Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pergaulan dan Pendidikan

Pedagogik atau ilmu mendidik ialah suatu ilmu yang bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya harus bertindak. Akan dasar terakhir ini, maka ilmu mendidik disebut juga-seperti halnya dengan semua ilmu yang bersamaan sifatnya-suatu “ilmu praktis”. Tetapi biarpun demikian, namun dapat dibedakan ilmu mendidik teoritis daripada ilmu mendidik praktis. Pada yang pertama pikiran tertuju pada penyusunan persoalan dan penyusunan persoalan dan pengetahuan sekitar pendidikan secara ilmiah, sedang pada yang kedua fikiran tertuju pada cara-cara bertindak. Yang pertama mempunyai lapangan yang bergerak dari praktek pendidikan kearah penyusunan suatu sistem pendidikan. Soal-soal yang muncul pada latar filsafat pun turut juga termasuk dalam ilmu mendidik teoritis. Paedagogik praktis menempatkan dirinya dalam situasi pendidikan dan tertuju pada pelaksanaan realisasi daripada jita (ideal) yang tersusun dalam ilmu mendidik teoritis.
Uraian di atas ini menegaskan, bahwa sekalipun pedagogik itu sebagai keseluruhan merupakan suatu ilmu praktis, namun dijelaskan pula aspeknya yang mengenai teori dan yang ditunjukkan pada tindakan. Gunning pernah membedakan (1923) paedagogik (ilmu mendidik) dengan paedagogi (pendidikan). Tetapi tak ada gunanya menurut hemat kami membubuhkan kata praktis pada istilah terakhir, seperti yang dilakukan oleh Gunning, karena mendidik selalu berarti bertindak.
Ilmu mendidik sistematis menurut sifatnya selau teoritis. Oleh karena, sistematis dan teoritis sebenarnya dapat dipakai menyatakan maksud yang sama. Tetapi paedagogik teoritis mempunyai arti yang lebih luas lagi dari sistematis.

A. Kemungkinan dan Sifat Perubaha Situasi Pergaulan Orang Dewasa dengan Anak
Situasi pergaulan biasa antara orang dewasa dengan anak dapat berubah atau diubah menjadi situasi pendidikan jika terpenuhinya dua sifat pegaulan pendidikan, yaitu jika orang dewasa secara sengaja mempengaruhi anak agar mencapai kedewasaan. Dalam pernyataan tersebut tersirat makna sebagai berikut: karena pengaruh tersebut diberikan secara sengaja (disadari), maka dalam situasi pendidikan seorang pendidik harus sudah mempunyai tujuan pendidikan tertentu; untuk mencapai tujuan tersebut pendidik memilihkan isi pendidikan (berupa pengetahuan, sikap, keterampilan dan/atau nilai-nilai) yang tepat pada anak didiknya; adapun dalam rangka mempengaruhi anak; pendidik juga perlu menggunakan cara dan alat pendidikan. Implikasi dari itu maka tanggung jawab pendidikan berada pada pihak orang dewasa yang harus memberikan pengaruh positif kepada anak yang diarahkan kepada pencapaian kedewasaan.
Sifat yang harus dipenuhi dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi pergaulan pendidik menurut M.J. Langeveld (1980:30-31) ada empat sifat yang harus diperhaatikan apabila pendidik akan mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan, yaitu:
1. Kewajaran (wajar)
    Perlunya kewajaran dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan. Dalam keadaan tertentu, pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan hendaknya dilakukan secara wajar sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya sehingga tidak tampak jelas dan tidak dirasakan kesengajaannya oleh anak didik, walaupun sesungguhnya pengubahan situasi pergaulan itu secara sengaja diciptakan oleh pendidik. Dalam keadaan seperti ini anak biasanya hampir tidak menyadari bahwa situasi pergaulan yang sedang berlangsung telah berubah menjadi situasi pendidikan, sehingga dengan demikian anak menerima pengaruh pendidik secara wajar pula.
Pengubahan situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan yang berlangsung secara wajar perlu dilakukan, sebab pengalaman membuktikan bahwa kesengajan yang terlalau nyata biasanya dianggap oleh anak didik sebagai pelanggaran atas hak dan kebebasannya untuk menentukan sikapnya sendiri.
2. Ketegasan (tegas)
    Perlunya ketegasan dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan. Selain harus dilakukan secara wajar, dalam rangka mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan juga harus dilakukan secara tegas. Alasannya, bahwa sifat pengubahan situasi seperti ini akan memberikan kejelasan bagi anak tentang apa yang positif tau negative, mana yang baik atau tidak baik, serta menyadari apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Perlu diperhatikan, istilah tegas atau ketegasan dalam kalimat diatas bukan berarti keras atau kekerasan. Tegas disini maksudnya harus menunjukan kejelasan perbedaan antara pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan perbuatan yang benar atau baik dengan yang salah atau tidak baik.
3. Kepercayaan sebagai sarat tehnik pendidikan.
    Dalam mengubah situasi pergaulan biasa menjadi situasi pendidikan sebagaimana dikemukakan diatas, berbagai hal yang baik dan berguna bagi anak didik ibaratnya “dimasukan” kedalam pergaulan oleh pendidik. Sebaliknya, berbagai hal yang tidak baik, tidak berguna dan berbahaya bagi anak didik “dikeluarkan” oleh pendidik dari pergaulan tersebut dalam rangka itu semua, untuk mengetahui kapan harus “memasukan” hal yang baik dan kapan harus “mengeluarkan” hal yang tidak baik dari pergaulan dengan anak, tentunya pendidik perlu “mengawasi” segala sesuatu yang terjadi dalam pergaulan. Adapun “pengawasan” ini hendaknya dilakukan secara wajar, agar pergaulanpun berlangsung secara wajar dengan hati terbuka dari kedua belah pihak.
Mengapa “pengawasan” itu perlu dilakukan secara wajar? Berkenaan dengan ini perlu diperlu diperhatikan, bahwa “pengawasan yang berlebihan “dari pendidik akan mengakibatkan anak didik melarikan diri dari sifat-sifat pergaulan yang dilaksanakan dengan hati terbuka. Dia mungkin menjadi orang yang suka menyembunyikan isi hatinya, suka berbohong, dsb. Bahkan mungkin pula anak didik itu “mengunci” diri terhadap pendidik apabila “tekanan” yang ditimbulkan oleh pengawasan tersebut terlalu besar dirasakan anak didik.
Terjadinya hal diatas merupakan gejala bahwa anak didik merasa tidak aman karena dia merasa selalu “diawasi”, dan selalu khawatir segala perbuatannya akan disalahkan oleh pendidiknya. Anak didik akan merasa dirampas haknya untuk menentukan sikap dan perbuatannya sendiri. Selain itu, semua ini juga mrupakan indikasi bahwa anak didik tidak lagi percaya bahwa pendidiknya adalh orang yang menyayanginya, orang yang baik, orang yang dapat memberikan perlindungan atau rasa aman, orang yang dapat, dsb. Sebaliknya, pendidik yang “mengawasi pergaulan secara tidak wajar atau berlebihan” pun menunjkan ketidak kepercayaan pendidik bahwa anak didiknya akan mampu berbuat baik atau mampu berdiri sendiri. Pendek kata, dalam pergaulan seperti ini tidak terdapat lagi kepercayaan dari pendidik kepada anak didiknya maupun dari anak didik kepada pendidiknya. Karena tidak adanya percaya mempercayai dari kedua belah pihak itulah maka pergaulan tersebut tidak kondusif untuk pendidikan, sehubungan dengan itu M.J. Langeveld (1980:33) menyatakan bahwa “perhubungan yang berdasarkan percaya mempercayai merupakan sarat tekhnik bagi pendidikan”.
4. Lingkungan pendidikan. Pergaulan dalam rangka pendidikan berlangsung diberbagai lingkungan.Secara umum, lingkungan pendidikan dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu:
1. lingkungan pendidikan informal (keluarga).
2. Lingkungan pendidikan formal (sekolah).
3. Lingkungan pendidikan nonformal (masyarakat)

B. Sifat Pendidik
            Tindakan/pengaruh yang diberikan pendidik kepada anak didik dapat dikategorikan sebagai pendidikan hanya apabila diupayakan secara disengaja dengan cara-cara yang tidak melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang diakui masyarakat, selain itu bahwa tindakan/pengaruh itu diarahkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diakui di dalam masyarakat. Siapun (orang dewasa) yang melakukan tindakan atau memberikan pengaruh kepada anak, tetapi apabila tindakan atau pengaruhnya itu melanggar norma dan bertentangan nilai-nilai yang baik yang diakui masyarakat, dan sejauh tindakan atau pengaruhnya melanggar norma dan nilai-nilai yang diakui masyarakat (tidak mengarah kepada pencapaian kedewasaan pada diri anda), maka perbuatan demikian tidak tergolong kedalam pendidikan. Sebab itu, dinyatakan bahwa pendidikan bersifat normative.
Pendidikan bersifat normative, maka implikasinya bahwa tujuan, isi, cara dan alat pendidikan yang digunakan pendidik semuanya harus diarahkan untuk membimbing anak didik kepada hal-hal yang baik atau kearah kedewasaan. Selain itu, bahwa dalam rangka bertindak didalam pergaulan pendidikan, pendidik harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek pribadi anak didik. Apakah karakteristik anak didik berkenaan dengan keenakannya, minat, bakat, kemampuan, dsb. Pendidik juga harus mempertimbangkan bahwa anak didik bukan hanya tumbuh dan berkembang sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi “besar”, melainkan juga “ketidak mampuan dan ketergantungannya” yang menuntut asuhan, bimbingan, pengajaran, dsb. Dari pendidik. Selain itu, pendidik pun harus sadar bahwa anak didik pada dasarnya memiliki kebebasan dan keinginan untuk menjadi dirinya sendiri. Semua itu benar-benar perlu diperhatikan, sebab “pergaulan yang tidak menghormati keenakan itu menunjukan kekurangan dan ketidak sempurnaan pedagogis” (M.J. Langeveld, 1980:34). Pergaulan pendidikan yang tujuan, isi, metode, dan alat pendidikannya tidak sesuai dengan kodrat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan tidak dapat disebut sebagai pendidikan.