Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan Tidak Perlu Sekolah Tinggi-Tinggi

 
Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, ujungnya hanya ke sumur, dapur, kasur

Sebuah ungkapan yang terdengar sangat lumrah bagi telinga perempuan. Persepsi yang dituturkan turun temurun ini tak melihat jaman dan mengabaikan pentingnya perkembangan ilmu pengetahuan.  Padahal misi pendidikan Indonesia pun untuk menyamaratakan pendidikan disemua wilayah yang ada dibumi nusantara. Dan hak dasar bagi seluruh warga negara Indonesia pun salah satunya adalah akses pendidikan, baik bagi laki-laki atau perempuan. Dimana hak mendapat pendidikan ini termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keenam belas di dunia, dengan populasi perempuan yang terdiri dari hampir setengah dari populasi negara Indonesia, yang berdasarkan sensus Badan Perencanaan Pembangunan Nasioal, Badan Pusat Statistik dan United Nations Population Fund bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak 131,88 juta jiwa berjenis kelamin perempuan (KataData, 2018). Jika seperti itu, maka perempuan akan berpotensi menjadi pendorong yang kuat di belakang pembangunan negara. Dan Tidak diragukan lagi, jika potensi perempuan dapat ditingkatkan lagi sederajat dengan laki-laki maka mereka dapat menjadi agen perubahan dan kekuatan kuat untuk peningkatan kesejahteraan di negara ini. Namun sayangnya, pengamatan yang cermat terhadap data sensus menunjukkan bahwa perempuan tertinggal di belakang laki-laki di berbagai arena, sebagaimana dibuktikan oleh Indeks Kesetaraan Gender (IKG). Diluar langkah pemerintah Indonesia yang sudah giat mengejar gender equality bagi inklusivitas perempuan, terlihat dalam upaya untuk memberi perempuan berbagai peluang dalam memperbaiki diri dan melangkah maju seperti dari dikeluarkannya keputusan Pengarusutamaan Gender  pada tahun 2000 (Instruksi Pemerintahan Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender). Tapi meskipun begitu, apakah perempuan mendapat manfaat dari kemajuan yang telah dibuat negara ini dalam beberapa dekade terakhir?
Perempuan dan Bahasa
 Bahasa digunakan oleh seseorang untuk dapat menempatkan dirinya ke dalam suatu ruang sosial yang bermulti-dimensi. Bagi penutur atau orang yang menyampaikan bahasa, hal ini merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan seperti apa posisinya dalam masyarakat. Seperti didalam masyarakat, anak laki-laki diberikan keluwesan dalam melakukan banyak hal, tidak seperti perempuan yang dituntut untuk menjadi seseorang yang menurut konstruk sosial sudah menjadi kodratnya. Misalnya ucapan seorang orangtua, “Yuna,  sini bantuin ibu masak, kalau kamu tidak bisa masak nanti tidak ada pria yang mau sama kamu.“  sedangkan kepada anak laki-laki, seperti “Bagas, kamu harus rajin belajar dan pintar, agar dapat bekerja dengan hebat seperti ayahmu”. Padahal memasak bukan hanya tugas pokok seorang perempuan saja, laki-laki juga harus memiliki kemampuan itu dan yang pintar pun bukan hanya hak bagi laki-laki saja. Itulah ungkapan kecil penyebab dari timbulnya paham gender di masyarakat yang patriarkal. Ditambah masih adanya superioritas laki-laki dalam konteks bahasa seperti, perempuan meskipun pendidikannya tinggi pasti akhirnya akan berperan di sumur, dapur, kasur. Atau ungkapan lain dalam bahasa Jawa, “kabotan gelung, keribet nyamping” bahwa maksudnya, perempuan tidak akan mampu berperan maksimal karena keberatan oleh sanggul dan kesrimpetkain.
Padahal melihat maknanya, kata perempuan itu menginterpretasikan siapa diri perempuan yang sebenarnya. Perempuan berasal dari bahasa Jawa yaitu “per-empuan”, empu diartikan sebagai pemilik atau siapa yang menguasi. Jadi maksudnya, perempuan adalah pemilik dirinya sendiri, bebas menjadi apa yang ia inginkan, dan tidak terjebak batasan-batasan yang ada diluar dirinya. Berbeda dengan makna kata wanita, yang berasal dari kata “Wani di Tata” yang berarti berani untuk di atur. Dua kata ini sangat jelas membedakan interpretasi perempuan yang bukan  sebagai objek semata, yang mampu diatur dan dikendalikan. Jangan sampai kesalahan pemahaman makna bahasa yang diungkapkan kepada perempuan malah mengkonstruksi pemikiran-pemikiran atas siapa diri perempuan yang sebenarnya termakan budaya patriarkat. Pengetahuan yang minim ini membuat perempuan tidak akan bersemangat untuk mengaktualisasi dirinya sebagai perempuan yang bermakna bebas dan mampu melampaui dirinya, bereksistensi, dan melahirkan pertanyaan bagi dirinya seperti who am I, where am I going?, why am I here?
Pendidikan Perempuan
Pendidikan tinggi adalah sesuatu yang mewah bagi perempuan terlepas dari mitos,  interpretasi agama atau faktor kemiskinan. Namun perspesi male oriented ini telah mengakar kuat pada masyarakat bahkan pada diri perempuan yang beranggapan pendidikan lebih utama bagi laki-laki sehingga membuat motivasi perempuan untuk bersekolah menjadi berkurang. Yang pada akhirnya perempuan hanya bisa memilih untuk bertanggung jawab pada pekerjaan domestiknya saja. Diluar dari adanya akses pendidikan yang bebas, hal ini tetap saja membuat perempuan menderita karena menjadi korban tatanan sosial yang memberlakukan mereka sebagai pemain peran posisi kedua yang termarginalkan dan berstigma. Padahal jaman sekarang ini bukan lagi saatnya budaya patriarki yang mendominasi.
Perempuan harus bebas dari pelabelan, stigma, atau stereotip yang merugikan perempuan. Dari pendidikanlah maka  manfaat utama akan didapatkan perempuan dimasyarakat, yaitu adanya kekuatan untuk menciptakan lingkungan yang positif. Maka dari itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan perempuan, yaitu sebagai berikut:
1.      Lebih banyak perempuan (ibu) yang berpendidikan maka akan ada anak yang lebih terdidik. Pendidikan ibu sangat penting untuk investasi sumber daya manusia generasi berikutnya, karena anak yang cerdas lahir dari ibu yang pintar. Perempuan yang lebih berpendidikan akan lebih mampu melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka dari dampak guncangan ekonomi dan lingkungan. Lebih banyak ibu yang berpendidikan mampu melindungi kesejahteraan anak-anaknya ketika adanya krisis ekonomi karena mampu mengendalikan pendapatan rumah tangga. Pertumbuhan ekonomi negara juga lebih cepat ketika anak perempuan dan laki-laki mau belajar. Penelitian empiris menemukan bahwa lebih banyak kesetaraan gender dalam pendidikan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
2.      Perempuan yang terdidik akan bercita-cita untuk menjadi pemimpin dan atau menciptakan seorang pemimpin. Perempuan atau bahkan anak perempuan jangan sampai memiliki aspirasi yang lebih rendah mengenai diri mereka sendiri. Beri mereka kesempatan untuk dapat memiliki kepercayaan diri dan keterampilan untuk membuat perubahan. Sejumlah kasus dari India hingga Rwanda telah menunjukkan bahwa dengan memiliki perempuan sebagai pemimpin dalam komunitas mereka dapat membuat perbedaan, mengarahkan kebijakan dan program yang meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Abbott, 2008). Dan sisi lain, dengan pendidikan dan pelatihan dapat memabantu perempuan dalam pengembangan potensi, yang idealnya akan meningkatkan kesempatan kerja untuk membuat berbagai kontribusi terhadap pengembangan masyarakat.
3.      Kualitas sekolah harus sangat diperhatikan, seperti kurikulum dan materi pembelajaran berkualitas tinggi dan peka gender. Cara terbaik untukmembantu anak perempuan mendapatkan pendidikan adalah dengan memastikan bahwa pemerintah memiliki sistem pendidikan yang kuat, yang memungkinkan semua anak mengakses sekolah yang baik dan dengan peluang belajar yang berkualitas. Sekolah yang baik harus berada di tempat di mana anak perempuan dan anak laki-laki sama-sama diberi kesempatan untuk berkembang dan tumbuhMisalnya dalam indikator kurikulum, selainkesetaraan akses dalam setiap kegiatan pembelajaran, juga pada partisipasi yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen pembelajaran. Lalu, terkait penggunaan metode pembelajaran yang partisipasif, adil dan apresiatif, baik laki-laki maupun perempuan (Ghufron, 2009). Selain itu, adanya kekerasan dan pelecehan sudah meluas dan membahayakan jutaan perempuan, mirisnya jika terjadi disekolah dan anak perempuan sebagai korban, mencakup praktik pelecehan seksual, eksploitasi, dan intimidasi yang malah ditutup-tutupi karena takut akan mendapat perilakuvictim blaming dan membahayakan psikologis korban.
4.      Perempuan yang lebih berpendidikan akan memiliki anak-anak yang lebih sehat. Jika perempuan dapat tumbuh sehat dan memiliki kesempatan sekolah yang sama mereka dapat melahirkan dengan pemenuhan gizi yang tercukupi. Kemudian perempuan terdidik, dapat mendidik anak dengan baik karena gerbang utama sebuah pendidikan itu ada dari seorang perempuan. Tidak ada lagi ruang terbatas dan harapan yang membatasi kemampuan anak perempuan untuk memetik hasil pendidikan yang menyebabkan  negara ini memiliki polemik pernikahan dini dan kehamilan diluar pernikahan terjadi, yang akhirnya malah melahirkan polemik baru. Perkawinan anak akan membebani biaya yang besar untuk anak perempuan secara sosial, fisik, dan emosional dan merusak upaya untuk meningkatkan pendidikan anak perempuan. Dari pendidikan yang didapatkan perempuan, maka akan mencegah permasalahan ini, tidak akan ada lagi pernikahan dini yang menyebabkan anak putus sekolah, melakukan aborsi atau tindakan lain yang merugikan perempuan dan negara. Menurut data, anak perempuan lebih banyak putus sekolah karena kasus perkawinan dan kehamilan dini.  Menurut sebuah laporan (Evenhuis & Burn), 85% anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan setelah menikah, selain diakibatkan kurangnya kesempatan kerja.  
Perempuan bukan merupakan akar masalah di negara ini, namun perempuan merupakan korban dari adanya pelabelan dan hasil marginalisasi gender yang merugikan peran perempuan di masyarakat. Padahal, jika mereka diperhatikan keberadaan dan hak-haknya sebagai seorang manusia yang memiliki peran dan fungsi penting, bukan hanya sebagai regenerasi saja, tapi ikut berperan juga dalam menciptakan populasi bagi dunia yang lebih baik. Bukankah perempuan adalah fondasi sebuah negara? Selain itu, dengan memperhatikan, mampu membedakan, dan memahami bahwa terdapat ungkapan-ungkapan yang merupakan stigma dan stereotip hasil budaya patriarki masyarakat yang kembali lagi akan merugikan perempuan, dan berimplikasi juga terhadap persoalan negara. Namun, pendidikan yang merupakan proses dalam aktualisasi diri seharusnya tidak memihak satu gender saja. Karena pendidikan merupakan faktor terpenting bagi perempuan untuk mencapai kekuatan dalam melawan bias gender yang akan menghapus diskriminasi terhadap eksistensinya. Dari kekuatan pendidikan tersebut maka akan datang pemberdayaan perempuan yang akan memberikan kemerataan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia dalam segala aspek kehidupan.