Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aksesbilitas, Dasar Pengembangan Kurikulum, Model Pengembangan Kurikulum Anak Berkebutuhan Khusus dan Setting Lingkunga Belajar Inklusif

A.    Pengertian Aksesibilitas
Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya kurang lebih kemudahan. Jadi aksesibiltas dapat kita pahami sebagai kemudahan yang diberikan kepada penyandang cacat untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dari tidak berfungsinya bagian-bagian tubuh si penyandang cacat (Tangkesalu, 2005)

Sejauh ini masyarakat hanya mengetahui bahwa kata aksesibilitas hanya berkaitan dengan penyandang ketunaan fisik saja. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli yang hanya memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang ketunaan fisik saja sedangkan bagi penyandang kecacatan intelejensi dan emosi masih kurang diperhatikan. Seperti pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat 4 ‘Aksesibilitas’ adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Dalam hal ini Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk tujuan berusaha mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Tujuan tersebut diwujudkan dengan janji Undang-Undang tersebut memberikan kemudahan-kemudahan aksesibilitas yang menjamin tujuan tersebut diantaranya dengan adanya fasilitas ramah difabel berupa alat transportasi, sarana pendidikan, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka publik termasuk sekolah yang dapat mereka manfaatkan dengan nyaman.

B.     Dasar Pengembangan Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program inklusi pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum regular yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan  yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang, sampai yang erat, maka dalam implementasinya di lapangan, kurikulum regular perlu di lakukan modifikasi sedemikian rupa hingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.

Tim Pengembang Kurikulum terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan Prinsip Dalam Pengembangan Kurikulum

Ada beberapa prinsip penting yang harus dijadikan acuan oleh para guru dalam mengembangkan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus dalam setting inklusif :
1.      Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa regular perlu dirubah (dimodifikasi) untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus.
2.      Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus bisa terjadi pada komponen tujuan, materi, proses dan atau evaluasi.
3.      Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada masing-masing komponen.  Artinya jika komponen tujuan dan materi harus dimodifikasi, mungkin tidak demikian halnya dengan proses. Dst
4.      Proses penyesuaian juga tidak harus sama untuk semua materi. Untuk materi tertentu perlu dimodifikasi, tetapi mungkin tidak perlu untuk materi yang lain.
5.      Proses modifikasi juga tidak sama untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran tertentu mungkin perlu banyak modifikasi tetapi tidak demikian untuk mata pelajaran yang lain.
6.      Proses modifikasi juga tidak sama pada masing-masing jenis kelainan. Siswa berkebutuhan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan (tunanetra, tunarungu, tunadaksa) mungkin akan sedikit membutuhkan modifikasi kurikulum. Sedangkan siswa yang mengalami hambatan kecerdasan (tunagrahita) membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluasi).

C.    Model Pengembangan Kurikulum Siswa Berkebutuhan Khusus
Ada empat kemungkinan model pengembangan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yaitu model duplikasi, model modifikasi, model substitusi, dan model omisi.
1.      Model Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Meniru berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitan dengan model kurikulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (regular). Jadi, model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama kurikulum yaitu duplikasi tujuan, duplikasi isi/materi, duplikasi proses, dan duplikasi evaluasi.
2.      Model Modifikasi
Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kemampuan siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi dapat diberlakukan (terjadi) pada empat komponen utama pembelajaran yaitu :


a.       Modifikasi tujuan
Modifikasi tujuan, berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan, maka siswa berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indikator. Ada beberapa prinsip sekaligus cara yang harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan modifikasi tujuan, yaitu :
1)   Modifikasi tujuan pembelajaran terutama dibutuhkan (dimaksudkan) untuk siswa ABK yang mengalami hambatan kecerdasan. 
2)   Berangkat dari prinsip pertama, maka rumusan tujuan pendidikan nasional, standar kompetensi lulusan (SKL) dan standar kompetensi (SK) mungkin dibiarkan saja, tidak perlu dimodifikasi. Hal ini disebabkan karena tujuan-tujuan tersebut bersifat umum (global), sehingga di dalamnya mampu mewadahi (diterapkan untuk) kompetensi-kompetensi yang ada pada siswa berkebutuhan khusus.
3)   Para guru sebaiknya berkonsentrasi untuk mencermati dan melakukan upaya modifikasi pada level kompetensi yang lebih spesifik yaitu kompetensi dasar (KD) dan indikator.   
Berikut adalah contoh modifikasi pembelajaran yang ada di sekolah dasar untuk siswa  ABK :
b.      Modifikasi isi atau materi
Modifikasi isi, berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa regular dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keluasan, kedalaman dan atau tingkat kesulitan. Artinya, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan materi pelajaran yang tingkat kedalaman, keluasan dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa regular. Ada beberapa prinsip sekaligus jug cara yang dapat dipertimbangkan oleh guru pada saat melakukan modifikasi materi pembelajaran :
1)      Ketika guru memodifikasi tujuan otomatis materi pembelajaran juga harus dimodifikasi karena materi pembelajaran dirumuskan atas dasar tujuan pembelajaran.
2)      Tidak semua materi harus dimodifikasi hal ini bergantung pada sifat materi yang dipelajari yakni kesulitan, kerumitan, kedalaman atau keluasannya, juga bergantung pada jenis hambatan yang dialami siswa.
3)      Siswa berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan paling banyak membutuhkan modifikasi materi pembelajaran.
4)      Semakin bersifat akademik dan abstrak suatu materi pembelajaran semaakin perlu materi tersebut dimodifikasi. Sejumlah materi dalam mata pelajaran kesenian mungkin tidak harus dimodifikasi, tetapi materi-materi dalam mata pelajaran Matematika dan IPA akan banyak dimodifikasi.
5)      Proses modifikasi materi harus didasarkan pada kondisi atau level kemampuan siswa berkebutuhan khusus yang didasarkan pada hasil assessment.
c.       Modifikasi proses
Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa regular tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, sumber belajar dan lain-lain.
Kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan memperhatikan kelemahan yang dimiliki oleh siswa. Artinya cara yang dilakukan oleh guru harus mampu mengatasi kelemahan pada siswa dan memanfaatkan kelebihan yang ada padanya. Misalnya, untuk siswa tunanetra harus menekankan suara yang bisa didengar, sedangkan untuk tunarungu harus menekankan pada aktivitas visual yang dapat dilihat. Untuk siswa tunagrahita penekanan pada kesederhanaan cara penyampaian sehingga mudah dipahami.
d.       Modifikasi evaluasi
Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, siswa berkebutuhan khusus menjalani system evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain. Ada beberapa prinsip sekaligus cara yang penting dipertimbangkan oleh guru dalam melakukan modifikasi evaluasi: 
1)   Siswa berkebutuhan khusus harus menjalani sistem evaluasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. 
2)   Perubahan (modifikasi) sistem evaluasi bisa dilakukan terkait dengan empat komponen evaluasi yaitu : isi/materi evaluasi, cara pelaksanaan evaluasi, kriteria keberhasilan dan model pelaporannya.
3)   Siswa ABK yang mengalami hambatan kecerdasan membutuhkan modifikasi evaluasi yang lebih signifikan dan pada banyak aspek evaluasi.
4)   Semakin berat hambatan kecerdasan, semakin signifikan perubahan (modifikasi) sistem evaluasi yang dilakukan.
3.      Model Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model kurikulum, maka substitusi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin diberlakukan kepada siswa berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai yang kurang lebih sama). Model penggantian (substitusi) bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses atau evaluasi.
4.      Model Omisi
Omisi berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk mengilangkan sesuatu (bagian atau keseluruhan) dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.

D.      Setting Lingkungan Belajar
UNESCO 2009- Policy Guidelines for Inclusion mengungkapkan bahwa salah satu dari yang menjadi permasalah sekolah inklusi saat ini antara lain yaitu kebutuhan penyediaan alat peraga dan bahan untuk meningkatkan partisipasi anak-anak difable, serta bagaimana kebutuhan adaptasi dengan infrastruktur sekolah (Johnson dan Wilman, 2001;2007;2008).

Dunst, Bruder, Trivette, dan Hamby (2006) melakukan penelitian terkait bagaimana setting kegiatan sehari-hari dilingkungan belajar natural jauh lebih memberikan manfaat dibanding intervensi kegiatan belajar bagai anak-anak. Dengan kata lain bagi anak-anak situasi lingkungan belajar yang baik dan alami diperlukan untuk mendukung mereka dalam meningkatkan kemampuan belajar. Bagaimanapun program dan pihak-pihak terkait melakukan pengembangan inklusi berjalan dengan baik, tetap saja tidak bisa serta merta maksimal jika lingkungan belajar tidak mendukung bagaimana anak-anak berkebutuhan khusus untuk menjalankan aktivitasnya.

Setting belajar yang sesuai dengan kebutuhan objektif anak-anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang perlu disarankan dilingkungan belajar mengajar pada sekolah inklusi. Beberapa anak berkebutuhan khusus kadang kala kesulitan berada di lingkungan sekolah non SLB (sekolah Luar Biasa) dikarenakan fasilitas yang kurang mendukung untuk kegiatan mereka, semisal tidak adanya besi titian di pinggir dinding trotoar sekolah yang dapat digunakan untuk anak-anak tunanetra dalam berjalan. Sekolah inklusi yang baik seharusnya memiliki fasilitas yang juga ikut membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa melakukan aktifitas sosialnya maupun aktifitas belajarnya, misalnya untuk adanya ruangan khusus disekolah yang menyediakan fasilitas belajar diluar materi akademik seperti pelajaran menjahit, musik, olah raga dan lainnya.