Landasan Filosofis, Historis, Yuridis, Dan Agama Tentang Pendidikan Inklusif
A. Landasan Filosofis
Setiap bangsa memiliki pandangan hidup atau
filosofi sendiri, begitu pulahalnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa
yang memiliki pandangan atau filosofi sendiri, maka dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif harus diletakkan atas dasar pandangan hidup atau filosofi
bangsa Indonesia sendiri.
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan
inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus
cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia,
baik kebinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai
umat Tuhan di bumi.
Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik,kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebinekaan horisontal diwarnai
dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal,
daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun
dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk
membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Filosofi Bhinneka
Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia bersemayam potensi yang bila
dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan benar dapat berkembang hingga
hampir tak terbatas. Bertolak dari perbedaan antar manusia, filosofi ini
meyakini adanya potensi unggul yang tersembunyi dalam diri individu apabila
dikembangkan secara optimal dan terintegrasi dengan semua potensi kemanusiaan
lainnya dapat menghasilkan suatu kinerja profesional.
Tugas pendidikan adalah
menemukan dan mengenali potensi unggul yang tersembunyi yang terdapat dalam
diri setiap individu peserta didik untuk dikembangkan hingga derajat yang
optimal sebagai bekal manusia beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian
pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk memberdayakan semua
potensi kemanusiaan yang mencakup potensi fisik, kognitif, afektif, dan intuitif
secara optimal dan terintegrasi. Keunggulan dan kekurangan adalah suatu bentuk
kebhinnekaan seperti halnya ras, suku, agama, latar budaya, dan sebagainya. Di
dalam individu dengan segala keterbatasan dan kelebihan, di mana yang memiliki
keterbatasan sering bersemayam keunggulan, dan di dalam diri individu yang
memiliki keunggulan sering bersemayam keterbatasan. Dengan demikian keunggulan
dan keterbatasan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan peserta
didik yang memiliki keterbatasan atau keunggulan dari pergaulannya dengan
peserta didik lainnya, karena pergaulan antara mereka akan memungkinkan terjadi
saling belajar tentang perilaku dan pengalaman.
Maka secara filosofis,
penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dapat dielakan sebagai berikut:
Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
didirikan atas fondasi yang disebut Bhineka Tunggal Ika;
Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain
ditegaskan bahwa:
manusia dilahirkan dalam keadaan suci,
kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan
karena fisik tetapi taqwanya,
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum
itu sendiri
manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling
silaturahmi (inklusif);
Pandangan universal Hak Azasi Manusia, menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan;
Pendidikan sebagai hak asasi anak;
Anak sebagai individu yang unik;
Keberagaman sebagai sesuatu yang alami;
Sekolah harus responsif terhadap keunikan setiap anak;
Sekolah harus memenuhi kebutuhan khusus setiap anak;
Inklusi sebagai alat yang efektif untuk memerangi
diskriminasi;
Pendidikan inklusif meningkatkan efisiensi pendidikan
bagi semua.
B. Landasan Historis
Masa-masa awal. Pada awalnya, masyarakat bersikap acuh
tak acuh bahkan menganggap sebagai sampah dan menolak, orang-orang yang memiliki
ketidakmampuan (disability) tertentu (Olsen&Fuller, 2003:161). Di
satu sisi, hal ini terjadi karena rasa takut akan takhayul bahwa ibu melahirkan
anak cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab
itu, harus dihindari, penolakan itu juga terjadi karena takut tertular. Namun
dilain sisi penolakan itu terjadi karena perjuangan untuk bertahan hidup.
Anggota kelompok yang terlalu lemah dan tidak berkontribusi terhadap
kelangsungan hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Mereka sering
kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih sayang dan
kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, terasing dari kelompok sosialnya
dan merasa tidak berguna. Mereka yang berbeda karena kecacatannya akan dikurung
atau dibiarkan mati (Skjorten, 2001).
Zaman purbakala dan pada zaman pertengahan. Pada masa
ini, muncul seorang fisikawan yakni Hippokrates (460-377 SM) yang mulai
mendobrak paradigma lama dengan menggagas bahwa berbagai permasalahan emosional
lebih merupakan kekuatan natural daripada kekuatan supra natural sebagaimana
yang selama ini diyakini. Lebih tegas lagi pada tahun 427-347 SM, Plato,
seorang filosof besar Yunani, yang merupakan murid Socrates, mengatakan bahwa mereka yang tidak stabil
secara mental tidak bertanggungjawab atas perilaku mereka. Gagasan kedua tokoh besar ini membawa perubahan. Hal ini terbukti dalam abad pertengahan. Dimana
dalam abad itu, muncul berbagai kelompok religious yang memberikan pelayanan dan tempat tinggal
bagi mereka yang diabaikan oleh keluarganya (Olsen&Fuller, 2003:161).
Abad Sembilan belas dan abad dua puluh (masa
transisi). Dalam abad ini, masyarakat semakin terbuka bagi mereka yang
mengalami ketidakmampuan tertentu. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa setiap
orang dapat belajar jika diberi stimulus secara tepat. Dengan demikian, sejak
abad sembilan belas di Amerika Serikat telah berdiri sekolah bagi mereka yang
buta dan tuli (Olsen&Fuller, 2003:162).
Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993 dicetuskan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001).
Dalam abad keduapuluhan, muncul berbagai pernyataan dan kesepakatan internasional berkaitan dengan hak manusia. Misalnya saja pada tahun 1948 ada Deklarasi Hak Asasi Manusia, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang; pada tahun 1989 ada Konvensi PBB tentang Hak Anak; pada tahun 1990 ada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Thailand, yang menghasilkan tujuan utama untuk membawa semua anak masuk sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai; tahun 1993 dicetuskan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, oleh PBB, yang diumumkan tahun 1994 (Skjorten, 2001).
Pencetusan pendidikan inklusif ini terjadi karena
selama jangka waktu yang cukup lama, para siswa penyandang cacat dididik secara
ekslusif (Watterdal, 2002). Dengan kata lain, mereka tetap diperlakukan
sebagai orang-orang yang bukan merupakan bagian dari masyarakat. Akibatnya,
masyarakat umum masih merasa aneh dengan kehadiran mereka. Tidak hanya itu, penggunaan sistem
integrasi yang telah diterapkan dulu juga meninggalkan berbagai persoalan. Sistem integrasi
mengandung makna bahwa siswa penyandang cacat diikutkan ke dalam sekolah reguler setelah
anak tersebut
mengikuti kelas khusus dan dianggap siap untuk mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Sayangnya, di sana
mereka sering ditempatkan dalam suatu kelas berdasarkan tingkat
keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut usianya.
Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu. Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas satu. Karena situasi tersebut dan semakin munculnya kesadaran akan kesamaan hak dan martabat sebagai manusia maka disuarakanlah hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak dan pelayanan yang sama. Di mana semua anak (atau orang dewasa) adalah anggota kelompok yang sama, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi, saling mempertimbangkan satu sama lain, menerima kenyataan bahwa anak (atau orang dewasa) tertentu mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda. Dan hal itu dikukuhkan dengan adanya Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif oleh UNESCO pada 1994.
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hirarki dari
undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur
jendral, peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Juga
melibatkan kesepakatan kesepakatan internasional yang berkenaan dengan
pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca, Spanyol pada tahun 1994
telah ditetapkan agar pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif.
Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya. Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Dalam kesepakatan tersebut juga dinyatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (educational for all), tidak peduli orang itu memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga tidak membedakan ras, warna kulit, suku, dan agama. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin dintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahan dalam bentuk segregrasi hanya untuk keperluan pembelajaran (instruction), bukan untuk keperluan pendidikan (education). Untuk keperluan pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disosialisasikan dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada umumnya. Adapun landasan yuridis pendidikan inklusif sebagai berikut:
Instrumen Internasional
1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak;
1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua
(Jomtien);
1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan
bagi para Penyandang Cacat;
1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus;
1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca;
2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia
(Dakar);
2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada
Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan;
2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan.
Instrumen Nasional
UUD 1945 (amandemen) pasal 31;
UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3, 5, 32, 36 ayat (3), 45
ayat (1), 51, 52, 53;
UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5;
Deklarasi Bandung (Nasional)
”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 814 Agustus 2004;
Deklarasi Bukit Tinggi (Internasional) Tahun 2005;
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003
tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
D. Landasan Agama
Sebagai
bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Di dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama lain berbeda (individual
differences). Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain dengan
maksud agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan (QS. Al-Hujurat
49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia
sebagai individual differences tersebut. Interaksi manusia harus
dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis interaksi antar
manusia, yaitu kooperatif dan kompetitif (QS. Al-Maidah, 5:2 dan 48).
Begitu pula dengan pendidikan, yang juga harus
menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat Al-Quran yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa
ada kesamaan antara pandangan filosofis dengan religi tentang hakikat manusia.
Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki; filsafat menggunakan nalar
belaka sedangkan agama menggunakan wahyu. Keduanya akan bertemu karena sumber
kebenaran hakiki hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Landasan filosofis dan
religi akan bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam pemanfaatan
hasil-hasil penelitian sebagai produk kegiatan keilmuan, termasuk di dalamnya
untuk penyelenggaran pendidikan.