Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filsafat Konstruktivisme Lengkap

Filsafat Konstruktivisme
      A. Latar Belakang Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukaan oleh sejarawan Italia yang bernama Giambatista Vico pada tahun 1710. Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena dan lingkungan. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70) dalam Adisusilo (2006:1), bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan. Rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki sebelumnya setelah berinteraksi dengan lingkungannya.
Von Glaserfeld (1988) mengemukakan, bahwa pengertian konstruktivisme kognitif muncul pada abad ini pada tulisan Mark Baldwin yang diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi gagasan pokok cikal bakal Konstruktivisme sesungguhnya sudah dimulai oleh Giambatista Vico, seorang epistimolog dari Italia. Pada tahun 1710 dalam karyanya De Antiquissima Itolarum Sapienta Vicotelah mengungkapkan filsafatnya dengan berkata: “ Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Selain itu, Vico juga menyatakan bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Artinya, seseorang dapat dipandang mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur yang membangun sesuatu itu serta mengetahui bagaimana membuat sesuatu itu. Berkenaan dengan ini, Vico meyakini hanya Tuhan yang dapat mengerti alam raya ini, sebab hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya. Sedangkan, manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah di konstruksikan. (Paul Suparno,1977).

B.      Konsep Filsafat Umum
1.    Metafisika
Hakikat Realitas:menurut Konstruktivisme,manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis.Yang dapat kita mengerti hanyalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek(Shapiro,1994).Konstruktivisme memang tidak bertujuan mengerti realitas secara ontologis,tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu.
Konstruktivisme menolak prinsip independensi dan objektivisme dari Realisme/Empirisme,yang menyatakan bahwa keberadaan realitas berdiri sendiri terlepas dari subjek pengamat,namun terbuka untuk dapat diketahui melalui pengalaman empiris.Demikian pula Konstruktivisme menolak pandangan Idealisme yang menyatakan realitas yang hakiki bersifat ideal/spiritual,yang mana dunia fisik yang nampak dipandang sebagai”bayangan”(copy) dari duia ide atau   spiritual. Bagi   penganut kontruktivisme, ”realitas” itu tiada lain adalah fenomena sejauh dipahami oleh yang menangkapnya.
2.    Epistimologi dan Aksiologi
Filsuf realisme atau empirisme(misalnya:Aristoteles,John Locke) menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah”dunia luar”,semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman atau observasi atas alam semesta.Sebaliknya,filsuf idealisme atau Nativisme(misalnya:Plato) menyatakan sumber pengetahuan itu adalah “dari dalam”(ide bawaan).Sedangkan filsuf Konstruktivisme(misalnya:Vico)  menyatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari dunia luar tetapi dikonstruksikan dari dalam diri individu.jadi Konstruktivisme memuat dua segi,yaitu Empirisme/Realisme dan Nativisme/Idealisme.
Kriteria kebenaran.Bagi konstruktivis,kebenaran pengetahuan diletakkan pada viabilitas.Dengan kriteria ini,maka pengetahuan manusia ada taraf atau tingkatannya: ada pengetahuan yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan pengetahuan yang hanya cocok untuk beberapa persoalan saja.
Sifat pengetahuanPengetahuan memiliki sifat: (1)subjektif,sebab pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri,sehingga (2) pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari dari seseorang kepada oranglain; (3) pengetahuan bukan barang mati yang sekaligus jadi, bukan tertentu dan deterministik,melainkan suatu proses yang terus berkembang; dan karena itu (4) pengetahuan bersifat relatif.
C.     Implikasi terhadap Pendidikan
Dalam Konstruktivisme istialh pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar.Bagi penganut konstruktivisme mengajar bukanlah kegiata memindahkan pengetahuan dari guru kepada murid melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswanya membangun sendiri pengetahuan. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam mengkontruksi pengetahuan, makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri(Betteuncourt,19989).Mengajar, dalam konteks ini adalah membantu seseorang berfikir secara benar dengan membiarkan berfikir sendiri( Von Glasersfeld,1989 ). Dalam kegiatan mengajar, penyediaan prasrana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa mengajar juga adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi (Paul suparno).
1.         Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan(pengajaran) atau tujuan pengajaran konstruktivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai hasil konsruksi aktif si pelajar (fosnot,1996). Ini berbeda denagn Behaviorisme yang menekankan ketermpilan sebagai tujuan pengajaran. Berbeda pula dengan Maturasionisme yang lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai langkah langkah perkembangan individu. Menurut Maturasionisme, jika seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada maka dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang lengkap. Sedangkan menurut konstruktivisme jika sseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannnya sendiri secara aktif,meskipun ia berumur tua,pengetahuannya akan tetap tidak berkembang (Paul Suparno,1997).
2.         Kurikulum Pendidikan
Driver dan Oldham (Matthews, 1994) menyatakan, bahwa perencana kurikulum Konstruktivisme tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagi cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan  sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan ajar yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan (permasalahan) yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Paul Suparno,1997).
3.         Metode Pendidikan
Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajar saja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan (Paul Suparno, 1997).
4.         Peranan Guru dan Siswa
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Menurut Tobin, dkk., (1994) “ bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pembimbing, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1997). Dalam artian ini,guru dan peserta didik atau pelajar lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuannya. Adapun peserta didik dituntut aktif belajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuaanya, dan karena itu peserta didik sendirilah yang bertanggungjawab atas hasil belajarnya.
Menurut Tobin, tippins, dan Gallard (1994) masyarakat sekarang ini sedang mengalami sesuatu tentang apa yang disebut oleh Thomas Kuhn sebagai pergeseran paradigma. Secara umum banyak orang meragukan kebenaran paradigma lama seperti paradigma Idealisme, Rasionalisme, Empirisme, atau Objektivisme, dan mulai menerima paradigma konstruktivisme. Contoh: paradigma lama yang menyatakan bahwa “pengetahuan sudah ada sebagai suatu fakta atau kenyataan; atau bahwa “pengetahuan dapat ditransfer dari guru kepada siswa, dsb”, sekarang mulai diragukan banyak orang dalam bidang epistimologi dan pendidikan. Sebaliknya mereka mulai menerima paradigma Konstruktivisme yang menyatakan bahwa” pengetahuan seseorang adalah konstruksi (bentukan) orang ybs., karena itu transfer pengetahuan dari guru kepada siswa tidaklah mungkin. Menurut Tobin, dkk., dewasa ini “masyarakat pendidikan sains ingin melihat siswa belajar sains sebagai suatu proses. Mereka terlebih di Amerika Serikat, ingin menyaksikan para siswa belajar sains dan matematika dengan cara yang berarti, memperkaya, dan memungkinkan mereka menginterpretasikan alam semesta ini dalam pengertian ilmiah.
Pergeseran paradigma dan perubahan sikap atau revolusi kognitif seperti di atas memang menantang memberikan semangat bagi mereka yang terlibat dalam bidang pendidikan, namun sekaligus juga membingungkan dan menakutkan karena suatu makna baru dari pencrian dalam bidang pendidikan muncul. Misalnya Osborne (1993) dan Matthews (1994) mengemukakan bahwa Konstruktivisme mengandung suatu bahaya yang mengarah kepada empirisme dan relativisme, terlebih dalam pendidikan sains (Paul Suparno).
Apabila Orborne dan Matthews memandang adanya bahaya relativisme dari filsafat Konstruktivisme dalam konteks pendidikan sains, maka kita sebetulnya dapat pula melihat bahaya relativisme tersebut dalam konteks pendidikan yang lainnya seperti dalam konteks pendidikan nilai. Maksudnya, kita dapat melihat adanya bahay relativisme dalam pendidikan nilai-nilai agama yang telah kita yakini kemutlakan kebenarannya. Di balik itu, Konstruktivisme dapat memberikan pencerahan kepada para guru yang selama ini berpandangan bahwa kegiatan guru seperti itu tidaklah mungkin berhasil, mengingat pengetahuan hakikatnya adalah konstruksi dari siswa itu sendiri. Sehubungan dengan itu, sebagaimana paragmatisme, konsruktivisme menyarankan agar kurikulum pendidikan janganlah merupakan kumpulan bahan ajar yang akan ditransfer kepada siswa, melainkan merupakan suatu program aktivitas yang berpusat pada masalah yang perlu dipecahkan para siswa sehingga dengan demikian para siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Dalam konteks kurikulum seperti itu,maka guru hendaknya berperan sebagai mediator, fasilitator dan pembimbing siswa belajar.

D.     Pandangan Aliran Kontruktivisme menurut para Ahli
1. Konstruktivisme Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003: 59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya.
2. Konstruktivisme Menurut von Glasersfeld 
Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan pendapat von Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.
Berkaitan dengan pembelajaran, von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.
3. Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Psikolog Rusia Lev Semionovich (meninggal tahun 1934), berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa mengemukakan dua ide. Pertama bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000) dan mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign sistem) yang individu berkembang dengannya (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan dan sistem perhitungan.