Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Faktor Kepenurutan,Pengalihan Tanggung Jawab, Bipolaritet, Impilikasi Pendidikan

Faktor Penentu Kepenurutan Anak Didik Kepada Pendidik

M. J. Langeveld (1980) menjelaskan bahwa kepenurutan anak didk kepada pendidik akan terntentukan oleh faktor sebagai berikut :
1.      kemampuan Anak Didik dalam Menyadari “diri/aku”-nya dan memahami bahasa
Anak akan baru mengenal kewibawaaan apabila ia telah mampu menyadari “diri/aku”-nya dan telah memahami bahasa. Hubungan kewibawaan merupakan hubungan antara subjek pendidik dengan subjek anak didik atau juga antara aku dengan engkau. Secara psikologis diketahui bahwa penyadaran “diri/aku” pada anak umumnya imulai kurang lebih pada usia 3,5 tahun. Sebelum masa ini anak belum menyadari “diri/aku”-nya, sebelum masa ini anak belum dapat memisahkan atau belum dapat membedakan antara aku dengan engkau.
Kemampuan anak dalam memahami bahasa dapat disampaikan melalui bahasa yang disampaikan pendidik, melaui saran, suruhan , larangan, petunjuk- petunjuk, atau pesan tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya diperbuat anak didik tersebut. Penguasaan bahasa akan menjembatani “bertemunya” pendidik dengan anak didik. Menurut M. J. Langeveld (1980:45) “pemahaman bahasa untuk tiba pada kepenurutan atas dasar pengakuan kewibawaan telah muncul (dalam bentuk yang sederhana) pada anak usia tiga setengah (3,5) tahun. Padfa usia lima(5) tahun dan pada usia sekolah pengakuan kewibawaan itu akan kelihatan lebih jelas lagi. Sedangkan pada usia pubertas, karena “aku” si anak mempunyai peranan besar, maka sering terjadi “krisis kewibawaan”.

2.      Kepercayaan Anak Didik kepada Pendidik
Kepercayaan anak didik kepada pendidik adalah sesuatu yang sungguh berharga dan tidak boleh disia- siakan oleh pendidik. Kepercayaan anak didik terhadap pendidik merupakan dasar kepenurutan anak kepada pendidiknya. Apabila anak didik telah percaya kepada pendidiknya, maka anak didik akan menurut patuh kepada pendidiknya. Kepercayaan anak didik kepada anak pendidik adalah sesuatu yang ssungguh berharga dan tidak boleh disia-sia kan oleh pendidik. Sebab, kepercayaan ini menyangkut nasib anak di masa depan (bahkan sampai di akhirat) yang  dapat dipertanggung jawabkan oleh pendidik. Di samping itu, kepercayaan anak didik kepada pendidik merupakan dasar kepenurutan anak kepada pendidik. Apabila anak didik telah percaya kepad pendidiknya, maka anak didik akan menurut kepada pendidiknya.
Kepercayaan anak didik kepada pendidik mungkin akan hilang seandainya pendidik belum dewasa. Maksudnya bahawa pendidikan itu tidak mempunyai kelebihan dalam berbagai hal, terutama apabila nilai-nilai dan norma-norma belum terintegrasi pada diri pendidik.

3.      Imitasi, simpati dan identifikasi anak didik kepada pendidik.
Faktor penentu kepenurutan anak didik kepada pendidik juga berkaitan dengan imitasi simpati dan identifikasi pada diri anak didik terhadap pendidiknya. Imitasi adalah suatu proses meniru yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Sesuatu yang ditirunya dari orang lain itu mungkin berkenaan dengan gaya penampilan , cara-cara berprilaku, perbuatan, cara berpakaian, gaya bicara dan sebagainya. Orang yang melakukan imitasi tidak kritis terhadap apa yang ditirunya, bahkan ia tidak memahami apa yang sesungguhnya yang ia tiru.

Simpati adalah suatu keadaan keikiutsertaan merasakan perasaan orang lain. Setiap anak didik pada dasarnya mempunyai potensi untuk bersimpati kepada pendidiknya. Hanya saja agar anak didik bersimpati kepada pendidiknya, pendidik harus sudah memenuhi faktor-faktor penentu kewibawaannya. Simpati anak didik kepada pendidik merupakan syarat yang perlu dipenuhi untuk munculnya kepenurutan atau kepatuhan anak didik kepada pendidiknya.
Identifikasi. Dalam rangka pergaulan pendidikan, pendidik harus mengidentifikasi kepada anak didiknya. Selanjutnya perlu dipahami, bahwa anak didik hakikatnya akan mengedintifikasi pendidiknya dan akan beridentifikasi kepada pendidiknya. Mengedintifikasi artinya mengenali, jadi anak didik akan berupaya mengenali pendidiknya. Apabila anak didik mengidentifikasi pendidikny hanya selintas saja, maka yang mungkin terjadi pada diri anak didik adalah proses imitasi. Beridentifikasi berarti suatu upaya yang dilakukan anak didik untuk menghubungkan diri atau menyesuaikan diri atau menyamakan diri dengan perilaku pendidiknya, atau dengan nilai-nilai yang diterima.
Kebebasan. Kepenurutan anak didik kepada pendidik dalam bentuk imitasi dan/atau karena simpati serta pada tahapan awal proses berdentifikasi hakikatnya terjadi karena adanya pengaruh keterikatan pribadi anak didik kepada pendidiknya. Kepenurutan seperti ini masih bersifat pasif. Kepenurutan seperti ini pada masa tertentu (seperti pada tahap-tahap awal perkembangan anak) memang diperlukan. Tetapi bila kepenurutan yang bersifat pasif ini berlangsung trus-menerus seiring dengan perkemban usia anak, hal ini juga akan berbahaya. Kemungkinan anak hanya akan menjadi pengekor, ia menurut tanpa kritis, tanpa mempertimbangkan keberadaanny sebagai pribadi yang memiliki kebebasan. Kepenurutan yang bersifat pasif juga dapat terjadi karena adany paksaan atau tekanan yang berlebihan sehingga  kewianak merasa takut kepada pendidiknya. Melihat hal di atas, dalam rangka pendidikan selanjutnya diharapkan dan harus terwujudkan kepenurutan yang bersifat aktif.

B.     Pengalihan tanggung jawab, bipolaritet kewibawaan dan implikasinya terhadap batas-batas pendidikan

1.      Pengalihan tanggung jawab dalam pendidikan.
Tanggung jawab merupakan salah satu ciri kedewasaan. Pendidikan diarahkan agar anak mencapai kedewasaan, artinya agar anak mampu mandiri atas dasar tanggung jawabnya sendiri. Salah satu tujuan pendidikan adalah agar anak dapat hidup secara bertanggung jawab. Dalam situasi pendidikan yang berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dengan anak didik, pada awalnya tanggung jawab berada pada pendidik. Namun seiring dengan perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya, lambat laun tanggung jawab itu harus dialihkan oleh pendidik kepada anak didik. Sebaliknya lambat laun anak didik pun harus harus berupaya merebut atau menerima tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pada akahirnya anak tidak akan lagi tergantung kepada pendidikannya dan mampu berdiri sendiri atas tanggung jawab sendiri (mencapai kedewasaan). Apabila pendidik tidak mengalihka tanggung jawab kepada anak didiknya, dan apabila anak didik tidak berupaya menerima atau merebut tanggung jawab yang harus diembannya, maka anak didik tidak akan mencapai kedewasaan.

2.      Bipolaritet kewibawaan
Kewibawaan bersifat bipolaritet atau berada pada ketegangan polair (M.J. Langeveld, 1980:61). Maksudnya, di satu pihak pendidik menuntut kepenurutan dari anak didik, di pihak lain pendidik mengakui bahwa anak didik harus mampu berdiri sendiri. Namun demikianlah ini adalah wajar adanya, dan dapat diselesaikan dengan syarat bahwa pendidikan itu dilaksanakan melalui pergaulan antara pendidik dengan anak didik yang berlangsung dalam hubungan kewibawaan.

3.      Implikasi kewibawaan dan tanggung jawab terhadap batas-batas pendidikan.
Pergaulan antara orang dewasa dengan anak yang berlangsung tanpa hubungan kewibawaan bukanlah pergaulan pendidikan. Ada dua alasan berkenaan dengan keharusan adanya kewibawaan dalam pergaulan pendidikan:
1.      Bila kewibawaan tidak ada, maka suatu perintah, ajakan, petunjuk dan tindakan-tindakan lainnya dari pendidik akan dituruti oleh anak hanya atas dasar “pengaruh keterikatan anak kepada pendidiknya”. Karena itu anak didik tidak pernah menjadi dewasa, ia akan tetap tak terdidik.
2.      Bila kewibawaan tidak ada, maka kepenurutan anak akan terjadi berkat pemahaman anak atas pengalamannya sendiri. Jika demikian halnya berarti anak sudah mampu berdiri sendiri (sudah dewasa), dan ini bertentangan dengan keadaan anak yang sebenarnya.

Berdasarkan alasan itu M.J.Langeveld (1980:60-61) mengemukakan bahwa “adanya kewibawaan itu menciptakan kemungkinan orang dewasa memberikan bantuan kepada orang yang masih belum dewasa”, karena itu “kewibawaan ialah syarat mutlak untuk pendidikan”. Mengingat dalam pergaulan antara anak dengan  anak tidak ada pengemban kewibawaan, maka dalam pergaulan tersebut tidak mungkin terjadi situasi pendidikan.