Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Model Pembelajaran Sistem Perilaku


A.  Pengertian Model Pembelajaran Sistem Perilaku

Model adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik. Dengan demikian model pembelajaran dapat diartikan kerangka konseptual atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baikPerilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan pengertian model pembelajaran perilaku adalah kerangka konseptual atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik yang didasari pada tanggapan atau reaksi peserta didik terhadap rangsangan atau lingkungan.

Semua model pembelajaran rumpun ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, seperti teori belajar perilaku, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi. Model-model pembelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Ciri-ciri sistem model perilaku atau Behavioral Models yaitu:

a.    Seluruh model pada kelompok ini didasarkan pada hasil sharing kajian teori-teori secara umum, yang kemudian dipersandingkan/ diintegrasikan dengan teori-teori perilaku (yang dikondisikan).

b.    Beberapa teori yang mendasari: teori-teori belajar secara umum, teori belajar sosial, teori modifikasi perilaku, dan teori-teori terapi perilaku.

c.    Secara umum menekankan pada perubahan perilaku yang terlihat (observable) dibanding perilaku-perilaku secara psikologis atau perilaku yang tidak bisa diamati.

d.    Penerapan prinsip-prinsip stimulus terkontrol dan reinforcement yang menjadi dasar penerapan model pembelajaran interaktif dan mediasi belajar terkondisikan, baik pada pembelajaran secara individu maupun kelompok.

e.    Pengembangan kemampuan belajar melaui fakta-fakta, konsep-konsep dan keterampilan dipandang sama baiknya untuk mereduksi tingkat kecemasan maupun untuk memperoleh kegiatan relaksasi individu.

B.  Prinsip-Prinsip dalam Model Pembelajaran Sistem Perilaku
Adapun prinsip-prinsip dalam model pembelajaran sistem perilaku, diantaranya:

1.    Perilaku sebagai fenomena yang bisa diamati dan diidentifikasi
Pada dasarnya, sebuah stimulus dapat memunculkan perilaku yang juga dapat menimbulkan konsekuensi, serta dapat diperkuat dengan kemungkinan bahwa sebuah stimulus yang sama akan memunculkan perilaku yang diperkuat tersebut. Sebagai timbal baliknya, konsekuensi negative tidak akan persis sama dengan perilaku yang ditimbulkan.

Para ahli teori perilaku meyakini bahwa respon internal (semisal takut gagal), yang menengahi respon-respon yang bisa diamati (semisal menghindari bidang yang dapat memunculkan ketakutan akan gagal) sangat bisa diubah (Rimm dan Masters, 1974).

2.    Kebutuhan terhadap tingkah laku yang kurang adaptif
Masyarakat kita seringkali beranggapan bahwa ada beberapa siswa yang memiliki phobia terhadap pelajaran dalam bidang-bidang tertentu (semisal matematika) yang tidak bisa diubah atau dihilangkan. Anggapan yang demikian memunculkan citra bahwa halangan dan phobia tersebut tidak bisa diubah sehingga tidak disikapi dengan serius, meskipun sebenarnya siswa memiliki potensi untuk belajar menghilangkan phobia tersebut. Sehingga apabila dibiarkan akan terjadi penurunan besar-besaran dalam prestasi akademik bidang matematika ini. Kunci penyelesaian masalah ini adalah belajar menangani pengaruh dalam mendekati materi pelajaran tersebut.

3.    Tujuan tingkah laku adalah hal yang khusus, terpisah, dan bergantung pada individu
Walaupun teori-teori dari para ahli psikologi perilaku telah lama digunakan untuk merancang materi instruksional, semisal simulasi, yang juga digunakan oleh sejumlah siswa, kerangka ahli psikologi perilaku cenderung khusus, terpisah, dan bergantung pada individu. Respon yang persis sama tidak berarti diproses dari stimulus asli yang juga serupa. Sebaliknya, tidak ada dua orang yang akan memberikan respon pada stimulus yang sama dengan cara yang juga persis sama. Hal ini berarti bahwa tujuan masing-masing siswa mungkin akan berbeda dan bahwa proses latihan harus dilakukan secara perseorangan, baik dalam hal materi ataupun proses latihan itu sendiri.

4.    Teori tingkah laku fokus pada “hal-hal yang ada disini dan terjadi saat ini”
Peran proses pembentukkan perilaku seseorang yang sudah terjadi tidaklah terlalu ditekankan dalam hal ini. Pengajaran yang kurang baik bisa saja mengakibatkan kegagalan dalam belajar membaca, namun hal yang akan difokuskan disini adalah belajar membaca saati ini. Karena perilaku manusia yang cenderung bersifat optimis dan tidak berdiam dan terlarut dalam masa lalu. Masalah yang terasa semakin sulit sebenarnya hanya membutuhkan upaya-upaya kecil untuk mengatasinya. Para ahli perilaku sering kali melaporkan bahwa mereka telah berhasil mengubah perilaku kurang adaptif dalam waktu singkat, bahkan dalam kasus phobia atau bentuk-bentuk kemunduran jangka panjang.

C.  Rumpun Model-Model Pembelajaran Sistem Perilaku
Rumpun  model pembelajaran  Sistem Prilaku  ini didasarkan pada  the body of knowledge  yang kita sebut teori prilaku (behavior theory). Istilah-istilah lain seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi digunakan oleh para ahli yang merujuk pada setiap model dalam kelompok ini. 

Model pembelajaran perilaku mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Adapun jenis-jenis model dalam rumpun model pembelajaran sistem perilaku ini, yaitu:

1.    Model Belajar Cara Belajar dari Pembelajaran Menguasai (Mastery Learning)
Pembelajaran menguasai (Mastery Learning) adalah kerangka berpikir dalam merencanakan rangkaian instruksional, yang dirumuskan oleh John B. Carrol (1971) dan Benjamin Bloom (1971). Di Indonesia model belajar tuntas (Mastery Learning) ini dipopulerkan oleh Badan Pengembangan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan. Belajar tuntas atau Mastery Learning menyajikan suatu cara yang sistematik, menarik dan ringkas untuk meningkatkan unjuk kerja siswa ke tingkat pencapaian suatu pokok bahasan yang lebih memuaskan.

Menurut Carroll model mastery learning ini memandang belajar di sekolah sebagai rentetan tugas belajar yang jelas. Dalam setiap tugas, siswa maju dari ketidaktahuan mengenai fakta atau konsep tertentu ke pengetahuan atau pemahaman mengenai fakta atau konsep tersebut, atau dari ketidakmampuan melakukan suatu perbuatan ke kemampuan melakukannya. (Carroll, 1963 dalam Block, 1971:5).

Menurut model ini, dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang dipergunakan dan waktu yang dibutuhkan tergantung pada karakteristik tertentu dari individu serta karakteristik pengajarannya. Waktu yang dipergunakannya ditentukan oleh jumlah waktu yang ingin dipergunakan oleh siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar (kesungguhannya) dan jumlah keseluruhan waktu yang tersedia baginya. Waktu belajar yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa ditentukan oleh bakatnya untuk tugas yang bersangkutan, kualitas pengajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pengajaran tersebut. Kualitas pengajaran didefinisikan berdasarkan tingkat pendekatan terhadap kapasitas optimum bagi setiap pelajar melalui penyajian, penjelasan, dan pengurutan elemen-elemen tugas belajar.

Kemampuan untuk memahami pengajaran menggambarkan kemampuan siswa untuk memperoleh manfaat dari pengajaran itu, dan erat kaitannya dengan kecerdasannya secara umum. Model ini memandang bahwa kualitas pengajaran dan kemampuan siswa untuk memahami pengajaran itu berinteraksi untuk mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkannya untuk menguasai tugas secara tuntas sesuai dengan bakatnya. Jika kualitas pengajarannya dan kemampuannya untuk memahami itu tinggi, maka dia hanya akan membutuhkan sedikit waktu tambahan atau tidak sama sekali.  Sebaliknya, jika kedua faktor tersebut rendah, maka dia akan membutuhkan banyak waktu tambahan.

Belajar tuntas memandang masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda antara satu dengan lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar optimal. Block (1980 dalam Nasution, 1994:92) memandang bahwa individu itu pada dasarnya memang berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan penuh asalkan diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat kecepatan belajar individualnya. Jadi, yang membedakan satu individu dengan individu lainnya dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada individu yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai penguasaan penuh. Prinsip bahwa anak harus diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri merupakan prinsip menghargai kodrat individu.

Cimino (1980) memandang belajar tuntas sebagai suatu group-based approach (pendekatan kelompok) untuk mengindividualisasikan pembelajaran di mana siswa sering dapat belajar secara kooperatif dengan teman-teman sekelasnya. Belajar tuntas merupakan satu cara untuk mengindividualisasikan pembelajaran di dalam setting pembelajaran berkelompok tradisional.

Langkah-langkah yang harus diambil guru untuk melaksanakan belajar tuntas (mastery learning) mencakup:

1)   Memecah-mecah mata pelajaran ke dalam sejumlah unit belajar yang lebih kecil (misalnya pengajaran dua mingguan), menetapkan tujuan pembelajaran untuk setiap unit belajar, dan mengurutkan unit-unit belajar tersebut berdasarkan tingkat kesulitannya (diawali dengan yang paling mudah).
2)   Memberikan pretest untuk unit pelajaran yang akan disajikan.
3)   Membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kecil.
4)   Siswa mempelajari unit pelajaran pertama dalam kelompok belajarnya masing-masing.
5)   Melaksanakan tutorial individual bagi siswa yang berkesulitan.
6)   Melaksanakan tes formatif pada akhir setiap unit pelajaran.
7)   Memberikan materi penghubung tambahan (supplementary  instructional connectives) untuk membantu siswa mengatasi kesulitan belajar pada unit itu sebelum pembelajaran kelompok dilanjutkan ke unit pelajaran berikutnya.
8)   Memberikan pengayaan kepada siswa yang telah mencapai  penguasaan penuh untuk unit pelajaran ini.
9)   Memberikan tes sumatif untuk mengecek ketuntasan belajar siswa bagi seluruh mata pelajaran.
10)    Jika pada hasil tes sumatif tersebut siswa tidak menunjukkan  ketuntasan, maka guru menggunakan strategi-strategi korektif/pengayaan hingga ketuntasan dicapai.

2.    Instruksi Langsung
Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan salah satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Yang dimaksud dengan pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan katakata) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.

Model pembelajaran langsung dikembangkan secara khusus untuk meningkatkan proses pembelajaran para siswa terutama dalam hal memahami sesuatu (pengetahuan) dan menjelaskannya secara utuh sesuai pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang diajarkan secara bertahap.

Beberapa keunggulan terpenting dari instruksi langsung ini adalah adanya fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan yang tinggi terhadap perkembangan siswa, sistem managemen waktu, dan atmosfer akademik yang cukup netral. Dua tujuan utama dari instruksi langsung adalah memaksimalkan waktu belajar siswa dan mengembangkan kemandirian dalam mencapai dan mewujudkan tujuan pendidikan. Perilaku-perilaku guru yang tampak berhubungan dengan prestasi siswa sesungguhnya juga berhubungan dengan waktu yang dimiliki siswa dan rating kesuksesan mereka dalam mengerjakan tugas, yang pada gilirannya juga berhubungan erat dengan prestasi siswa. Oleh karena itulah, perilaku yang berkaitan erat dengan instruksi langsung memang dirancang untuk membuat sebuah lingkungan pendidikan yang berorientasi akademik dan juga terstruktur serta mengharuskan siswa untuk terlibat aktif (dalam tugas) saat pelaksanaan instruksi langsung.

Model instruksi langsung terdiri dari lima tahap aktivitas; yakni orientasi, presentasi, praktik yang terstruktur, praktik dibawah bimbingan, dan praktik mandiri. Namun, penerapan model ini harus didahului oleh diagnosis yang efektif mengenai pengetahuan atau skill siswa untuk memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan dan skill untuk menapaki beberapa proses dan mampu mendapatkan level akurasi (kecermatan, ketelitian, ketepatan)  praktik dalam model ini.

1)      Tahap orientasi, dimana kerangka kerja pelajaran dibangun. Ada tiga langkah yang sangat penting dalam meng-goal-kan tujuan tahap ini, yakni guru memaparkan maksud dari pelajaran dan tingkat-tingkat performa dalam praktik, guru menggambarkan isi pelajaran dan hubungannya dengan pengetahuan dan atau pengalaman sebelumnya, dan guru mendiskusikan prosedur-prosedur pelajaran yakni bagian yang berbeda antara pelajaran dan tanggung jawab siswa selama aktivitas-aktivitas ini berlangsung.
2)      Tahap presentasi, yakni menjelaskan konsep atau skill baru dan memberikan pemeragaan serta contoh.  Pada kasus apapun, akan sangat membantu jika guru mentransfer informasi materi atau skill baru, baik secara lisan maupun secara visual, sehingga siswa akan memiliki dan dapat mempelajari representasi visual sebagai referensi dalam awal pembelajaran.
3)      Tahap praktik yang terstruktur. Guru menuntun siswa melalui contoh-contoh praktik dan langkah-langkah di dalamnya. Biasanya, siswa melaksanakan praktik dalam sebuah kelompok, dan menawarkan diri untuk menulis jawaban. Cara yang paling baik dalam hal ini adalah menggunakan proyektor, menyajikan contoh praktik secara transparan dan terbuka, sehingga semua siswa bisa melihat bagaimana tahap-tahap praktik dilalui.
4)      Tahap praktik dibawah bimbingan guru, memberikan siswa kesempatan untuk melakukan praktik dengan kemauan mereka sendiri. Praktik di bawah bimbingan memudahkan guru mempersiapkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menampilkan tugas pembelajaran. Peran guru dalam tahap ini adalah mengontrol kerja siswa, dan jika dibutuhkan, memberikan respon yang korektif ketika dibutuhkan.
5)      Tahap mandiri. Tahap ini dimulai saat siswa telah mencapai leverl akurasi 85 hingga 90 persen dalam praktik dibawah bimbingan. Tujuan dari praktik mandiri ini adalah memberikan materi baru untuk memastikan dan menguji pemahaman siswa terhadap praktik-praktik sebelumnya. Dalam praktik mandiri, siswa melakukan praktik dengan caranya sendiri tanpa bantuan dan respons balik dari guru.

Model ini, sebagaimana namanya adalah bimbingan dan pemberian respons balik secara langsung. Rancangannya dibentuk untuk meningkatkan dan memelihara motivasi melalui aktivitas mengandalkan diri sendiri dan penguatan ingatan terhadap materi-materi yang telah dipelajari.

3.    Assertive Training
Assertive Training merupakan latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat tersinggung (Corey, 2009: 215). Willis (2004:72)    menjelaskan bahwa assertive training merupakan teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya.

Fokusnya adalah mempraktekkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang  baru diperolah sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu. Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa  assertive training  dapat membantu peserta didik untuk  bergaul dan bersikap lebih percaya diri  dalam  komunikasi perorangan,  dan  kelompok  serta  memanfaatkan dialog atau interaksi juga  mampu mandiri dalam  bergaul dan tegas dalam  mengambil keputusan. Melalui  bermain peran yang  intensif,  pengungkapan perasaan dengan lebih terbuka dan tetap menghargai hak-hak orang lain,  dapat mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku yang lebih efektif, yakni peningkatan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal para siswa  yang merupakan salah satu syarat terwujudnya rasa percaya diri. Selain itu, pemberian  assertive training  dapat melatih ketrampilan dalam mengemukakan pendapat, melatih keberanian untuk tampil didepan orang banyak, ketrampilan komunikasi efektif dalam bergaul, cara untuk menolak dengan baik dalam berkomunikasi, dan sebagainya.

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Assertive Training adalah suatu pelatihan tingkah laku  yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai macam teknik  yang dirancang untuk membantu dalam membimbing individu  berinteraksi  atau menyesuaikan diri  dengan orang lain  sehingga individu mampu  mengembangkan, menyatakan serta  mengekspresikan perasaan, pikiran serta tindakan secara bebas tanpa mengganggu orang lain ataupun membuat orang lain merasa terancam.

Prosedur umum dalam latihan asertif adalah sebagai berikut:
1)   Identifikasi masalah, yaitu dengan menganalisis  permasalahan siswa secara komprehensif yang meliputi  situasi-situasi umum dan khusus di lingkungan yang menimbulkan kecemasan, pola respon yang ditunjukkan, faktor -faktor yang mempengaruhi, tingkat kecemasan yang dihadapi, motivasi untuk mengatasi masalahnya, serta sistem dukungan.
2)   Pilih salah suatu situasi yang akan  diatasi, dengan memilih terlebih dahulu  situasi yang menimbulkan kesulitan  atau kecemasan  paling kecil.  Selanjutnya, secara bertahap menuju pada situasi yang lebih berat.
3)   Analisis situasi, yaitu dengan menunjukkan kepada siswa bahwa terdapat  banyak alternatif yang dapat dilakukan  untuk mengatasi masalahnya tersebut. Identifikasi alternatif penyelesaian masalah.

4)   Menetapkan  alternatif  penyelesaian masalah. Bersama-sama siswa berusaha untuk memilih dan menentukan pilihan tindakan yang dianggap paling sesuai, mungkin, cocok, layak dengan keinginan dan  kemampuan  siswa serta memiliki kemungkinan peluang berhasil paling besar.
5)   Mencobakan  alternatif yang dipilih. Dengan bimbingan, secara bertahap siswa diajarkan untuk mengimplementasikan pilihan tindakan yang telah dipilih.
6)   Dalam proses latihan, hendaknya diperhatikan hal-hal yang terkait dengan kontak mata, postur tubuh, gerak isyarat, ekspresi wajah, suara,  pilihan kalimat, tingkat kecemasan yang terjadi, serta kesungguhan dan motivasinya.