Teori Belajar Behaviorisme (Tingkah Laku) Lengkap
Teori Belajar
Behaviorisme – Behaviorisme dari kata behave yang
berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan
dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku
dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian,
behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik
esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman
terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang,
bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang
tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov
dengan teorinya yang disebut classical conditioning , John B. Watson yang
dijuluki behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya
Law of Efect ), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant
conditioning.
Teori Pengkondisian
Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov
adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di
dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,
bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An
Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru
bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik karena kemudian muncul
teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang
menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau
refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik
atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air
liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan
anjing eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di
waktu makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali,
ternyata mulai mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov
menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba
putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga
menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning
biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi
ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar
bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan
dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian
(mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti
membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi
lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan
anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang
asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya
menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah
belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng
menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur
anjing disebut respons dengan pengkondisian.
Prinsip-prinsip
Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti
temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil mengidentifikasi empat
proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi/fase tanpa
pengkondisian), generalization (generalisasi),
dan discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi
merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi—sebagai contoh, anjing
‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika stimulus
kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang waktu
setengah detik. Conditioning memerlukan waktu
lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang
lama antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi
mengikuti stimulus utama sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum
lonceng berbunyi—conditioning jarang terjadi.
2) Fase Eliminasi
Sekali telah
dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen.
Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan
eliminasi respons kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa
stimulus utama. Jika seekor anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena
adanya suara lonceng, peneliti dapat secara berangsur-angsur menghilangkan
stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan makanan
sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan
telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia
merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit
oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada anjing
tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang
kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang
terhadap anjing yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari
generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar
menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang
sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan
respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa
tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
Teori Stimulus-Respons
John Watson
Pada tahun 1919,
pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi
metode introspektif dalam pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan
perhatian pada perilaku yang ada atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar
psikologi itu sendiri. Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai
metode untuk mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme
terhadap lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme
tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah
komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya
sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan
pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian,
mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah,
Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S – R (stimulus-response).
Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson
melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin
menerapkan classical conditioning pada
reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa personalitas
seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan
yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner
melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal
eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi
takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus.
Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen
Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk
pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya
tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman
yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga
menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan
beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan
berlebihan terhadap objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar
psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat
menjelaskan beberapa respons emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan,
kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli khusus.
Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang
dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat,
hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan
menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi
menggunakan prosedur classical conditioning untuk
merawat fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti
kecanduan alcohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek
tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang
ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika
penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus
kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut.
Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita meminum minuman
beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan
rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau
mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti
ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang dihadapinya.
Hukum Efek dan Teori
Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike
adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia University AS. Dalam
bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak
suka pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru
berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya
ditujukan untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan
awal munculnya operant conditioning (pengkondisian
yang disadari).
Prinsip yang
dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari
suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan
adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang
disadari.
Pecobaan Thorndike
Subjek riset
Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk melihat
bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil
yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki),
dan jika hewan itu melakukan respons yang benar (seperti menarik tali,
mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan tersebut
akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali
hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi
respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya hewan
tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan
makanan. Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa
detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan
‘kurva waktu belajar’ tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan
menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak,
namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba
lagi sampai benar).
Thorndike menjelaskan
ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut agar dapat
lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat
waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan
naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya
tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan.
Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan
bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat
‘belajar’ secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas
eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum
ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih
cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang
diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung
tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike
menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa
keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos
‘diperkuat’ setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang
menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner
dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian
yang disadari).
Pengkondisian Disadari
B.F. Skinner
Burrhus Frederic “B.
F.” Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita menjadi
seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun pada
akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu
saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia
memutuskan untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh
gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua
universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga menjadi profesor di
tahun 1948. Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset
terhadap belajar dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan
berbagai prinsip penting dari operant conditioning,
suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai seorang
behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat
menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada
kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan
kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan
menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari.
Percobaan Skinner
Diawali di tahun
1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari
perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang kemudian
disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner berupa
ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons
sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di
dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda
dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons
yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak;
(2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons,
sehingga penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari)
membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons
ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat
mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola
pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
Prinsip-prinsip Operant
Conditioning
Selama lebih 60 tahun
dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana
seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada.
Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement (penguatan
kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).
1) Penguatan
Reinforcement (penguatan) berarti
proses yang memperkuat perilaku—yaitu, memperbesar kesempatan supaya perilaku
tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement, yaitu
positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat
perilaku dengan menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode yang
efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk manusia,
penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan
kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan
materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses
karir seseorang.
Bergantung pada
situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik yang
diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan mau bekerja
keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima dari orang
tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian, mereka
mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya, atau
mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan
penerimaan dari kelompok sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk
perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama
berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu,
uang dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti
perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan
suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui cara menyertainya dengan
menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada dua
tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari.
Di dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah
pada menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika
seseorang dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan
sakit kepalanya dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan
obat itu lagi ketika terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari),
seseorang melakukan suatu perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk
menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda
dan hukuman, dan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai
buruk
2) Hukuman
Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman
memperlemah, mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya
dengan reinforcement, ada dua macam hukuman, positif dan
negatif. Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan
stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua
menggunakan hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi, atau meneriaki
anak karena perilaku yang buruk. Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika
mereka menahan atau memenjarakan seseorang yang melanggar hukum.
Hukuman negatif atau
disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan menghilangkan
stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang
membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena
perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang
besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara yang efektif
dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen
dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika hukuman
digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif dalam mengurangi
perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa
kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi
marah, agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin
menyembunyikan bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari
situasi buruknya, seperti halnya ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi
pula, hukuman mungkin mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan
hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak yang
dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi
tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar
psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol
perilaku ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.
3) Pembentukan
Pembentukan merupakan
teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar perilaku hewan atau manusia yang
belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru memulainya dengan
penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan
mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang
dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang terletak di
atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada gerakan
kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan
seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas.
Pakar psikologi telah
menggunakan shaping (pembentukan) ini
untuk mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan
mental yang parah dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang
mereka keluarkan, dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin
menyerupai kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun
binatang menggunakan shaping ini
untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja,
harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke
arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui lingkaran.
4) Eliminasi Penguatan
Sebagaimana
dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di
dalam operant conditioning tidak selalu permanen. Di
dalam operant conditioning, extinction (eliminasi
kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan
penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas
karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat
penekanannya pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali
jika makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua
seringkali memberikan reinforcement negatif
sifat marah anak-anak muda dengan memberinya perhatian. Jika orang tua
mengabaikan saja kemarahan anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa
perhatian tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya
secara berangsurangsur akan berkurang.
5) Generalisasi dan
Diskriminasi
Generalisasi dan
diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris
sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning.
Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu
situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya sama. Sebagai misal,
seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu di suatu
bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi pernikahan.
Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam
suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa
menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang
memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif
memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang
tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada
situasi yang riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika
perilaku akan dan tidak akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning.
Penerapan Operant
Conditioning
Operant
conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat
memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada
perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi
dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik
yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan
hadiah untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi
para pekerjanya.
Pakar psikologi yang
disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant conditioning untuk merawat anak-anak atau
orang dewasa yang memiliki kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku.
Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping untuk
mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami
keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat
diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, dan
menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku
agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga
menggunakan teknik operant conditioning untuk
merawat kecenderungan bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan,
kecanduan obat terlarang, perilaku konsumtif, kelainan perilaku dalam makan,
dan masalah lainnya