (Welcoming Schools) semua
komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua,
yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk
mengembangkan diri (todevelop a sense of
self), untuk membuat pilihan (to make
choices), untuk berkomunikasi(to
communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia
yang terus berubah (live in a changing
world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi
yang bernilai (tomake valued
contributions).
Persoalan
kurikulum di Sekolah yang Ramah merupakan tantangan terbesar bagi guru-guru dan
sekolah-sekolah dalam mempertahankan keikutsertaan dan memaksimalkan
partisipasi semua anak. Penyesuaian kurikulum bukanlah tentang penurunan
standar persyaratan ataupun membuat latihan menjadi lebih mudah bagi
murid-murid yang mempunyai keterbatasan atau berkebutuhan khusus. Tetapi
adaptasi kurikulum ini untuk memenuhi keanekaragaman, membutuhkan perencanaan dan
persiapan yang matang oleh guru-guru dan bekerjasama dengan murid-murid, orang
tua, rekan-rekan guru, dan staf.
Di sekolah-sekolah
yang ramah, kita dapat melihat kerja dari para guru, di mana dalam kelas,
mereka melakukan upaya untuk meminimalkan hambatan untuk belajar
danberpartisipasi untuk mempromosikan keikutsertaan seluruh anak di sekolah.
Guru-guru sebaiknya bersikap fleksibel dalam menyusun penyesuaian kurikulum (make curriculumadjustments). Mereka
merencanakan untuk semua kelas (plan for
the whole class) danmenggunakan metode pengajaran alternatif (use alternative methods).
Selain itu, dalam welcoming schools senantiasa terdapat
akses fisik yang baik (ensure physical
access) dan para gurunya mempersiapkan diri lebih awal (prepare wellahead). Persiapan untuk
pelajaran melibatkan pemikiran tentang bagaimana memastikanbahwa semua murid
berpartisipasi dalam proses belajar dan bagaimana kebutuhan kurikulum dibedakan
berdasarkan kebutuhan individu. Guru senantiasa memikirkan, bagaimana
mengelompokkan kelas, dan materi apa yang diperlukan oleh anak didiknya. Semua
ini tergantung pada konteks sekolah, ruang kelas, dan kebutuhan anak. Tindakan
guru seperti ini sudah menunjukkan sikap inklusi. Kinerja guru yang inklusi
salah satu indikasinya selalu berupaya untuk memperbaiki cara mengajar dan
menyesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Pada sekolah yang
ramah, guru-guru menggunakan beragam metode pengajaran dan gaya presentasi
untuk menjamin bahwa semua murid memperoleh keuntungan maksimal dari sekolah.
Mereka sadar bahwa dengan kebutuhan pendidikan khusus, maka membutuhkan
penyesuaian dan modifikasi kurikulum yang berbeda. Memanfaatkan teknologi yang
ada (use available technology) dapat
membantu pemahaman anak. Kita dapat melihat bahwa welcoming schools yang inklusif terlihat berbeda dari satu negara
ke negara lain.
Di samping itu,
guru di sekolah yang ramah bekerja untuk mengembangkan lingkungan belajar yang
suportif (supportive school environtments)
di dalam kelas, di sekolah dan sekitar sekolah dalam komunitasnya. Jadi pada
sekolah yang ramah itu, guru senantiasa membimbing suatu generasi yang dapat
menerima dan toleran terhadap siapapun yang mempunyai kebutuhan yang berbeda.
Membangun kemitraan dengan orang tua dan komunitas adalah suatu proses, yang
tidak dapat terjadi dalam semalam.
3.
Program dan Strategi Pembelajaran untuk Semua
Anak
Untuk
merealisasikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari
masing-masing kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita menggunakan strategi
pembelajaran yang mendasarkan pada keberagaman
(differentiation) kemampuan belajar
mereka yang berbeda-beda. Strategi pembelajaran ini dapat diterapkan
dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan belajar
mereka dengan harapan/target,
alokasiwaktu, penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak
dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu
kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar matematika untuk anak kelas III SD yang
cepat belajarnya (high function learners) adalah memahami dan mampu menggunakan
perkalian dalam soal ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak.
Sedangkan untuk
anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers) mempelajari
perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk anak yang
lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru sampai puluhan
dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari matematika sampai
ratusan dengan lebih banyak memfokuskan pada keunggulan visual thinkingnya
(pemahaman konsep melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol
atau film dan sebagainya).
Demikian pula
dalam alokasi waktu, penghargaan/hadiah.
tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan
yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan perkembangan belajar dari
masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan
didasarkan pada bentuk layanan sama rata, sama rasa dan disampaikan secara
klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan
proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari masing-masing
kelompok anak tersebut, dan proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan
berdasarkan kelompok atau dipisahkan dari komunitasnya, melainkan mereka
belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.
Apabila program
dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap
kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti
proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Siswa yang belajarnya
cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang
sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group) atau sama dengan
temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan temannya yang autis.
Sebelum mereka
berpartisipasi dalam belajar secara penuh, anak perlu meyakini bahwa mereka
bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan tersebut pada semua anak, maka mereka
memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini
sangat diperlukan oleh semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya.
Khususnya buat anak-anak yang lambat belajarnya, dengan memperoleh reward pada
setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses belajarnya, maka
membuat mereka menjadi lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas atau
pekerjaannnya.
Dengan kata lain, anak harus
dihargai apa adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya
dan sukses dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa
memperkuat rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'.
Di kelas seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui reward(penghargaan/pujian);
di dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak
merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru.Begitu juga bantuan dan
bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak
sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang
lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak
autis dan yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan
belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah
dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat
mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan (joy of
learning dan fun of learning).
4.
Penilaian
Untuk menilai
hasil belajar ABK tentunya tidak hanya didasarkan pada hasil UASBN, tetapi juga
mempertimbangkan dari hasil penilaian berkelanjutan. Penilaian berkelanjutan dilakukan untuk mengamati secara terus
menerus tentang sesuatu yang diketahui, dipahami, dan yang dapat dikerjakan
oleh siswa. Penilaian ini dapat dilakukan beberapa kali dalam setahun, misalnya:
awal, pertengahan, dan akhir tahun melalui: obserasi; portofolio; bentuk ceklis
(keterampilan, pengetahuan, dan perilaku); tes, kuis; dan penilaian diri serta
jurnal reflektif. Dengan menggunakan penilaian yang berkelanjutan, guru
dapatmengadaptasi perencanaan dan pengajarannya sesuai fase perkembangan
belajar siswa, sehingga semua siswa akan mendapatkan peluang untuk belajar dan
sukses.