Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bibliotherapy dalam Film Dilan 1990

Merujuk pada survei Perpustakaan Nasional RI dalam (tempo.co) mencatat 90 persen penduduk Indonesia yang berusia diatas 10 tahun (dapat disebut remaja keatas) lebih gemar menonton dibanding dengan membaca buku. Dapat diartikan bahwa sebagian besar orang Indonesia lebih mudah menyerap suatu informasi jika berbentuk tayangan visual. Masuk keranah biblioterapi, Hugh Crago (Peter Hunt, 2005: 180) dalam Masril, (2011) mengemukakan bahwa “Bibliotherapyadalah salah satu dari berbagai metode untuk membantu seseorang dalam mengatasi kesulitan emosional. Bibliotherapy merupakan modalitas teraupatik (seperti juga dalam terapi seni, terapi okupasi, atau terapi dansa yang dikembangkan khusus untuk memenuhi kebutuhan pasien yang dianggap seluruhnya atau sebagian di luar jangkauan metode psikoterapi utama), namun harus realistis. Bibliotherapy ini mencakup teks bukan buku seperti bercerita dan melihat narasi visual seperti film dan gambar, termasuk studi sastra yang sudah diterima oleh masyarakat.” Jadi, biblioterapi bukan hanya metode penyembuhan psikologis yang menggunakan media buku saja. Seperti yang dikatakan   Bunda Susan dalam talkshow bersama Der Station menyebutkan bahwa biblioterapi lewat film merupakan the art of connecting people. Dari buku kemudian diproduksi menjadi film adalah alternatif dalam aplikasi biblioterapi menghadapi orang Indonesia yang lebih memilih menonton ketimbang membaca.
   Novel sastra romance, Dilan 1990 karya Pidi Baiq yang dikemas menjadi sebuah film ini menjadi pilihan literatur yang pas saat dihubungkan dengan biblioterapi, khususnya biblioterapi dalam perkembangan remaja. Dimana para remaja jaman sekarang yang memiliki pengalaman dan kisahnya masing-masing dapat mencari, menemukan atau merasa memiliki kesamaan dengan cerita remaja di era Dilan 1990.  Itulah yang membuat karya Pidi Baiq ini mampu memboyong para penonton Indonesia yang didominasi oleh para remaja atau generasi millennial untuk dapat bernostalgia dan berimajinasi bagaimana atmosfer kehidupan tahun 1990an, khususnya didaerah Bandung. Tak heran jika hingga kini, film Dilan mampu menembus 5,8 juta penonton.
     Tokoh-tokoh yang terdapat dalam film Dilan 1990 menggambarkan bagaimana perilaku remaja dan orangtua dalam menghadapi masalah. Tidak sedikit misalnya yang menggambarkan tokoh Dilan sebagai remaja yang nakal dengan alasan karena Dilan adalah anggota geng motor, perilakunya yang berani melawan guru, dan diceritakan bahwa Dilan pernah ditahan di penjara. Namun, penikmat Dilan 1990 juga harus melihat nilai intrinsik didalam dasar perilaku Dilan ini. Misalnya, skorsing yang diberikan sekolah kepada Dilan karena ia memukul Pak Suripto bukan semena-mena karena Dilan anak nakal. Karena diselipkan dalam novel, bahwa Dilan mengetahui perbuatan tidak beretikanya Pak Suripto kepada seorang siswi. Diperjelas dengan ungkapan Dilan yang ditulis dalam novel, “Hormatilah oranglain kalau ingin dihormati. Siapapun dia meskipun guru. Kalau tak bisa menghargai oranglain, tidak akan dihargai. Jangan jabatan guru digunakan untuk berbuat semena-mena.” Perbuatan dan ucapan Dilan ini merupakan wujud emosi dan perasaan saat ia mengetahui sesuatu yang salah. Lalu, tokoh Milea yang memutuskan hubungan dengan Dilan agar Dilan mau berhenti bergabung dengan geng motor. Bagaimana sikap Bunda Dilan saat dipanggil pihak sekolah dan malah memaklumi ulah Dilan. Tegas dan disiplinnya ayah Dilan yang sengaja menahan Dilan dipenjara agar Dilan jera, yang berbeda dengan kebanyakan orangtua jaman sekarang. Hingga ucapan Dilan kepada Milea yang begitu puitis pun merupakan pembelajaran sastra sederhana bagi penikmat karya Pidi Baiq ini.
     Biblioterapi yang diberikan Dilan 1990 dapat mengembangkan moral si penikmat (pembaca dan penonton) melalui nilai-nilai dari setiap sajian ceritanya.  Kesamaan cerita dengan pengalaman pembaca/penonton menjadi titik utama dalam biblioterapi ini. Seperti Herlina (2012) yang menyatakan bahwa bibliotheraphy dapat membantu klien dalam mengatasi dan mengubah masalah yang sedang dihadapinya manakala ia melihat oranglain dapat mengatasi masalah seperti yang ia hadapi. Jelasnya, Dilan 1990 memberikan gambaran kepada pembaca/penonton (khususnya remaja) yang memiliki masalah atau pengalaman yang serupa dengan yang ada didalam cerita hingga mampu merefleksikannya menjadi sebuah solusi. Hidayat (2008) mengemukakan bahwa metode biblioterapi dapat digunakan untuk menangani masalah kebingungan remaja terhadap nilai-nilai moral yang bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan terjadinya kenakalan remaja. 
     Akhir kisah dalam novel Dilan dan Milea 1990 yang ternyata mereka tidak menikah ini memberikan banyak makna bagi para remaja, yang salah satunya penulis kaitkan dengan dalil QS. Al-Maidah ayat 5, “Dan dihalalkan mengawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi AlKitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina.” Dimana Allah menghalalkan laki-laki dan wanita yang masing-masing menjaga kehormatan dirinya untuk menyatukan hubungan mereka dalam ikatan yang halal, daripada sibuk mencari atau bersama dengan pasangan yang belum tentu direstui oleh Allah swt. Dan percaya dengan kuasa Allah dalam QS. Yaasin ayat 36 bahwa setiap makhluk-Nya diciptakan berpasang-pasangan.