Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ziarah

Kita berjingkat lewat
jalan kecil ini
dengan kaki telanjang; kita berziarah
ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita.
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa-apa. Kita
tak membawa kemenyan atau pun bunga
kecuali seberkas rencana-rencan kecil
(yang senantiasa tertunda-tunda) untuk
kita sombongkan kepada mereka.
Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis,
atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka
di sana? Tidak, mereka hanya kenangan.
hanya batang-batang cemara yang menusuk langit
yang akar-akarnya pada bumi keras.
Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka;
ibu-bapak kita yang mendongeng
tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,
tanpa menyebut-nyebut nama.
Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,
kenangan yang membuat kita merasa
pernah ada.
Kita berziarah; berjingkatlah sesampai
di ujung jalan kecil ini:
sebuah lapangan terbuka
batang-batang cemara
angin.
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;
mereka telah tidur sejak abad pertama,
semenjak Hari Pertama itu.
Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa
jasad mereka.
Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak
kita dalam dongengan nina-bobok.
Di tangan kita berkas-berkas rencana,
di atas kepala
sang Surya.